webnovel

Sama-sama Workaholic.

Kevin baru akan mendorong pintu ruangan kerjanya sebelum dering ponsel lebih dulu menahannya. Merogoh saku celana, Kevin mengeluarkan ponsel miliknya, menaikkan sebelah alis saat melihat nama pelaku yang namanya muncul di layar.

"Tumben Vega nelpon gue, ada apa?" gumam Kevin sebelum tangannya menggeser tombol hijau di layar.

"Iya, Ga?" sahut Kevin pertama kali. Namun, pria itu terpaksa menjauhkan ponselnya karena suara Vega yang berdengung keras di telinganya.

"Kak, tolongin gue dong!"

Kevin sampai berjingkat di tempatnya saking nyaringnya suara gadis itu di seberang telepon. "Nggak usah teriak-teriak! Kalau telpon tuh salam atau nyapa dulu kek. Jangan asal nyamber. Kenapa sih?!"

"Duh, ribet, Kak! Bener sih kata Mila, lo tuh bawel, ya?!" hardiknya, membuat Kevin membuang napas dengan kasar.

Gadis ini, jarang menghubunginya, tetapi sekali telepon sudah membuat Kevin terpancing emosi, benar-benar menguji kesabaran. Kalau tidak Kevin anggap sebagai adik sendiri, paling sudah Kevin lempar ke penangkaran buaya.

"Gue matiin sambungannya kalau lo telpon cuma buat ngatain gue doang!"

"Eh eh, ya jangan dong, Kak! Gue beneran butuh bantuan lo. Maaf deh, jangan ngambek lagi ya?" bujuk Vega di seberang sana. Berusaha meyakinkan Kevin agar tidak menutup sambungan telepon secara sepihak.

"Yaudah apa? Ada perlu apa?" Seresek apapun Vega, Kevin tidak akan pernah bisa memusuhinya.

Bagaimana pun hubungan mereka lumayan dekat. Dan seperti yang sudah Kevin jelaskan sebelumnya, dia sudah menganggap Vega seperti adiknya sendiri. Mereka juga tumbuh di kalangan keluarga yang hampir sama secara didikan, adat, budaya dan sebagainya.

"Jadi, tadi pagi tuh Tante Elena datang ke rumah gue. Maksa gue buat nganterin ke rumah sakit buat jengukin Tante Daisy, tapi gue -"

"Terus lo beneran anterin ke sana?" tanya Kevin menyela perkataan Vega sebelum selesai. Mendadak Kevin merasa gelisah karena takut ibunya akan berbuat aneh-aneh di depan mama-nya Mila.

"Gue belum selesai ngomong, Kak. Dengerin dulu sampai selesai!"

Daripada perdebatan akan semakin panjang jika Kevin terus menyanggah, lebih baik dia mengalah. "Yaudah, lanjutin!"

"Lo tahu 'kan kalau Tante Elena tuh nggak bisa ditolak. Akhirnya ya gue terpaksa anterin ke rumah sakit buat ketemu Tante Daisy sama Mila. Tapi, lo tenang aja, Kak. Tante Elena nggak berbuat yang aneh-aneh kok, bahkan sekarang kita bertiga lagi di Mall. Soalnya kata Tante Elena, mau beli perlengkapan buat seserahan nikah lo sama Mila." Kevin kembali mengerutkan dahi mendengar penjelasan Vega barusan. Bahkan, dia saja belum menentukan tanggal pernikahannya dengan Mila, tetapi ibunya sudah mengajak mereka untuk mencari perlengkapan seserahan?

"Nah, masalahnya tadi pagi tuh gue lupa kalau belum ijin sama Pak Noah. Lo bisa bantu ijinin gue ke Pak Noah, 'kan, Kak?" lanjut Vega, meneruskan perkataan sebelumnya.

Sementara Kevin sedang berpikir keras, menerka-nerka kiranya apa lagi yang sedang direncanakan oleh ibunya. Elena tidak mungkin bertindak sampai sejauh ini tanpa alasan.

"Kak, lo masih di sana, 'kan? Halo?"

"Iya-iya! Soal itu gampang, nanti gue bantu lo ijin sama Noah. Tapi, kalau kalian bertiga ke Mall, terus siapa yang jaga Tante Daisy di rumah sakit?" tanya Kevin, mencemaskan hal lainnya.

Beberapa hari lalu, Mila sudah seharian diajak pergi karena harus dikenalkan pada keluarganya. Lalu sekarang, Mila kembali diculik oleh ibunya karena masalah pernikahan lagi. Kevin menjadi khawatir jika Daisy terus-terusan ditinggal sendirian seperti itu.

"Nggak perlu cemas, Kak. Tadi pas ke rumah sakit, gue nggak cuma berdua aja sama Tante Elena, tapi bertiga sama Mbak Lula juga. Mulai sekarang Mbak Lula juga akan ditugaskan untuk menjaga Tante Daisy selama nanti Mila mulai kerja di perusahaan."

Ah, baguslah. Kevin sendiri merasa lega setelah mendengarnya. Seperti biasa, ibunya selalu memiliki pertimbangan yang tepat.

"Yaudah, sekarang lo share location, gue langsung susulin ke sana!"

"Lah, ngapain? Kan kita bertiga tuh mau girls time, Kak. Lo cowok ngapain ikutan?"

Kevin kembali mendengkus mendengar balasan perkataan dari Vega. "Nona Vega Indira, asal anda ingat, ibu saya juga sudah bukan girls lagi," tukasnya.

"Ya maksud gue tuh cewek-cewek time. Jenis kelamin selain cewek nggak diterima!" tegasnya, dengan keras menolak kehadiran Kevin yang akan menyusul mereka.

"Lo mau share location sekarang, atau gue nggak akan bilang ke Noah kalau lo ijin? Biar dikira nggak tanggungjawab dan seenaknya absen kerja?!" Kevin jelas tahu apa kelemahan Vega, mengenal gadis itu sejak kecil juga membuat Kevin memahami bahwa Vega menyukai sahabat tampannya itu.

"Ih! Lo curang banget sih, Kak! Mainnya ngancem. Yaudah iya, gue share location sekarang!" Setelah sentakan itu terlontar, secara sepihak Vega memutuskan sambungannya, membuat Kevin terkikik di tempat karena berhasil menaklukkan gadis keras kepala itu sekarang.

Kevin kemudian segera melangkahkan kaki untuk menuju ke ruangan Noah lebih dulu, mengijinkan Vega lalu menyusul ke Mall. Kebetulan barusan juga ada notifikasi bahwa share location dari Vega sudah masuk ke whats'app-nya.

"Vin, lo mau pergi?"

"Nah, kebetulan lo di sini, Bro. Gue mau bilang kalau hari ini Vega ijin karena harus nemenin nyokap gue, ada urusan penting. Kerjaannya nggak ada yang bermasalah, 'kan? Setahu gue, urusan rekrutmen karyawan baru juga udah kelar," ucap Kevin, kebetulan Noah lebih dulu muncul di hadapannya dengan membawa beberapa berkas di tangan.

Dengan kerutan di dahinya, Noah lalu membalas, "Iya, nggak ada masalah. Tapi, ada urusan penting apa antara Vega dengan Tante Elena?"

"Kenapa? Lo mendadak tertarik sama urusan adik gue sekarang?" balas Kevin, sengaja memberikan pertanyaan yang menjebak untuk sahabatnya. Gemas rasanya karena sudah sejelas itu saja, Noah tetap tidak bisa peka dengan perasaan Vega.

"Adik lo itu maksudnya Vega?" tanya Noah, mencoba memastikan apa yang ada di pikirannya, karena Noah tidak mau mengambil kesimpulan dari spekulasinya sendiri.

Tangan Kevin kemudian memukul lengan bahu Noah yang kekar, meski tersembunyi di balik kemejanya yang cenderung sedikit longgar. "Yaiyalah, memang siapa lagi yang gue anggap sebagai adik sendiri? Tapi saran gue sih ya, lo tuh kalau sama Vega jangan urusan pekerjaan mulu yang jadi pembahasan. Sekali-kali urusan hati juga perlu dibicarakan."

Noah menaikkan sebelah alisnya dengan mata memicing. "Urusan hati?"

"Masih juga nggak paham? Capek ngomong sama orang yang isi kepalanya kerjaan mulu. Dah, gue harus pergi!" Kevin menghardik Noah dengan sebutan "isi kepalanya kerjaan mulu" padahal dia sendiri sebelum bertemu Mila pun juga begitu, menjadi budak corporation, hanya bedanya perusahaan itu milik keluarganya sendiri.

"Tapi lo balik kantor 'kan? Masih ada beberapa hal dari masalah kemarin yang harus gue laporin ke lo," ujarnya, mengungkapkan maksud kedatangannya ke ruangan Kevin.

"Cuma laporan aja, 'kan? Taruh aja di meja kerja gue, nanti gue balik kantor lagi," timpalnya, menepuk sebelah bahu Noah sekali, kemudian berjalan melewati pria itu dan berlalu pergi.

Sementara Noah hanya menghela napas pasrah. Noah tidak ada hak untuk melarang Kevin jika pria itu ingin pergi kemana pun dan kapan pun, karena perusahaan itu juga milik keluarganya sendiri. Lagipula Kevin bukan tipe orang yang akan melalaikan pekerjaan hanya karena sesuatu yang tidak penting.

Noah tahu bahwa, dia sebelas dua belas dengan Kevin, sama-sama workaholic.