"DORRR!"
"Astaga, Ya Tuhan!" Mila otomatis berjingkat kaget saat ada yang mengejutkannya, bahkan teko air di tangannnya sampai bergoyang dan berakhir tumpah.
"VEGA!!" Mila berteriak kesal saat manyadari sosok pelaku yang membuatnya terpancing emosi di pagi hari.
"Eh, aduh sorry! Gue nggak tahu kalau lo lagi bawa minum, jadi tumpah 'kan! Bentar-bentar, gue bersihin dulu."
Dengan tampang bersalahnya, Vega segera melangkahkan kaki mendekati meja di ruang santai, menarik beberapa lembar tisu dari tempatnya.
Vega baru akan meletakkan tisu itu di atas lantai yang basah, tetapi Mila lebih dulu menahan tangannya. "Mau ngapain?"
Dengan polos Vega lalu menjawab, "Ya dibersihin tumpahan airnya."
"Nggak pakai tisu juga kali, Ga! Air sebanyak itu kalau bersihinnya pakai tisu yang ada ngabisin sewadah, boros tahu!"
"Ya, terus mau pakai apa dong? Lap pel? Kan gue nggak tahu cara pakai barang begituan," keluh Vega, membuat Mila menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya itu.
Wajar jika Vega tidak tahu cara bagaimana menggunakan kain pel, karena seumur hidupnya dia tidak pernah bersih-bersih, terlahir dari sendok emas dan mengandalkan pelayan untuk mengurus seluruh kebutuhannya. Mungkin yang pernah Vega lakukan hanyalah menata kasur, baju dan barang-barangnya sendiri.
"Yaudah, minggir, biar gue aja yang bersihin!"
"Tapi 'kan gue yang numpahin."
"Udah lo duduk aja!"
Mila segera menarik salah satu tangan Vega untuk duduk di sofa yang terletak tidak jauh dari mereka, sementara tangan satunya sudah bersiap dengan kain pel yang diraihnya dari dalam kamar mandi sebelumnya.
Dengan gerakan cepat, Mila segera mengaplikasikan kain pel itu, membersihkan lantai yang basah akibat ulah Vega.
Sementara tanpa Mila sadari, ada seseorang lain yang memperhatikannya dari sudut ruangan. Tengah menarik kedua sudut bibirnya ke atas sembari bergumam, "Benar-benar tipe menantu idaman. Kevin nggak pernah salah pilih calon istri."
Setelah membersihkan lantai, Mila masuk ke dalam kamar mandi ruang rawat ibunya, memeras kain pel dan membersihkannya dengan air bersih agar bisa digunakan lagi sewaktu-waktu saat dibutuhkan.
Hingga saat dia keluar dari kamar mandi, sosok seorang wanita yang sedang tersenyum hangat padanya membuat Mila kembali terkejut. "Tante Elena?"
"Ih, Sayang, kok manggilnya tante lagi, panggil mama dong seperti sebelumnya." Elena segera mengeluarkan protesnya, menyatakan ketidak setujuan secara gamblang.
"Maaf, Ma, Mila belum terbiasa. Mama sendiri kok bisa ada di sini?" tanya Mila, sungguh tidak menyangka bahwa Elena akan berada di ruang rawat ibunya sepagi ini. Padahal tadi Mila hanya meninggalkan ibunya sebentar, atau jangan-jangan,
Mila segera melirik Vega menggunakan sudut mata, memicing dengan curiga. Sementara Vega yang menyadari tatapan tajam itu hanya bisa menghela napas pasrah dan memberikan gestur tubuh seperti, "Gue dipaksa!" kiranya begitu.
"Kenapa? Mila nggak suka mama datang untuk menjenguk calon besan mama?" tanya Elena, berpura-pura merajuk, melakukan jurus andalannya.
Menanggapi itu, Mila menggeleng cepat. "Enggak kok, Ma. Mila cuma kaget aja." Mila hanya bisa tersenyum canggung saat ini, tidak ada yang bisa dia lakukan selain itu.
Dia sendiri bahkan tidak tahu, apakah wanita cantik berumur empat puluhan di depannya itu sudah bertemu dengan ibunya atau belum.
"Mila, Sayang …" panggil Daisy saat mendengar suara putrinya di sebelah ruangan. Mila yang mendengar itu pun segera melangkah mendekati ibunya. "Iya, Ma. Kenapa? Mama butuh sesuatu?"
Mila lalu meletakkan teko yang airnya hanya tinggal setengah itu di atas meja dekat ranjang rumah sakit ibunya.
Daisy menggeleng menjawab pertanyaan ibunya. Dia mengusap pelan tangan Mila yang berada di atas tangannya. "Kenapa nggak bilang kalau mamanya Kevin mau datang, Nak?"
Mila ingin sekali menjawab bahwa dia sendiri saja terkejut melihat kedatangan Elena yang mendadak, nah bagaimana Mila bisa memberi tahu ibunya?
"Kalau Mila bilang, paling tidak kita bisa siapkan jamuan yang pantas untuk calon mertua kamu."
"Hm?"
Mila hampir mendelik saat mendengar kalimat yang terlontar dari mulut ibunya barusan. Sepertinya Elena sudah sempat bertemu dengan ibunya dan mengenalkan diri sebagai orang tua Kevin sebelum Mila kembali dari kantin rumah sakit.
"Tidak perlu repot-repot, Bu Daisy. Bagi kami, dengan Ibu mengijinkan Mila, putri Ibu yang luar biasa ini untuk menjadi istri Kevin saja sudah merupakan berkat yang luar biasa bagi keluarga kami, Bu," ucap Elena, berdiri di samping Mila yang duduk di tepian ranjang rumah sakit ibunya, mengelus puncak kepalanya dengan sayang.
Mila hanya bisa menolehkan kepala dengan senyum yang terbit. Dia sendiri belum brcerita pada ibunya mengenai rencana pernikahannya dengan Kevin. Apa setelah ini ibunya akan marah karena harus mengetahuinya dari orang lain? Itu pertanyaan yang mengusik Mila saat ini.
"Ibu terlalu memuji putri saya. Sejak kali pertama saya mengenal Nak Kevin, saya juga tahu bahwa putra Ibu Elena adalah pria yang sangat baik. Saya tidak pernah menyangka bahwa maksud Nak Kevin dengan meminta restu saya waktu itu adalah untuk menjadikan Mila sebagai istrinya. Saya pikir masih sebagai pacar sajam," timpal Daisy, mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya saat ini.
"Oh, Kevin belum melamar kamu secara resmi di depan ibu kamu, Sayang?" tanya Elena, berbicara dengan sangat lembut pada Mila, membuat Daisy merasa lega, karena putrinya disambut dengan hangat di keluarga calon suaminya.
"Kevin pernah kok Ma, bilang cinta sama Mila di depan Mama Daisy. Iya, 'kan, Ma?" Mila meminta pendapat Daisy mengenai hal ini, berniat untuk melindungi Kevin agar tidak terkena amukan mamanya sendiri.
"Itu nembak namanya, ya beda dong, Sayang. Masa' nembak sama melamar disamain. Kevin ini gimana sih, katanya sudah melamar, tapi kok ya nggak benar caranya. Harus mama tegur ini!" Elena sudah mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam tas, membuat Mila kemudian berinisiatif untuk menahannya.
"Ma, tapi Mila rasa itu saja sudah cukup kok. Yang terpenting 'kan Mila tahu maksud Kevin seperti apa," balasnya, memberikan alasan seadanya.
"Ya, harusnya Kevin lebih berusaha dong. Sebagai seorang laki-laki, dia harus bisa memperlakukan calon istrinya dengan baik, harus diperlakukan secara spesial," balasnya, tetap ingin memarahi putranya karena dianggap tidak memberikan yang terbaik untuk Mila.
"Tapi, Ma, apa yang Kevin lakukan untuk Mila dan Mama Daisy, itu sudah lebih dari cukup."
Mila bicara sungguh-sungguh untuk hal ini. Mengeluarkan uang delapan ratus lima puluh juta untuk biaya pengobatan ibunya, lalu menemaninya semalaman saat ibunya masih belum sadar, membawa bunga untuk menyenangkan ibunya, dan juga bersikap seakan bahwa Kevin benar-benar mencintainya, itu merupakan usaha yang cukup untuk menunjukkan bahwa Kevin serius menikahinya.
"Benar kata Mila, Tante. Kak Kevin itu sayang banget kok sama Mila, Vega sendiri bisa lihat. Bahkan, asal Tante tahu aja nih, Kak Kevin itu sebenarnya suka sama Mila udah dari SMA, jadi pengagum rahasia gitu, Vega nih buktinya!" Vega ikut nimbrung setelah sekian lama diam, membuat Mila kembali melemparkan tatapan tajam.
Vega kenapa harus menceritakan itu pada ibunya Kevin? Setelah ini, Mila yakin Elena pasti akan semakin mendesak mereka untuk cepat menikah jika tahu kalau ternyata Kevin sudah menyukainya sejak lama.
Ya Tuhan, Vega! Nggak bisa banget jaga rahasia! Batin Mila mengumpat sahabatnya.