Hari Pertama Setelah Pernikahan
Ananta duduk di kursi meja makan dengan memberikan jarak yang sangat jauh dariku. Ibarat utara dan selatan. Aku sendiri masih bingung harus berkata apa lagi pada Ananta agar berhenti untuk marah padaku. Karena jujur kemarahan Ananta sangat membuat aku tertekan.
"Kamu masih marah sama aku dengan ucapan kasar semalam?" tanya Kalila pada Ananta dengan raut wajah sedihnya.
Diam.
Ananta tak berbicara sepatah kata apapun selain mematung sambil memainkan sendok dan juga garpu yang ada di atas piringnya. Ananta diam seribu bahasa. Seakan diamnya itu menandakan kemarahan yang dia rasakan sangat besar.
"Hmm. Aku minta maaf Ananta!!!" ucapku lagi sambil menatap ke arah Ananta yang masih menunduk dan enggan untuk menatap wajahku.
"Aku berbicara pada kamu Ananta, bukan dengan tembok. Bisa tidak jawab pertanyaanku itu. Apa sulitnya menjawab dengan mulut kamu itu. Apa kamu tidak punya mulut untuk mejawabku." Tutur Kalila dengan tegas.
Ananta mulai mengangkat kepalanya dan menatap ke arahku dengan tatapan sinisnya itu. Tapi sayangnya Ananta tak berucapa apapun selain hanya diam dan terus saja memainkan sendok dan garpu yang ada di atas piringnya. Sesekali tatapan itu tertuju dengan sangat tajam seperti ingin membunuhku saja. Tatapan mata penuh kesinisan aku dapat merasakan itu.
"Untuk apa aku berbicara pada kamu Kalila. Memangnya kamu mau mendengar semua ucapanku. Siapa kamu itu, menyebalkan sekali. Makan saja sarapannya, daripada pura-pura minta maaf." Celoteh Ananta.
"Jujur aku tidak berpura-pura minta maaf sama kamu. Sungguh aku minta maaf dari hatiku sangat tulus. Bisa tidak jangan memancing emosiku lagi Ananta. Aku minta maaf dan kamu malah hanya menyuruhku untuk fokus saja makan pagi. Kalau aku tidak mau kenapa? Ini rumahku dan kamu tinggal di rumah orang yang membayar kamu untuk menjadi suami sewaanku. Jadi jangan sok bersikap seperti suamiku yang sesungguhnya. Sudah untung aku mau minta maaf sama kamu. Ini malah semakin ngelunjak. Tidak tahu diri!" pungkas Kalila dengan sangat kasar.
Ananta masih menatap dengan tatapan tajam penuh dengan kemarahan di sorot matanya. Mereka saling menatap dengan sinis. Raut wajah yang mulai memerah karena kemarahan.
"Sudah cukup!!!" tutur Ananta sambil menghela napas panjang.
"Kenapa?" sahutku dengan jutek.
"Kamu sudah keterlaluan kasar sama aku Kalila. Meskipun aku hanya suami sewaan kamu dan bukan suami sungguhan di mata kamu tapi hargailah aku sedikit saja. Jaga sikap kamu padaku." Ucap Ananta yang semakin emosi dengan sikap Kalila.
"Ananta. Aku yang membayar kamu dengan uangku. Jadi kamu tidak berhak untuk sok marah sama aku atau juga bersikap seperti suamiku yang sungguhan." Jelasku dengan tatapan marahnya.
"Percuma memang ngomong sama perempuan sombong dan egois seperti kamu Kalila. Sangat menyebalkan sekali. Sudah, terserah kamu saja mau bicara apapun aku tidak peduli lagi. Capek berdebat dengan perempuan angkuh seperti kamu, mentang-mentang kaya seenaknya saja sama orang lain." Ucap Ananta yang kemudian berdiri dan pergi ke atas kamarnya.
"Tunggu, kamu ngapain pergi ke atas? Bukannya itu kamarku yang ada di atas. Bukannya semalam kamu tidur di lantai bahwah. Ngapain sekarang mau ke atas kamarku? Apa yang kamu mau cari di sana?" tanya Kalila.
Ananta menoleh dan mendekati ke arah Kalila.
"Aku mau ambil barang-barangku di atas kamar kamu untuk aku pindahkan ke kamarku yang ada di bawah. Supaya aku nggak perlu lihat perempuan nyebelin seperti kamu Kalila. Lagi pula perjanjian kita hanya akan menikah selama 11 hari saja kan. Jadi aku akan bertahan berpura-pura jadi suami kamu selama 11 hari saja setelah itu kita akan bercerai. Sesuai permintaan kamu." Ujar Ananta yang kemudian pergi ke atas kamarku.
Aku langsung lemas saat Ananta berbicara seperti itu padaku. Jantungku langsung sangat lemas sekali rasanya untuk berdiri saja susah. Ananta tak pernah berbicara kasar padaku ataupun berbicara tentang perjanjian selama ini.
Tapi mungkin sikapnya seperti itu karena ulahku sendiri yang sangat menyebalkan katanya. Aku sudah bersikap kasar pada Ananta semenjak malam pertama kami. Siapa juga yang tidak akan marah jika menikah tapi tak di layani oleh istrinya dengan tulus malah berbicara kasar seperti mendebatnya saja.
Sejenak pikiran aku semakin kacau di saat Ananta turun membawa barang-barangnya dan menatapku dengan sinis. Sorot mata Ananta terlihat membenci diriku yang berdiri mematung menatapnya.
"Yakin mau pindahin semua barang-barang kamu ke lantai bawah?" tanyaku mencibir dengan ketus.
"Iya, memangnya kenapa kalau aku mau bawa semua barang-barangku ke lantai bawah. Apa masalah kamu sama aku?" tutur Ananta dengan jutek sambil menenteng kopernya.
"Sini biar aku bantuin. Berat ya?" gumamku, berusaha untuk membantunya.
Namun alih-alih bantuan aku di terima Ananta malah menepis tanganku yang hendak ingin membantunya mengangkat koper.
"Aku rasa tidak perlu ya? Aku bisa sendiri. Kamu kan anggap aku Cuma suami bayaran, bukan suami sungguhan." Celetuk Ananta dengan juteknya.
Kali ini aku benar-benar menelan ludahku sendiri saat mendengar ucapan dari Ananta. Harusnya aku mampu membantunya tapi malah kalimat yang aku dapatkan sangat menyakitkan untuk aku dengar.
Mungkin ini balasan dari Ananta agar aku merasakan bagaimana di perlakukan dengan kasar oleh orang lain. Hatiku rasanya ingin menjerit sedih. Aku mulai memahami kalau sikapku akhir-akhir ini sangat tidak pantas untuk Ananta. Padahal dia sendiri sudah berusaha bersikap baik padaku selayaknya seorang suami pada istrinya.
"Sudah, aku bantuin aja! Kenapa sih! Marah terus sama aku? Padahal sudah minta maaf. Masih saja di jutekin." Tuturku pada Ananta.
"Kalau kamu mau minta maaf, bisa nggak ngomongnya yang baik sama aku? Tadi cara kamu minta maaf itu sangat kurang pantas. Masa seorang istri bicara kasar sama suami. Nggak pantas tahu!" ujar Ananta mendengus dengan sebal padaku.
"Jadi kamu masih menganggap aku ini sebagai istri kamu Ananta?" tanyaku dengan heran.
"Memang kamu sebagai istriku. Apa kamu lupa jika kita menikah dengan sah. Aku adalah suami kamu untuk jangka yang kamu sudah tentukan. Tapi meskipun begitu aku tetap punya hak padamu sebagai suami. Aku ingin kita bersikap selayaknya suami istri secara normal." Pungkas Ananta padaku.
"Tidak mau!!!" jawabku dengan ketus.
"Oh begitu, kamu nggak mau bersikap selayaknya sebagai suami dan istri padaku. Kalau begitu aku akan katakan pada Mama dan juga Papa kamu kalau kita menikah hanya sandiwara alias settingan aja. Bagaimana?" ucap Ananta seakan sedang mengancam diriku saja.
"Jadi kamu ingin mengancam aku begitu ya?" tanyaku dengan raut wajah heran.
"Tidak, aku tidak bermaksud untuk mengancam kamu Kalila. Tapi ini sudah sebagai kewajiban aku meminta hakku untuk di perlakukan selayaknya sebagai suami oleh kamu." Tutur Ananta dengan nada suara yang agak sombong.
Mataku tak mampu berkedip lagi saat Ananta mulai menunjukkan sikap aslinya di depanku seperti itu. Sungguh aku sangat heran sekali. Untuk kali pertama aku merasakan ketakutan saat berhadapan pada Ananta. Seakan aku menggali kuburanku sendiri. Menikah dengan orang yang salah, padahal aku yang berkuasa pada Ananta tapi malah dia yang ingin mengancamku.