webnovel

Kecoak yang Tidak Bisa Mati

Translator: Wave Literature Redakteur: Wave Literature

Malam kembali menjadi sunyi senyap.

Hilda berbaring di tempat tidurnya, lalu dia meletakkan kepalanya di telapak tangannya. Sementara matanya yang indah dan besar menatap lurus ke langit-langit kamarnya.

Dia mengingat-ingat alur hidupnya di kehidupan sebelumnya dan menemukan bahwa ada beberapa hal yang secara bertahap berubah. Ini menunjukkan bahwa nasibnya dan keluarga Sugiharto bisa diubah.

Tok, tok, tok.

Hilda mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Ayah Hilda menjaga suaranya tetap pelan saat dia dengan lembut memanggil dari luar, "Hilda sayang, apakah kamu sudah tidur?"

Sebelumnya, ketika Hilda kembali ke rumah, dia belum melihat ayahnya. Sebagian besar pengusaha cenderung sangat sibuk dengan pekerjaan mereka. Namun, hanya setelah menjalani hidup di kehidupan sebelumnya, dia akhirnya mengerti betapa bodohnya dia ketika dia selalu bertengkar dengan orang tuanya di masa mudanya.

"Belum." Hilda melompat dari tempat tidurnya, lalu membuka pintu kamarnya.

Dia melihat ayahnya memegang secangkir susu hangat. Hal tersebut selalu dia lakukan setiap malam. Kemudian, ayahnya berkata, "Aku khawatir kamu mungkin merasa tidak bahagia karena ujian hari ini dan tidur lebih awal. Jadi, aku mengantar susu agak lebih malam."

Ketika Hilda menerima cangkir kaca berisi susu hangat itu, jari-jarinya sedikit kaku.

Keluarga Sugiharto tidak memiliki jam malam, tidak seperti yang diterapkan di keluarga lain. Hanya saja, tidak peduli seberapa sibuknya ayah Hilda, dia akan selalu mengawasi untuk memastikan Hilda meminum susu hangatnya setiap malam sebelum tidur.

Entah dari pesta malam yang mana ayahnya mendengar tentang seorang ahli pengobatan tradisional Tiongkok yang berpengalaman. Dia mengatakan bahwa minum susu baik untuk kulit. Sejak itu, dia memiliki kebiasaan untuk memberi Hilda susu hangat setiap malam sebelum dia tidur.

Di kehidupan sebelumnya, Jessica telah menelepon ke rumahnya untuk menceritakan bahwa Hilda tidak bisa mengerjakan ujian masuk SMA dengan baik dan merasa tertekan. Dia bahkan mengatakan bahwa Hilda memiliki pikiran untuk bunuh diri.

Pada saat itu, yang Hilda pikirkan hanyalah dia ingin bersama dengan Heri Wijaya. Jadi, dia tidak setuju dan menolak untuk mengikuti keinginan ayahnya agar dia tetap bersekolah di SMA 1.

Bahkan, sebelum masuk sekolah, Hilda juga merobek surat penerimaan yang diperoleh ayahnya untuknya melalui koneksinya sendiri. Dia benar-benar sudah mengecewakannya.

"Ayah." Hilda menghabiskan susu dengan tegukan keras. "Jangan khawatir, putrimu ini adalah kecoak kecil yang tidak bisa mati. Aku tidak akan merasa kecewa dengan kegagalan kecil seperti itu."

Ayah Hilda merasa ragu sejenak. Dia merasa bahwa putrinya tampaknya telah berubah. Akan tetapi dia tidak dapat menunjukkan perubahan apa yang terjadi secara akurat.

Hadi Sugiharto baru berhasil mendapatkan bayi perempuannya yang berharga ketika dia berusia paruh baya. Itu sebabnya, bahkan jika Hilda menginginkan bintang-bintang di langit, dia akan melakukan yang terbaik untuk memuaskannya.

"Apakah kamu ingin tetap di SMA 1 dengan Jessica?" Hadi menerima gelas kosong dari Hilda dan bertanya.

Dalam kehidupan mereka sebelumnya, Jessica juga gagal diterima di SMA 1. Namun, karena Hilda bersikeras untuk pergi dan bersekolah di SMK, sementara surat penerimaan yang didapat ayahnya tidak dapat disia-siakan, akhirnya kesempatan itu mendarat di pelukan Jessica.

Saat ini, Hilda benar-benar tidak akan membiarkan hal yang baik terjadi pada Jessica!

Saat Hilda memikirkan hal ini, dia tanpa sadar memeluk ayahnya.

Pelukannya datang tanpa peringatan dan membuat Hadi kewalahan dengan kejutan yang menyenangkan ini.

Hilda bersandar di bahu ayahnya dan dengan murung menjawab, "Ayah, jika aku benar-benar berhasil diterima di SMA 1, maka di masa depan aku pasti akan menjadi seorang sarjana yang membuat nenek moyang kita bangga."

"Kamu ini… Kamu sudah dewasa, namun kamu masih bertingkah manja." Hadi menepuk punggung Hilda saat dia dengan hangat menjawab, "Aku tidak perlu kamu membanggakan nenek moyang. Aku hanya berharap kamu bisa tumbuh dengan aman dan bahagia."

Hilda merasa hidungnya berubah masam.

Namun, ayahnya berasumsi bahwa dia telah mengatakan sesuatu yang salah dan menyakiti putrinya. Dia mencari sesuatu di sakunya untuk sesaat tetapi gagal menemukan satu tisu pun. Sebaliknya, dia mengeluarkan kartu banknya sendiri. "Besok, panggil Jessica untuk menemanimu. Pergi dan lihatlah apakah ada tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi. Anggap itu sebagai kesempatan untuk bersantai karena ujian masuk SMA telah berakhir."

Ayahnya sungguh konyol.

Hilda sangat tersentuh dan merasakan dorongannya untuk menangis semakin meningkat.

Keluarga lain akan menunggu hasil ujian anak-anak mereka keluar sebelum membawa mereka ke luar untuk bermain. Berbeda dengan Hilda, ayahnya tidak menunggu satu nilai pun keluar untuk memberikan Hilda kartunya.

Dia tentu tidak bisa menerima ini.

Hilda menggelengkan kepalanya dan mengembalikan kartu itu ke ayahnya.