webnovel

Penyihir Putih Terakhir

Irene Andromeda terkejut kala mendapati tubuh sang Adik yang membiru karena kehabisan darah. Ia memeriksa sekujur tubuh sang Adik, namun tak ditemukan bekas luka apapun di tubuhnya. Semua terjadi ketika malam purnama berdarah, di mana para penyihir hitam akan mengisap jiwa-jiwa gadis yang masih perawan demi untuk kekuatan mereka. Hanya bermodalkan tekad dan keberanian, ia memasuki hutan terlarang di mana penyihir itu berada. Tak peduli meski dirinya sendiri adalah seorang perawan. Di sana, ia bertemu dengan Leonard Gregory, sang penyihir putih terakhir. Ia akhirnya meminta bantuan pada Leon. Akankah Leon membantu Irene? Sementara Leon sendiri harus menjaga dirinya dari kematian. Dan dapatkah Irene membalaskan kematian adiknya pada penyihir hitam itu?

Fantazia · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
4 Chs

Kematian Dasha

"Kenapa, Nek? Apa yang terjadi pada Dasha?" Aku mulai khawatir sesuatu terjadi kepada adikku satu-satunya itu. Terlebih, Nenek terdengar menangis meraung-raung membuatku semakin tak sabar ingin tahu apa yang terjadi pada Dasha.

"D-dasha … dia … meninggal!"

Deg!

Bagaikan dihujam sembilu jantungku kala mendengar Dasha perkataan Nenek barusan. A-apa? Meninggal?

Aku tidak salah dengar, 'kan?

Aku masih duduk mematung dengan tangan memegang ponsel yang masih menempel di telingaku. Saking syoknya, aku sampai tidak bisa berkata-kata. "A-apa …." Nafasku terasa tercekat, sesak sekali rasanya.

Prak!

Tanpa sengaja, kujatuhkan ponsel yang sedari tadi kupegang. Terdengar suara Nenek memanggil-manggil namaku dari speaker ponselku. Namun tak kuhiraukan, karena aku masih terlalu syok mendengar berita ini mengerikan ini.

"D-dasha …. "

"Tidak mungkin! Nenek pasti berbohong! Aku harus segera pulang untuk memastikannya!"

Tanpa pikir panjang, aku langsung berdiri dari kursiku dan berjalan dengan terhuyung-huyung. Sesekali aku berpegangan pada kursi yang ada di kiri dan kananku agar tubuhku tidak terjatuh.

"Tolong berhenti, Paman," pintaku yang kini sudah berdiri di hadapan pintu bus yang tengah melaju kencang.

Sang sopir tak menoleh, ia hanya melirikku melalui kaca spion tengah. "Halte selanjutnya masih sangat jauh, Nona," jawabnya masih terus menginjak pedal gas.

"Tidak apa, Paman. Aku ingin berhenti di sini," jawabku masih berusaha mencoba menahan emosiku.

Namun sialnya, sang sopir tak mengindahkan perkataanku dan masih saja terus melajukan busnya.

"Paman? Kau dengar aku tidak?"

Hening, pria bertubuh tambun itu seolah menganggapku angin lalu dan tidak menggubris permintaanku. Cukup sudah! Aku sangat marah sekarang!

"AKU BILANG, HENTIKAN!" teriakku dengan napas terengah-engah.

Ckiiiiiiiit!

Sang sopir langsung menginjak rem tepat setelah aku berteriak. Pintu terbuka lebar, dengan cepat aku turun dari bus tanpa memedulikan sang sopir yang terus mengumpat karena menurutnya aku tidak sopan berteriak padanya.

Biar saja, aku tidak ada waktu untuk mengurus hal tidak penting ini. Bagiku, yang terpenting saat ini hanyalah Dasha.

Setelah aku turun dari bus, aku langsung berlari menyusuri jalanan kota Athalaz yang sepi dan gelap. Aku beruntung karena bus yang kutumpangi belum terlalu jauh dari daerah rumahku.

Aku semakin mempercepat lariku, aku ingin segera bertemu dengan Dasha sekarang juga! Tak kuhiraukan meski suasana di sekitarku sangat mencekam, ditambah dengan angin yang berhembus cukup kencang, semakin membuat bulu kudukku meremang dibuatnya.

"Auuuuuuuuu!"

Suara lolongan serigala tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Sambil masih berlari, aku melirik sekilas jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Rasanya, baru saja rasanya aku tadi berpamitan untuk pergi bekerja pada Nenek.

Makin lama, suara lolongan serigala itu terdengar semakin jelas. Aku makin mempercepat langkahku. Aku harus cepat kembali ke rumah!

Selama kurang lebih 25 menit lamanya aku berlari, akhirnya sampailah aku di depan rumah. Tampak di depan pintu banyak orang yang mengerubungi rumahku. Mereka kebanyakan adalah tetangga sekitar rumahku.

Aku mencoba mengatur napasku yang terengah-engah seraya menguatkan hatiku untuk melihat keadaan Dasha apapun itu.

Setelah kurasa napasku sudah kembali normal, gegas aku menembus keramaian dan masuk ke dalam rumahku yang sudah dipenuhi beberapa orang.

Tepat di ruang tamu, aku melihat Nenek sedang menangis meraung-raung sambil memeluk tubuh Dasha yang terbaling tak berdaya di atas ranjang yang sengaja diletakkan di tengah ruangan.

Di sini juga ada Tuan Gabriel yang merupakan walikota kota Athalaz dan juga beberapa anak buahnya menemani. Melihat kedatanganku, sontak mereka semua menoleh ke arahku.

Aku berjalan perlahan ke arah tubuh Adikku. Nenek sedikit menggeser posisinya agar aku dapat menatap dengan jelas tubuh Dasha yang terbujur kaku.

"Dashaaa!" Tanpa sadar aku berteriak kala menyaksikan keadaan tubuh Dasha yang sangat mengenaskan.

Sekujur tubuhnya membiru, seperti orang yang kehabisan darah. Tepat di bagian lehernya, seperti ada bekas luka sebuah cakaran. Aku tak sanggup menatap bagian kakinya yang sudah hampir hancur. Satu hal yang membuatku janggal, tak ada bekas darah sedikit pun tertinggal di tubuhnya.

"Da … Dasha …. " Aku bergumam dengan air mata yang mengalir membanjiri pipiku. Dengan tangan bergetar, aku berusaha menyentuh tangan Dasha yang sudah kaku tak berdaya.

Rasanya dingin sekali, bahkan hampir sedingin es. Jari-jari tangannya yang dulu selalu kugenggam ketika kecil, sekarang mulai mengeras dan kaku. Biasanya, dia akan selalu berpegang padaku jika membutuhkan bantuanku.

Tapi sekarang .... Rasanya aku tak sanggup lagi!

"Tidak! Dasha, bangun! Kenapa kamu tidak membalas genggaman tanganku?" Aku semakin kehilangan akal. Kugenggam erat-erat tangan Dasha. Aku bahkan tak peduli jika bisa saja jari-jari Dasha menjadi patah akibat genggaman tanganku yang lebih mirip seperti remasan ini.

Yang kuinginkan hanyalah, dia membuka matanya dan menggenggam tanganku. Aku ingin dia hidup, aku tidak ingin dia pergi!

"Dasha! Jawab aku!" Aku menangis meraung-raung, sambil mencoba menggoyang-goyangkan tubuhnya. Yang kupikirkan saat ini adalah, Dasha hanya sedang tertidur saja.

Ya, aku yakin jika Dasha dan Nenek hanya mengerjaiku. Mereka pasti hanya menjahiliku saja, 'kan?

"Irene, sadarlah Sayang!" peringat Nenek seraya memeluk tubuhku dari belakang dan berusaha menahanku yang masih menggoyang-goyangkan tubuh kaku Dasha.

"Tidak, Nek! Dasha masih hidup! Aku yakin itu!" tolakku sambil terus meronta-ronta ingin membangunkan Dasha.

Tiba-tiba saja, beberapa orang anak buah Tuan Gabriel menahan tubuhku dan membawaku sedikit menjauh dari tubuh Dasha. Aku hanya bisa menatap nanar tubuh adikku dari kejauhan dengan air mata yang sudah mengalir deras.

"Dasha …."

Nenek kemudian berjalan menghampiriku. Ia memeluk tubuhku dengan erat, lalu menyandarkan kepalanya pada dadaku. Sontak aku merasakan air mata Nenek membasahi mantel tebal yang kukenakan. "Tenanglah, Irene. Bukan hanya kamu saja yang kehilangan Dasha! Nenek juga!" isaknya frustasi.

Aku balas memeluk Nenek. Kutumpahkan seluruh tangisku padanya. Nenek hanya bisa menepuk punggungku dengan lembut. Mencoba menenangkan hatiku, walau aku tahu jika Nenek sendiri sedang terguncang karena kematian Dasha.

"Sakit sekali …." Aku hanya bisa merintih sambil menahan sesak di dada. "Siapa yang telah melakukan ini, Nek?" gumamku seraya semakin mempererat pelukanku.

Nenek tak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya di dalam dekapanmu. Kuangkat wajahku dengan air mata berderai. Kutatap satu persatu orang yang ada baik di dalam maupun di luar rumah. Mungkin saja pelakunya masih ada di sini, karena jelas sekali jika Dasha meninggal karena dibunuh seseorang.

Mereka semua balas menatapku. Tak sedikit dari mereka yang terihat sangat terkejut dengan kematian Dasha, namun sepertinya lebih banyak yang datang karena penasaran dengan kejadian ini.

Bersamaan dengan itu, Tuan Gabriel berjalan mendekat ke arah kami. Sontak aku melepaskan pelukanku dengan Nenek agar dapat menatap pria bertubuh tinggi tegap itu.

Tuan Gabriel menyentuh kedua pundakku. Karena tinggi kami yang sangat jauh, ia harus sedikit menunduk agar dapat menatap wajahku.

"Aku akan memanggil seorang ahli untuk memeriksa kematian Dasha yang misterius ini," ujar Tuan Gabriel. "Tolong jangan apa-apakan tubuh Dasha. Termasuk untuk tidak mengurus dahulu pemakamannya dan juga mengkremasinya," pintanya kemudian.

Aku terkejut mendengarnya. Kutatap Tuan Gabriel dengan tatapan tidak terima. "Kenapa? Kenapa kau melarangku untuk mengurusi pemakaman Adikku sendiri?" protesku dengan suara sedikit meninggi.

"Itu karena …. "

"Karena apa? Aku tidak akan sanggup melihat jenazah Adikku sendiri disayat-sayat hanya untuk diperiksa! Sudah cukup dia mengalami kesakitan selama ini!" Tanpa sadar, aku berteriak dihadapan walikotaku ini.

Nenek berusaha menenangkanku dengan cara memeluk tubuhku. "Irene, tenanglah!" peringatnya.

Tuan Gabriel membungkukkan tubuhnya hingga bibirnya tepat berada di telingaku. Ia lalu membisikkan sebuah kata-kata padaku. "Kita bicarakan hal ini nanti. Setelah semua orang pergi. Kau mengerti?"

Sontak aku terdiam setelah mendengar kata-kata Tuan Gabriel. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh walikotaku ini.

Anak buah Tuan Gabriel selanjutnya mulai membubarkan kerumunan orang di rumahku. Sementara mereka melakukan itu, aku berjalan mendekat ke ranjang Dasha.

Kutatap lekat-lekat wajahnya. Matanya yang terpejam terlihat begitu tenang dan seperti tanpa penyesalan. Aku bahkan dapat melihat seulas senyum di bibirnya yang membiru.

Oh, Dasha, ada apa denganmu sebenarnya?

Siapa yang berani melakukan ini padamu?