Brianna berlarian saat pintu lift hampir tertutup. Ia tersenyum-senyum sendiri saat berhasil masuk ke dalamnya, saat itu isinya baru beberapa orang saja. Ia menunduk memandangi sepatunya yang kelihatan bagus dan mengkilap gara-gara dia semir tadi pagi. Pipinya yang mengembang akibat senyuman kini harus cemberut karena pintu lift ditahan dengan sebuah lengan, seorang pria sok gentleman membukanya dan para wanita masuk dengan mudahnya. Mereka semua melipir ke belakang dan membuat Brianna berada di depan, tengah-tengah.
Lift tidak kunjung bergerak, orang-orang berbisik-bisik ada apa. Tanda peringatan muatan berlebihan muncul, semua orang meliriknya karena merasa itu salah Brianna. Dengan wajah berat hari ia terpaksa keluar karena disudutkan seperti ini.
Orang-orang barulah terlihat lega saat menyaksikan gadis gemuk itu keluar, pintu lift tertutup dan melesat ke lantai atas. Brianna merasa dadanya begitu sesak digunjingkan dan direndahkan semacam itu, entah mengapa akhir-akhir ini ia merasa lebih sensitif ketimbang biasanya. Tepatnya semenjak dia diusir oleh induk semangnya dan pindah ke rumah lamanya, dan Bibi Emma masih sering datang mengganggunya. Ia punya banyak hutang, sementara gajinya hanya rata-rata, ia pikir lulus lebih cepat akan menghasilkan lebih banyak uang …, anehnya diusia semuda ini justru punya banyak hutang.
Brianna sama sekali tidak paham dengan wanita berhidung lurus itu, maksudnya …, kalau Emma tidak suka dengan rumah itu dan sudah mengancam Brianna dengan hal macam-macam agar mau membayarnya, kenapa masih saja datang dan tak jarang membawa Sheldon anaknya yang nakal itu? Brianna tidak habis pikir dengan tingkah mereka.
"Aku harus naik lift selanjutnya saja." Brianna mencoba bersikap positif.
Tidak butuh waktu lama lift terbuka, ia sampai di lantai tiga dan menuju ke mejanya. Letaknya berada di tengah-tengah. Tidak ada yang memperdulikannya mau duduk di mana saja, yang jelas saat dia datang dia sudah menerima serangkaian permintaan kecil seperti buatkan kopi, fotocopy dokumen, antarkan berkas ke divisi lain, dan sebagainya … tanpa berani Brianna tolak. Ia bukannya takut, tapi ia merasa tidak enak hati jika menolakinya.
"Hei, kau! Anak baru, ambilkan aku kertas yang muncul di telegram," perintah sang manajer. Brianna menoleh dan sigap mengambilnya, memberikannya pada manajer paruh baya yang berwajah sinis tersebut. Kemudian kembali ke mejanya untuk melihat hasil pekerjaannya kemarin, ada sedikit yang perlu di-revisi tetapi ia langsung beranjak pergi karena punya tugas-tugas lain yang menantinya, permintaan kecil yang tiada habisnya. Ia akan melakukannya bagaimanapun juga, baru mengerjakan tugas utamanya.
"Padahal aku sudah bekerja setahun, kenapa masih dianggap anak baru?" gerutunya sendiri sembari membenahi letak kacamatanya.
Jika dihitung tahun, maka Brianna seharusnya tahun ini usianya dua puluh dua tahun. Tetapi karena belum ulang tahun, maka dia sekarang praktis masih dua puluh satu. Ia hanya lulus setahun lebih cepat, tidak ada yang istimewa darinya setidaknya untuk saat ini. Padahal Brianna melewati masa mudanya dengan penuh pujian dan lomba antar kampus, dia tiba-tiba menyesali keputusannya lulus lebih cepat saat memandang bayangannya sendiri di pantulan lift.
"Kembalikan tubuhku yang dulu!" desisnya sendiri.
Tiba-tiba saja teringat ia marah tanpa sebab semalam pada Benson. Brianna tersenyum, ia akan meminta maaf pada Benson dan memberikannya kejutan nanti. Ia akan beralasan sedang banyak pikiran makanya mudah tersinggung. Brianna yakin Benson pasti akan memaafkannya.
***
Brianna langsung pulang setelah jam kerjanya usai dan tidak ada tanggungan pekerjaan yang menumpuk. Ia sebisa mungkin menyelesaikannya hari ini juga. Sekarang dia dalam perjalanan menuju ke kampusnya dulu.
Tiba di kampus, ia menjejakkan kakinya. Mendongak menatapi betapa tinggi gedung-gedung fakultas. Sayangnya dia kemari bukan untuk bernostalgia dan mengenang masa kuliahnya, ia masih ingat betul perasaan bahagia ketika dia berjalan dan anak-anak lainnya saling bisik, bertanya-tanya antar mereka sendiri dari mana Brianna? Fakultas apa? Apa dia sudah punya pacar?
Atau ketika dia duduk di kafetaria sedang menikmati makan siangnya, seorang pria iseng tiba-tiba datang dan mengajaknya untuk bertemu di kelab, kemudian Benson yang begitu protektif langsung datang dan memarahi pemuda itu.
"Udaranya segar sekali di sini, hmm …," Brianna menghirup oksigen sebanyak mungkin.
Lingkungan kampusnya memang menjadi salah satu paru-paru penyumbang terbesar proyek penghijauan kota oleh pemerintah Kota Vin da Pient. Seperti kampus kebanyakan, masih banyak para mahasiswa berlalu lalang meski sekarang sudah sore hari. Mungkin ada kegiatan club, bathin Brianna.
Gedung olahraga fakultasnya Benson tidak terlalu jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki, sudah sekitar tujuh menit Brianna berjalan. Biasanya Benson akan berlatih dengan anggota tim basketnya di sana tiap sore hari. Hampir semua seangkatan Benson mengenal siapa Brianna, jadi nanti jika Benson tidak terlihat di lapangan maka Brianna tinggal bertanya pada salah satunya, atau satu diantaranya akan suka rela memberitahu dimana keberadaan Benson.
Meski Brianna tidak seperti dulu, beberapa diantaranya masih suka memuji Brianna yang masih cantik walau tubuhnya sekarang gemukan. Brianna menghargai pujian tersebut, ia selalu berpikiran mungkin itu karena mereka mengenal Brianna lumayan lama jadi tidak terlalu mau menghakimi perubahan drastisnya sekarang.
Brianna duduk di kursi penonton, dia mengedarkan pandangannya mencari sosok Benson. Tidak ada.
"di mana dia?" gumam Brianna.
"Benson ada di ruang ganti, katanya diare tadi. Jadi aku menyuruhnya mengambil obat diare di kotak P3K," kata Jonathan, tanpa Brianna sadari tadi menyusulnya. Dia sedang beristirahat tadinya.
"Oh, terima kasih Jonathan. Lama tidak bertemu, katanya kau sakit musim lalu?"
"Sekarang masih butuh pemulihan, sebentar-sebentar aku akan istirahat, ceklah Benson. Siapa tahu dia kenapa-kenapa."
"Baiklah."
Brianna segera turun meninggalkan kursinya, ia masuk ke area gedung untuk mengecek keadaan Benson. Sejujurnya dia sedikit khawatir, mengingat Benson sangat menggantungkan hidupnya pada basket. Meski sudah ada banyak manajer tim basket terkenal maupun nasional yang sudah mengincarnya sejak lama, tetapi Benson tetap berlatih begitu keras siang dan malam seolah-olah dia masih pemula yang belum tahu apapun tentang basket.
Kegigihan Benson lah yang membuat Brianna kagum dan jatuh cinta padanya, Brianna menganggap mereka berdua sama dan punya semangat kerja keras melebihi siapapun.
Ruang ganti tim tidak begitu jauh, Brianna hati-hati melangkahkan kakinya. Ia ingin memberikan kejutan pada Benson dengan mengagetkannya, pasti akan seru sekali melihat muka terkejutnya Benson.
"Kenapa sepi sekali di sini?" gumam Brianna melihat sekitar area ini tidak ada orang sama sekali, mungkin karena sudah petang dan kegiatan klub rata-rata ada di fakultas lain atau di area terbuka kampus.
Pintu ruang ganti tidak terkunci, Brianna akan mengintip dari lubang kunci apa yang sedang Benson lakukan. Betapa terkejutnya dia melihat Benson tengah memaju-mundurkan tubuh bagian bawahnya sambil memeluk seorang wanita yang sepenuhnya telanjang dan satu kakinya menggantung di pinggang Benson, mereka berciuman dan menimbulkan suara kecapaan yang keras, saking menikmatinya … mereka bahkan tidak menyadari napas Brianna yang tercekat.