La Mudu menghela nafas panjang lalu dihembusnya dengan pendek, yang menandakan ada gejolak amarah dalam dadanya. Tangan kirinya meraih punggung Meilin dan mengusap-usapnya dengan lembut. “Nasib kalian masih sangat beruntung dibandingkan dengan nasib saya. Tapi jangan lagi bersedih, saya berjanji untuk mengakhiri kedzoliman La Afi Sangia!”
“Mei akan mengiringi tujuan mulia Kak Mudu dengan do’a.”
“Terima kasih, Dik Mei.”
Sepulang dari pantai, La Mudu ikut membantu keluarga keluarga Meilin di warung makannya. Ada keinginan dari dasar hatinya untuk terus dekat dengan gadis dari Negeri Tirai Bambu itu. Dan ada keinginan dalam hatinya untuk menjaga gadis itu dan kedua orang tuanya dari gangguan orang-orang yang berhati jahat.
Baojia dan istrinya, Fang Yin, saling menoleh dan tersenyum ketika melihat kedekatan putri mereka dengan La Mudu, tanpa keinginan untuk mengusiknya. Bahkan dalam hati mereka ada kesenangan dengan pemandangan itu. Kesenangan dan kenyamanan. Betapa tidak, pemuda sakti dan baik hati seperti Jawara Mudu adalah idaman bagi setiap orang tua untuk dijadikan menantu. Tetapi tentu saja pikiran semacam itu dipinggirkan jauh-jauh dalam benak Baoli dan istrinya. Mereka tidak ingin berharap lebih kepada Jawara Mudu. Jawara muda itu telah menolong mereka dari gangguan gelompok penjahat tadi pun merupakan sebuah kebaikan yang tak mungkin mereka balas dengan apa pun.
* * *
Bulan purnama menerangi jagat malam. Di sana sini terdengar suara para anak-anak desa yang sedang menikmatan keindahan malam dengan melakoni segala macam permainan seperti kikolo (petak umpet), atau permainan anak-anak lainnya. Lalu para pemuda atau orang-orang tua duduk berkumpul di sana sini untuk mengobrolkan banyak hal. Terang bulan seperti itu memang membuat denyut kehidupan masyarakat desa lebih panjang dibandingkan dengan jika malam tanpa terang bulan, di mana penduduk desa biasanya lebih cepat untuk merehatkan penat tubuh mereka di peraduan.
La Turangga, La Rangga Jo, La Lewamori, dan La Pabise, pun tak melewatkan malam terang bulan itu untuk menikmatinya. Keempat pemuda bakal calon pajuri La Afi Sangia itu menikmati keindahan malam di desa yang berada di pesisir timur Pulau Sumbawa dengan membuat api unggun di halam samping rumah yang mereka inapi sambil membakar ketela pohon. Memang keempat pemuda yang berpostur cukup gempal itu tadi sore jalan-jalan dengan menunggangi kuda mereka dan pulangnya membawa ubi kayu yang cukup banyak. Sebagian dari ubi kayu itu mereka berikan kepada Baojia, si tuan rumah.
La Mudu alias Pendekar Tapak Dewa tak bergabung dengan keempat sahabat barunya itu, karena ia lebih memilih untuk duduk berduaan dengan Meilin di sarangge (balai-balai kayu) yang berada di luar pagar kolong rumah, tak jauh dari keempat pemuda yang mengelilingi api unggun. Bagi Meilin, ini baru pertama kalinya merasakan suasana seperti ini. Selama ia hidup di negeri barunya ini, jangankan dapat menikmati suasana malam terang bulan seperti saat ini, bahkan mengkhayalkannya tak berani, karena kehidupan dia dan keluarganya lebih banyak was-wasnya daripada damainya, karena para gerombolan anak buahnya La Afi Sangia bisa berkeliaran kapan saja. Sementara prajurit Kerajaan Mbojo tak selalu setiap hari berkeliling dan mampu melindungi kehidupan rakyat Mbojo setiap saat.
Meilin pun tak sungkan menyampaikan perasaan senang yang telah lama diidamkannya itu kepala La Mudu.
“Jadi, selama Dik Mei hidup di negeri ini, belum pernah menikmati saat-saat seperti ini?”bertanya La Mudu merasa seolah tak percaya.
“Tidak pernah, Kak. Bagi Mei dan keluarga, malam terang bulan dengan malam tanpa rembulan sama saja. Jika sudah malam, ya langsung menutup pintu rumah rapat-rapat. Lalu ketika tidur pun kami tak selalu bisa nyenyak karena kekhawatiran senantiasa ada di hati kami,”sahut Meilin.
La Mudu menegangkan lehernya sembari menghela nafas panjang. Ada rasa kasihan dan prihatin yang dalam pada kehidupan gadis cantik di sampingnya dan kedua orang tuanya. “Semoga selamanya kalian tak selamanya tak mengalami hidup seperti ini. Sebab setiap badai pasti akan berlalu.”
“Iya Kak, tapi kapan?”Ada kemanjaan di suara Meilin.
“Segera”ucap La Mudu tegas. Lalu, “Dik Mei masih ingat dengan pembicaraan kita di pantai tadi sore?”
Meilin menatap wajah La Mudu, lalu mengangguk pelan. “Semoga Kak Mudu bergasil gemilang, ya?”
“Tentu!”
La Mudu hendak memberikan keyakinan kepada Meilin dengan menggenggam jemarinya yang halus, namun tak jadi, karena saat itu La Pabise datang mengantarkan ubi kayu bakar yang sudah matang. “Jangan terlalu serius obrolannya,” ucapnya. “Nih, nikmati ketela bakarnya?”
“Terima kasih ya, Kakak,” ucap Meilin kepada La Pabise.
“Ya, sama-sama,”jawab La Pabise.
“Senang ya, lihat mereka?” tiba-tiba La Rangga Jo membuka suara yang ditujukan kepada La Mudu dan Meilin, tapi dikatakan kepada La Turangga dan La Lewamori.
“Iya. Pemudanya tampan dan yang gadis sangat cantik!”La Turangga menimpali.
“Benar-benar pasangan yang sepadan!”La Lewamori pun tak mau kalah untuk menggoda La Mudu dan Meilin.
“Aih, Kakak bertiga lagi bicara apa, sih?” ucap Meilin dengan tak mampu menyembunyikan paras malu-malu manjanya.
“Dimaklumi saja, Dik Mei. Pemuda kampung kan memang begitu, punya sifat usil yang tinggi!”ucap La Mudu, menyentil.
“Kalau Kak Mudu pemuda apa?”Meilin bertanya balik.
“Kalau Kakak kan pemuda gunung,”jawab La Mudu, yang ditanggapi tertawa terbahak-bahak oleh La Pabise, La Lewamori, La Rangga Jo, dan La Turangga. Meilin pun menyembunyikan tawanya dengan punggung tangannya.
“Eh, ngomong-ngomong, kalian berempat sudah punya cea (kekasih), belum?”La Mudu lanjut bertanya.
La Pabise, La Turangga, La Rangga Jo, dan La Lewamori sama-sama menggeleng-geleng cepat lalu serentak menjawab, “Tidak punya!”
“Lho, kenapa tak punya?”tanya La Mudu lagi sembari mengunyah ketela bakar.
“Punya, tapi kami terpaksa harus memutuskan hubungan dengan kekasih kami masing-masing?”jawab La Lewamori dengan wajah dan suara serius. Ketiga temannya pun jadi terdiam membisu.
Mendengar jawaban itu La Mudu menghentikan kunyahannya dan menatap ke arah La Lewamori dan ketiga temannya dengan pandangan serius. “Kenapa? Sebabnya apa kalian terpaksa memutuskan hubungan dengan kekasih kalian?”
Agak lama suasana hening, sebelum tiba-tiba La Turangga bersuara, “Ya syarat mutlak untuk menjadi calon pajuri-nya La Afi Sangia adalah harus tidak punya istri maupun kekasih, lebih-lebih setelah menjadi pajuri. Setiap pajuri tidak boleh ada ikatan dan kepentingan apa pun dengan orang-orang di luar Pulau Sangia. Bahkan kita setelah itu harus melupakan kita itu berasal dari mana. Prajurit-prajurit yang sudah berkedudukan tinggilan yang boleh beristri dan dibawa di ke pulau. Itu pun istri mereka bukan berasal dari pulau-pulau terdekat dengan Pulau Sangia.”
Mendengar jawaban itu, wajah La Mudu menunjukkan kekagetannya. Dan seolah tanpa sadar ia berucap,“Berat sekali syaratnya?”
“Ya begitulah, Lenga,”sahut La Rangga Jo.
“Dan kalian sudah benar-benar siap dengan syarat dan kondisi seperti itu di kemudian hari?”bertanya La Mudu pula.
“Ya kita harus siap, Lenga,” sahut La Turangga.
La Mudu mendehem, lalu kembali bertanya, “Mengapa kalian ingin sekali menjadi pajurinya La Afi Sangia? Dan kenapa tak mencoba masuk menjadi pajuri resmi Kerajaan Mbojo, misalnya?”
“Kami sudah sampai tiga kali mencoba untuk masuk menjadi pajuri kerajaan, tetapi gagal. Jumlah penerimaannya tiap perekrutannya terbatas, untuk beberapa tahun terakhir. Menurut selentingan sih, kas kerajaan sedang tidak memadai untuk merekrut pajuri baru dengan jumlah banyak akibat pemasukan upeti dari rakyat kian menyusut. Upeti dari rakyat jauh lebih besar ditarik oleh La Afi Sangia. Karena itu, Baginda Afi Sangia jauh lebih mampu untuk merekrut dan menggaji prajuritnya yang banyak.”
“Jadi...La Afi Sangia kini telah menjelma sebagai kekuatan baru dengan perbendaraan yangh banyak? Dia sangat kaya?”La mudu lanjut bertanya. Lebih tepatnya, ia diam-diam ingin mengetahui segala hal tentang calon lawannya itu.