webnovel

Pendekar Pedang Pencabut Nyawa

Raka Kamandaka adalah seorang pemuda tampan yang berasal dari Keluarga Kamandaka. Keluarga tersebut sangat ternama di Tanah Pasundan. Selain ternama, keluarga itupun merupakan keluarga yang sangat kaya raya. Kekayaannya di mana-mana, bisnis perdagangannya maju pesat. Di sisi lain, Kepala Keluarga Kamandaka juga seorang pendekar. Namanya sangat termashur di dunia persilatan. Setiap orang-orang yang berkecimpung dalam rimba hijau, pasti pernah mendengar nama Pendekar Pedang Tunggal. Sepak terjangnya membuat semua pendekar golongan hitam merasa jeri. Kalau namanya disebut, pasti mereka bakal merasakan seluruh tubuh bergetar karena saking takutnya. Sayang, suatu ketika sebuah malapetaka menimpa keluarga ternama itu. Seluruh anggota keluarganya tewas dibunuh oleh puluhan orang tidak dikenal. Bahkan malapetaka juga menimpa guru dari Raka Kamandaka sendiri. Setelah terjadinya pembunuhan berantai yang dilakukan secara sadis tersebut, Raka Kamandaka memutuskan untuk memecahkan misteri yang menimpa keluarganya. Dia akan terjun ke dunia yang penuh dengan pertarungan sebagai seorang pendekar muda pilih tanding. Dengan sebilah pusaka yang bernama Pedang Pencabut Nyawa, Raka bertekad akan menggetarkan dunia persilatan.

Junnot_senju · Ost
Zu wenig Bewertungen
407 Chs

Pedang Menghilang Nyawa Melayang

Walaupun perkataannya diucapkan perlahan, tetapi karena suasana saat itu sedang hening, otomatis tujuh iblis tersebut mampu mendengarnya dengan jelas.

"Hahaha … bagus, ternyata kau juga mengenal kami," kata seorang yang berpakaian merah.

"Tentu saja. Aku sudah lama mendengar kebesaran nama kalian. Hemm, ternyata hal itu bukan hanya isapan jempol belaka,"

"Memang, sekarang kau sudah tahu siapa kami, apakah kau tetap tidak mau menyerah?"

"Dalam kamus hidupku, tidak ada yang namanya kata menyerah,"

Menyerah …, bagi sebagian orang yang berjiwa seperti Raka Kamandaka, "menyerah" adalah sebuah kata yang sangat pantang diucapkan dalam hidupnya. Bagi mereka, "menyerah" hanya suatu kata untuk orang-orang yang tidak sadar akan kemampuan diri mereka sendiri.

Daripada mengucapkan kata "menyerah", orang-orang seperti Raka Kamandaka justru lebih memilih untuk mati.

Mati lebih baik daripada "menyerah". Selama nyawa masih dikandung badan, selama itu pula mereka tidak akan pernah berkata "menyerah".

"Bagus. Kau memang bernyali besar,"

"Sudah tentu,"

"Kalau begitu, bersiaplah untuk mati,"

"Aku selalu siap jika harus mati,"

Raka Kamandaka memang sudah siap semuanya. Termasuk dalam hal kematian. Mau mati sekarang atau nanti, dia telah siap. Mati dibunuh atau mati diracun, dia sangat siap.

Bukankah siap tidak siap kematian pun akan selalu datang menjemput?

Memangnya manusia mana yang bisa menghindar dari datangnya kematian? Siapapun tidak akan bisa menghindar dari yang namanya kematian. Karena kematian adalah hal yang pasti.

Bukankah setiap yang bernyawa akan mengalami mati?

Dalam hidup ini, kematian adalah salah satu hal yang pasti akan terjadi kepada siapa saja. Di mana saja, dan kapan saja.

"Baiklah. Kalau begitu, terima kematianmu," teriak orang berpakaian biru.

Wushh!!!

Dia melesat. Sebuah golok sudah digenggam erat di tangan kanan. Gerakan orang itu sangat cepat. Lebih cepat dari pada apa yang dibayangkan oleh Raka Kamandaka sebelumnya.

Cahaya putih berkilat. Golok sudah diayunkan membacok ke bagian leher.

Pemuda itu hanya menarik sedikit kepalanya. Golok lewat dua buku jari di depan mata.

Belum habis serangannya, orang itu kembali melanjutkan serangan lainnya. Kali ini golok tersebut menusuk ke arah tenggorokan.

Tapi lagi-lagi Raka Kamandaka mampu menghindar.

Pada saat itulah enam orang lainnya sudah turun tangan ke medan pertarungan.

Berbagai macam senjata sudah tercabut keluar. Ada pula yang menyerang dengan tangan dan kaki mereka.

Semua serangan yang dilancarkan adalah serangan kelas atas. Jika lawannya kelas teri, jangan harap bisa lolos dari keganasan Iblis Tujuh Warna.

Apalagi serangan mereka dibarengi dengan tenaga dalam besar. Sehingga apapun yang ada di depannya, pasti mampu dijebol. Jika tembok bisa dijebol, apalagi hanya tubuh manusia?

Iblis Tujuh Warna sudah turun tangan bersama. Kalau sudah seperti ini, tidak banyak orang yang mampu bertahan dari serangan gabungan mereka.

Nama Iblis Tujuh Warna sudah tersebar luas di dunia persilatan. Sepak terjangnya yang kejam dan tidak kenal ampun, membuat nama mereka menjadi cepat terkenal.

Sehingga siapapun yang mempunyai masalah dengan mereka, pasti akan berpikir dua kali jika ingin memperpanjang persoalan itu.

Wushh!!!

Sebuah tongkat bercabang menusuk tenggorokan dengan cepat.

Raka Kamandaka masih berkelit. Selama ini, pemuda itu belum melancarkan serangan yang berarti.

Ini adalah strategi dalam pertarungan. Tujuannya supaya dia bisa mengerti bagaimana serangan lawan, sampai di mana kemampuannya, dan melihat di mana kelemahannya.

Hal itu sangat penting. Apalagi dalam sebuah pertarungan kelas atas. Salah setengah langkah saja, maka nyawa sebagai taruhannya.

Belum lagi mendapatkan posisi, dua serangan telah tiba dari dua sisi bersebrangan. Satu dari sisi kanan, satu lagi dari sisi kiri.

Pedang dan kipas baja sudah terhunus siap mengoyak tubuhnya. Sambaran dua senjata itu membawa deru angin tajam dan kekuatan yang mengerikan.

Hawa pembunuhan terasa sangat kental. Seolah udara menghilang karena amarah yang sudah berkobar dalam jiwa mereka.

Trangg!!!

Dentingan pertama terdengar.

Dua serangan yang dahsyat langsung berhenti tepat sebelum mengenai sasaran utamanya.

Sebilah pedang hitam bermotif batik telah diloloskan dari sarungnya. Sarung pedang menahan kipas baja. Sedangkan pedangnya menahan gerakan pedang yang lain.

Gerakan empat Iblis Tujuh Warna lainnya juga terhenti. Dada mereka terasa sesak saat melihat senjata pusaka yang kini ada di depan matanya.

Pedang Pencabut Nyawa!!!

Ketujuh iblis itu merasa ketegangan yang sulit untuk dibicarakan. Siapapun yang melihat pedang ini keluar, pasti akan mengalami hal yang sama.

Selama ini, Pedang Pencabut Nyawa belum pernah mengecewakan pemiliknya. Baik semenjak dipakai oleh Eyang Pancala Sukma, guru dari Raka Kamandaka. Maupun semenjak dipakai oleh pemuda itu sendiri.

Wushh!!!

Gelombang angin besar menerpa. Iblis Tujuh Warna terpental tiga langkah ke belakang.

Pada saat itu, Raka Kamandaka langsung bergerak melesat ke arah lawan dengan jurus Pedang Menghilang Nyawa Melayang.

Jurus itu adalah jurus kedua dari Kitab Pedang Pencabut Nyawa. Walaupun hanya berisi tiga jurus, namun di dalamnya terdapat banyak sekali perubahan yang sukar diduga. Bahkan mengandung kekuatan dahsyat yang tidak bisa dilukiskan.

Selama Eyang Pancala Sukma melakukan pengembaraan pada masa kejayaannya dulu, tidak banyak orang-orang dunia persilatan yang mampu bertahan dalam jurus kedua ini.

Karena seperti juga namanya, pedang akan menghilang dari pandangan lawan. Dan pada saat itu, nyawa juga akan melayang dari badan.

Wushh!!!

Pedang lenyap dari penglihatan Iblis Tujuh Warna. Yang terasa oleh mereka hanya ada desiran angin tajam yang merobek kulit.

Hawa pembunuhan bertambah lebih kental dari pada sebelumnya.

Pemuda itu memperlihatkan kemampuannya.

Sebenarnya pedang tersebut tidak menghilang. Namun karena gerakannya yang teramat cepat, sehingga musuh akan menganggap pedangnya lenyap.

Hanya segelintir orang yang mampu melihat pedang itu bergerak dalam jurus ini.

Pedang Pencabut Nyawa melancarkan lima tusukan ke tenggorokan iblis yang berpakaian kuning. Lawannya hanya bisa menghindar mengandalkan insting.

Walaupun dua tiga kali berhasil menghindari serangan, namun untuk ke sananya dia sudah tidak berdaya lagi.

Pedang Pencabut Nyawa telah bersarang di tenggorokan orang tersebut. Tak ada darah yang keluar. Bahkan luka pun tidak nampak, jika tidak diperhatikan dengan seksama.

Hal ini terjadi karena Raka Kamandaka memberikan tusukan dengan gerakan yang sangat cepat lagi tepat. Begitu pedang tembus ke belakang, dia langsung mencabutnya dalam kecepatan yang sama.

Mendadak iblis berpakaian kuning terpaku. Wajahnya langsung pucat pasi seperti mayat.

Dia ambruk. Mulutnya segera mengeluarkan darah kental cukup banyak.

Kejadian ini berlangsung teramat cepat. Sehingga siapapun tidak akan dapat membayangkannya. Bahkan enam rekannya masih terpaku dengan apa yang baru saja terjadi di depan mata mereka.

Setelah kematian satu orang lawan, Raka Kamandaka lantas menghentikan serangannya. Dia tidak mau menyerang jika lawan tidak dalam keadaan siap.

Baginya, hal itu bukan melambangkan sifat seorang pendekar.