Derap langkah belasan kuda itu semakin dekat. Debu mengepul tinggi ke angkasa. Hawa yang tadinya dingin tiba-tiba berubah menjadi panas dan sesak akibat kepulan debu itu.
Kuda mendadak meringkik dengan keras. Dua kaki depannya terangkat ke atas.
Entah bagaimana caranya, namun tiba-tiba saja pemuda itu sudah terkepung. Lima belasan rombongan berkuda tadi telah mengepung pemuda tersebut dengan rapat. Posisi si pemuda persis berada di tengah-tengah.
Lima belas kuda itu kemudian berjalan perlahan sambil mengelilingi si pemuda. Masing-masing penunggangnya tertawa terbahak-bahak dengan sangat keras.
Selama ini, Raka Kamandaka masih diam di tempat persembunyiannya. Dia belum bergerak sedikitpun. Sebelum mengetahui kejadian dengan jelas, Raka tidak mau bertindak. Sebisa mungkin dia harus mengetahui dulu duduk perkaranya.
"Hahaha, sudah aku katakan, sejauh apapun kau melarikan diri, kami akan tetap bisa mengejarmu. Apakah sekarang kau percaya dengan ucapan itu?" tanya seorang pria tua berambut panjang sambil terus tertawa. Tawa yang sombong. Mimik wajah yang merendahkan.
"Sekarang tunggu apa lagi? Lekas turun dari kudamu. Serahkan diri sebelum kami turun tangan dengan kejam," kata seseorang lainnya.
Suara gelak tawa orang-orang itu masih saja terdengar. Hutan yang tadinya sunyi sepi tiba-tiba ramai dengan suara-suara manusia-manusia durjana itu.
Si pemuda berpakaian ringkas biru muda itu masih terdiam. Sejauh ini dia belum berkata walau sepatah kata pun. Wajahnya masih tetap tenang. Sepasang matanya juga cemerlang.
Dalam dunia persilatan, kalau ada orang yang mempunyai ciri-ciri seperti itu, biasanya orang tersebut mempunyai tenaga dalam tinggi dan kemampuan yang susah diukur.
Semakin tenang seseorang dalam menghadapi sebuah mara bahaya, biasanya semakin tinggi pula kemampuan yang dimilikinya.
Setelah memutuskan beberapa saat, akhirnya pemuda tadi langsung turun dari kudanya. Dia berjalan dua langkah lalu berdiri tegak di hadapan lima belas orang itu. Caranya berdiri amat kokoh. Persis seperti tombak yang ditancapkan ke dalam bumi.
"Hahaha, akhirnya kau turun juga dari kudamu. Apakah benar kau bakal menyerah dan menyerahkan barang itu?" tanya orang yang pertama bicara tadi.
"Selamanya, aku tidak akan menyerah. Aku pun tidak akan memberikan barang yang kau maksud. Bukan karena menantang, tapi karena sejatinya aku sendiri tidak tahu barang apa yang kalian maksudkan itu," jawab si pemuda dengan sungguh-sungguh.
Dari ekspresi wajahnya pada saat bicara, Raka Kamandaka bisa melihat dengan jelas kalau dia memang tidak berbohong. Tapi sayang sekali, orang-orang di sekelilingnya justru tidak percaya dengan ucapannya. Mereka menganggap kalau pemuda itu berbohong.
"Dusta! Mana mungkin kau tidak tahu barang yang kami maksud? Sudah jelas beberapa hari lalu kami melihat kalau kau membawa pusaka Kitab Tapak Manunggal itu," bentak orang tadi dengan bengis.
Wajahnya langsung merah padam. Sepertinya orang tersebut sudah benar-benar gusar karenanya.
"Mungkin kau salah melihat orang. Bagaimana mungkin aku membawa kitab yang kau maksudkan? Sedangkan aku saja baru dua hari berada di sini,"
"Jadi, kau tetap mau berbohong?"
"Arya Saloka bukanlah pembohong,"
"Hahaha, bedebah. Tikus busuk, ternyata kau adalah pemuda yang berjuluk Pendekar Tangan Sakti?"
"Tidak berani, tidak berani. Itu hanya sebutan orang-orang iseng kepadaku," jawab pemuda yang ternyata bernama Arya Saloka dan berjuluk Pendekar Tangan Sakti itu.
"Sudahlah, habisi saja pemuda itu. Masalah barangnya ada atau tidak, itu persoalan nanti," kata seseorang memanas-manasi suasana.
Ketiga belas rekannya mengangguk setuju. Berlama-lama di hadapan seorang musuh hanyalah membuang waktu saja. Oleh sebab itulah, tiada seorangpun yang berani menolak usulnya.
Malah orang yang banyak bicara itu tampaknya juga setuju.
Namun sebelum mereka turun tangan, tiba-tiba saja Arya Saloka menengadahkan kepalanya ke atas. Persis ke tempat Raka Kamandaka berdiam.
"Saudara yang di atas sana, kenapa tidak ikut turun?" tanyanya sambil tersenyum.
Senyuman hangat. Senyuman yang biasa diberikan oleh seorang sahabat kepada sahabatnya sendiri.
Kelima belas penunggang kuda juga menengadah ke atas ke tempat yang sama. Mereka pun amat terkejut karena baru menyadari kalau di tempat itu ternyata ada orang lain.
Yang membuatnya terkejut bukan karena melihat wajah Raka. Melainkan karena mereka tidak bisa merasakan kehadirannya. Hal seperti ini biasanya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sudah berilmu sangat tinggi.
Dan orang yang dapat mengetahuinya juga hanyalah mereka yang mempunyai kemampuan luhur pula.
Lantas benarkah kedua pemuda itu merupakan orang yang mempunyai kemampuan sukar diukur?
Sementara itu, karena dirinya sudah diketahui oleh orang, Raka malu sendiri. Dia merasa kikuk. Untuk sesaat dirinya bingung harus melakukan apa. Namun sedetik kemudian, pemuda itu sudah bertekad untuk turun.
Benar juga, dia lantas turun ke bawah. Tubuhnya melayang seperti daun yang terbang tertiup angin. Caranya melayang amat ringan. Ringan seperti asap tipis dari tembakau yang dibakar.
"Ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna," gumam Arya Saloka sambil tertawa nyaring.
"Tidak berani, pujian itu terlalu berlebihan," katanya sedikit malu.
Arya Saloka hanya tersenyum simpul. Dia paham kalau pemuda di hadapannya ini bukanlah orang jahat. Dia pun tahu kalau orang itu bukanlah pemuda yang suka dipuji.
"Siapa nama suadara yang tampan ini?" tanyanya lembut.
"Namaku Raka,"
"Nama yang bagus,"
Meskipun baru pertama berjumpa, tapi dua orang pemuda itu tampak langsung akrab. Mereka seperti sahabat lama yang bertemu kembali setelah sekian lama terpisah.
Berbarengan dengan kejadian Raka memperkenalkan dirinya, lima belas penunggang kuda itu segera mengerutkan kening hampir secara bersamaan.
"Tunggu, kau bilang barusan, namamu adalah Raka?" tanya salah seorang yanh bertubuh agak gemuk.
"Tidak salah, apakah Tuan mengenalku?"
"Hemm, Raka … Raka Kamandaka atau bukan?"
"Tepat sekali," jawabnya sambil tersenyum.
Orang itu juga tertawa. Malah yang lainnya pun turut melakukan hal serupa.
"Bagus, bagus, akhirnya aku bisa menemukanmu di sini,"
"Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan sampaikan kepadaku?"
"Ada,"
"Apa?" tanya pemuda itu.
"Kau harus mampus …"
Wushh!!!! Wutt!!!
Dua batang pedang langsung diloloskan hanya dalam waktu yang sangat singkat. Sebelum yang lain tahu, orang tadi sudah melompat turun dari atas kuda miliknya.
Pedang yang amat tajam itu segera terjulur ke depan seperti lidah petir yang sangat berbahaya.
Satu tusukan maut telah dilayangkan mengarah ke tenggorokan orang.
Raka Kamandaka terkejut. Dia tidak pernah menduga kalau orang itu bakal menyerangnya secara tiba-tiba. Kalau orang lain, pasti dia tidak bisa berbuat banyak.
Sayang sekali, Raka Kamandaka bukanlah orang lain.
Wutt!!!
Dengan gerakan kilat, pemuda itu telah berkelit ke samping kanan. Tusukan pedang tadi lewat satu jengkal di depan wajahnya.
Melihat serangannya gagal, orang tadi langsung naik pitam. Pedang yang sudah lurus ke depan itu tiba-tiba diputar sehingga berbalik arah.
Punggung Raka menjadi sasaran telak.
Trangg!!!
Bunyi nyaring mendadak terdengar. Tahu-tahu pedang itu sudah terpotong menjadi dua bagian. Kutungan pedang terlempar hingga menembus batang pohon.