webnovel

Penyintas dari Marina

Beberapa minggu kemudian.

Menjelang malam di perbatasan bagian selatan Death Valley. Sekelompok pasukan berkuda menghentikan langkah mereka ketika mendapati muka Death Valley telah ada di hadapan mereka.

"Berhenti!"

Titah seorang lelaki yang berbadan kekar sembari mengangkat satu tangannya. Baju zirah lelaki tersebut berwarna putih seputih salju, sedangkan baju zirah pasukan di belakangnya berwarna abu metalik.

Dari simbol serigala putih dan istana kristal yang ada di dada dan bendera yang mereka kibarkan. Pasukan tersebut berasal dari Kerajaan Huntara. Tepatnya mereka dari Kota Blackwinter yang berada di bagian selatan kerajaan.

Kota yang berbatasan langsung dengan Kerajaan Farnodt dan tanah bangsa iblis di tengah Benua Kastia, Abyss.

Pasukan dari kota Blackwinter ini sedang mengejar satu-satunya penyintas dari pasukan Kerajaan Farnodt yang dikirim ke perbatasan Abyss.

Sekitar lima ratus pasukan dikirim ke perbatasan untuk memeriksa situasi tanah iblis yang semakin memperlihatkan aktivitas di dalamnya. Dan hanya satu, yaitu wakil kapten dari pasukan tersebut yang berhasil melarikan diri.

Misi dari pasukan Blackwinter adalah untuk menghabisi semua pasukan tersebut tanpa menyisakan satupun penyintas. Karena adanya saksi mata atas pembantaian tadi akan menurunkan posisi pemimpin Kota Blackwinter.

Sekarang, melihat penyintas tersebut melarikan diri ke dalam Death Valley, membuat sang kapten pasukan serasa memakan buah pahit.

Death Valley adalah tempat di mana kematian selalu menemani. Bahkan para Champion dari setiap kerajaan yang disebut-sebut sebagai para manusia terkuat pun akan ragu masuk ke tempat terkutuk itu.

"Orang gila ini. Dia benar-benar nekat masuk ke sana."

Kesal sang kapten yang melihat muka hutan di depannya seperti memanggil dirinya. Namun dia tahu kalau panggilan itu bukanlah pertanda yang baik.

"Apa yang akan kita lakukan, Kapten Zack?"

Zack, pria bertubuh kekar dan besar, dengan jenggot putih brewok panjang memicing ke arah Death Valley. Sejujurnya, dia sendiri bingung harus melakukan apa. Perintah agar tidak membiarkan adanya penyintas adalah absolut. Tuannya akan terkena masalah besar bila perintah tersebut tidak dilaksanakan.

Tapi, pergi mengejar penyintas tersebut ke Death Valley sama saja dengan bunuh diri. Zack tidak mau mengirim bawahannya menemui ajal mereka.

"Akan kita tunggu selama tiga hari di sini. Dia mungkin tidak akan pergi jauh dari perbatasan karena tahu kita tidak akan mengejarnya. Dia mungkin akan kembali. Kalau dalam tiga hari dia tidak kembali juga, satu regu akan ditugaskan di sini untuk menunggunya. Yang lainnya akan kembali ke Blackwinter. Tuan kita akan sangat cemas saat ini."

Perintahnya yang langsung disetujui oleh para pasukan Blackwinter. Mereka juga enggan untuk masuk ke area terlarang tersebut. Belum masuk pun, mereka sudah merasakan hawa kematian dari muka hutan. Penyintas tersebut, wakil kapten itu, pasti sudah sangat gila mau lari ke dalam sana.

***

"Huff… huff… huff…"

Seorang lelaki paruh baya menggunakan baju zirah metalik dengan kaos merah lengan panjang duduk bersandar di sebuah batu besar.

Pada tubuhnya, telah banyak bekas luka goresan senjata tajam dan bercak darah yang telah mengering.

Lelaki tersebut adalah wakil kapten dari pasukan Kota Marina di Kerajaan Farnodt.

Kemarin pagi, sebanyak lima ratus pasukan Marina melakukan ekspedisi ke perbatasan kerajaan dengan tanah Iblis, Abyss. Banyak laporan dari desa-desa di dekat sana yang mengatakan kalau banyak warga yang menghilang. Dan beberapa laporan menyatakan kalau mereka melihat bangsa iblis menyelundup di kegelapan malam.

Bukan saja karena laporan ini, tapi juga karena banyaknya kejadian di perbatasan kerajaan-kerajaan lain yang memperlihatkan naiknya aktivitas para iblis dari Abyss. Hal ini membuat pemerintah Kerajaan Farnodt gelisah, dan mengirim pasukan ekspedisi untuk menyelidiki situasi di perbatasan mereka.

Namun tidak disangka. Menjelang subuh tadi, pasukan Marina yang masih beristirahat tiba-tiba saja diserang oleh bangsa iblis. Jumlah para iblis itu mungkin hanya separuh dari jumlah mereka saat itu, namun kekuatan fisik dan magis mereka jauh di atas manusia. Membuat pertarungan itu menjadi sangat sengit.

Di tengah pertarungan itulah, tiba-tiba pasukan tentara lain muncul. Melihat mereka adalah manusia, awalnya pasukan Marina mengira kalau mereka adalah bala bantuan. Namun ayal, mereka memang bala bantuan, tapi bagi bangsa iblis bukan bagi mereka.

Serangan kedua pasukan berbeda bangsa itu mengapit pasukan Marina. Dan hanya dalam waktu kurang lebih dua jam, pasukan Marina pun terkikis hingga tinggal berjumlah puluhan orang.

Wakil kapter dan mereka yang tersisa sekuat tenaga melarikan diri. Waktu terasa sangat cepat, dan tanpa dia sadari, hanya dia sendirilah yang tersisa. Menjelang malam, ketika pasukan berkuda Blackwinter sudah dekat dengannya.

Di ujung pandangnya, dia melihat muka hutan terkutuk yang mengeluarkan hawa kematian. Dia merasa kalau masuk ke sana maka dia tidak mungkin lagi untuk keluar. Tapi, di belakangnya suara lari kuda sudah samar terdengar. Nyawanya kini hanya memiliki dua pilihan.

Mati di tangan pasukan Blackwinter, atau mati dalam pelukan Death Valley.

"Bangsat! Aku lebih baik mati dimakan para monster daripada di tangan para pengkhianat!"

Meneguhkan pendiriannya, dia pun berlari masuk ke tanah di mana para iblis dan Champion pun segan untuk menginjaknya. Tempat di mana kematian menjadi teman yang setia mengikutinya.

Malam pun tiba.

Sang wakil kapten pasukan Marina yang bernama Reiss, terdiam mengistirahatkan diri di balik batu. Semenjak dia masuk ke wilayah hutan Death Valley, bulu kuduknya tidak berhenti berdiri. Dia merasakan banyak mata yang terus mengawasi sejak menginjakkan kaki di tanah tersebut.

Logikanya tahu kalau perasaan itu hanya ketakutannya semata. Namun, walau logikanya tetap berjalan, perasaan takut, cemas, kalut dan lain sebagainya sama sekali tidak menghilang.

"Grrr…"

"!!"

Reiss seketika mendengar suara geraman dari sisi kanannya. Dia melirik, namun tidak melihat apapun di sana. Hanya kegelapan yang ada di depannya. Matanya tidak mampu menembus kegelapan itu.

Beberapa detik kemudian, dia kembali mendengar suara geraman lain. Kali ini dari arah depannya. Lalu suara lolongan dari kejauhan di belakangnya. Tidak butuh waktu lama, telinganya mendengar banyak suara mengerikan di sekelilingnya.

Keringat semerta mengalir di sekujur tubuh Reiss.

'Tidak, tidak bisa diam di sini. Harus terus bergerak!'

Pikir Reiss dalam panik. Dia ingin segera berlari keluar melewati jalur yang dilewatinya tadi. Tapi, ketika dia melihat sekeliling, bagai menghilang ditelan kegelapan, Reiss tidak bisa melihat arah yang tadi dilaluinya.

Kakinya bergetar ketakutan. Suara geraman semakin mendekat. Reiss seketika merunduk, lalu merayap perlahan ke arah semak-semak. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara apapun.

Dom dom dom dom

Suara langkah kaki yang keras semerta menimbulkan getaran halus di tanah, terasa sangat dekat dari samping Reiss. Dia yang sudah bersembunyi di sekumpulan semak-semak, melirik ke arah asal getaran.

Di sana dia melihat siluet besar setinggi lima meter dengan mata biru menyala mengamati keadaan sekitar. Reiss tidak bisa melihat jelas monster apakah itu, tapi dia tahu kalau kekuatan monster itu jauh berada di atasnya.

'Aku mati, aku mati, aku mati!'

Dalam keterpurukan, dia sekilas melirik sebuah lubang kecil di dalam batang sebuah pohon. Lubang tersebut dirasa muat untuk dimasuki.

Dengan panik, dia melirik ke arah monster yang masih terdiam di kejauhan sana. Dia pun memberanikan diri bergerak perlahan mendekati lubang pohon yang berada sekitar sepuluh meter dari tempatnya berada.

Semakin dia merayap mendekat, jantungnya terasa mau pecah. Reiss yang bukan orang religius berdoa dengan segenap hati, berharap monster seram itu tidak mengetahui keberadaannya.

Setelah sampai, Reiss segera masuk ke lubang. Badannya benar muat, di dalam sana, dia berusaha menahan napasnya agar tidak terdengar dan mengecilkan badannya. Matanya sesekali memeriksa keadaan di luar.

Sekitar setengah jam, akhirnya monster mengerikan itu pergi. Reiss akhirnya bisa bernapas lega.

"Sigh…"

"Ssssss…."

"!!"

Suara desisan seketika terdengar dari atas kepalanya. Dia langsung menoleh, dan di atas sana, dia melihat kepala ular sebesar pahanya melihat tajam.

"Fu*k!"

***

Di tempat lain, di sebuah kabin yang berupa toko di kedalaman Death Valley. Seorang lelaki sedang menghaluskan sebuah batang kayu dengan pisau. Batang kayu tersebut terlihat panjang dengan lekukan yang antik.

Batang kayu tersebut merupakan batang kayu yang beberapa minggu lalu ditumbangkan oleh Cien akibat percobaan teknik [Tongue of Fire].

Merasa sayang membiarkan batang kayu tersebut didiamkan saja. Cien pun memutuskan untuk membuat beberapa peralatan dari kayu. Salah satunya adalah kursi yang saat ini didudukinya, dan di simpan di teras kabin.

Contoh lainnya adalah kayu yang sedang dipahatnya kini. Batang kayu tersebut akan dijadikan Cien sebagai busur panah.

Sraat sraat sraat…

Cien memahat dengan santainya, sesekali merasakan keseimbangan busur. Di sampingnya, terdapat sebuah pembakaran dengan beberapa potongan daging Inferno Bear di atasnya. Tidak jauh dari kursinya terdapat satu balok kayu yang dijadikan meja, di atas meja ada beberapa potong daging yang sudah matang dan segelas teh hangat.

Menghentikan tangannya, Cien mengambil teh tersebut. Menyeruputnya, merasakan kehangatan mengalir dari tenggorokan ke perutnya. Lalu dia tusuk satu potong daging dan merasakan kenikmatan di seluruh indera lidahnya.

"Ah~ inilah hidup…"

Di teras kabin yang damai dengan nyala lampu yang terang, Cien dengan santai memahat serta barbekyu yang ditemani hangatnya teh di dinginnya malam.