webnovel

Pekerjaanku [End]

Tidak ada bayangan tentang menjadi seorang asisten pribadi. Tapi inilah yang terjadi. Dari seorang satpam, Deano kini berusaha sangat keras untuk bisa menjadi seorang asisten pribadi. Berkali-kali ingin menyerah, tapi nyatanya tetap bertahan. Ada banyak hal yang membuatnya bertahan meski ingin menyerah. Membuka matanya bahwa hidup orang lain tidak seindah apa yang dilihat. Yakin, meski terlambat, tapi hasil yang akan diraih tidak akan berkhianat. "Karena kamu membalas anggukanku." Jawaban sang bos nyatanya membuat Deano merasa sangat jengkel.

dhiarestwd · realistisch
Zu wenig Bewertungen
22 Chs

Kehilangan

Kalau Bos Kecil sedang ujian, aku bisa sedikit lega. Karena waktu yang terpakai untuk mengerjakan tugasku dan tugas Bos itu nggak banyak. Sekarang juga aku lagi leha-leha di tepi kolam renang sembari menikmati smooties. Menikmati waktu dan menganggap semua ini milik sendiri. Kadang aku memang gitu. Sombongnya nggak ketulungan kalau lagi sendirian kayak gini.

Tiba-tiba aja ponsel berdering. Ini dering khusus yang aku pasang hanya untuk satu orang, Kairo. Ada apa gerangan dia menelepon?

"Datang ke NAR Hospital." hanya itu, lalu telepon ditutup. Bahkan Kairo nggak memberikan waktu bagiku untuk menyapa.

Ada apa? Kok kayanya penting banget ya?

Apapun itu, aku sudah terbiasa untuk bergerak cepat memenuhi tugas yang diberikan. Jadi aku langsung berangkat ke rumah sakit yang dimaksud dan menemui Kairo di depan ruang IGD. Disana ada Mr. Bima, Nyonya Clara dan Rossie.

Keadaan ini sepertinya nggak baik. Nyonya Clara terlihat sedih banget. Wajahnya burem kusut gitu. Siapa yang sakit?

Kairo mengajakku untuk berbicara 4 mata, jadi kami menjauh dari gerombolan keluarga Narendra.

"Mr. Narendra is sick. Don't tell Mr. Angga, because he is taking an exam." ucap Kairo singkat.

Aku langsung menganggukkan kepala. Paham apa yang dimaksud oleh Kairo. Apalagi ini ujian akhir semester bagi Bos Kecil. Tinggal beberapa hari lagi, jadi mungkin masih bisa ditolerir. Kalau nanti Bos Kecil marah, masih bisa ditangani.

Beruntungnya, Bos Kecil tuh jarang berkirim pesan sama ayahnya. Bos Kecil tuh tipe yang suka ngobrol langsung kalau sama Mr. Narendra ataupun anggota keluarga lainnya. Itu satu keuntungan yang bisa dimanfaatkan untuk saat ini.

Sudah 3 hari berlalu, dan keadaan Mr. Narendra belum membaik. Dari dokter yang menangani, diketahui kalau Mr. Narendra mengalami pembengkakan jantung. Hal yang tak terduga, mengingat Mr. Narendra bukan orang yang serampangan dalam hal makanan. Beliau juga rajin olahraga.

Mr. Arrael dan sang istri datang di hari kedua Mr. Narendra di rumah sakit, disusul oleh Mr. Ilham. Hanya Bos Kecil aja yang sampai detik ini nggak tahu kalau bapaknya masuk rumah sakit. Dan anggota keluarga yang lain juga sepakat untuk nggak memberitahunya sampai ujian selesai.

Hari terakhir ujian akhir semester adalah hari kelima Mr. Narendra ada di rumah sakit. Kondisinya masih sama. Bahkan bisa dibilang lebih buruk. Bahkan sejak tadi pagi beliau tidak sadarkan diri. Kenapa bisa sampai separah itu?

"Deano, kapan Angga selesai ujian?" tanya Nyonya Clara. Wajah glowingnya sudah berganti menjadi wajah yang kacau. Kedua matanya seperti mata panda dan wajahnya terlihat kusut.

"Hari ini, jam terakhir akan selesai jam 4 sore." jawabku.

"Pastikan Angga mandi dan makan sebelum kamu bawa kesini." aku menganggukkan kepala untuk menjawab perintah Nyonya Clara.

Selama beberapa hari belakangan ini aku ikut memantau keadaan Mr. Narendra. Memang tidak setiap saat, karena kami masih harus merahasiakan keadaan beliau dari Bos Kecil. Jadi, kalau Bos ada di rumah, aku juga akan stay di rumah. Kalau Bos keluar dan nggak membutuhkanku, aku akan ke rumah sakit walau hanya beberapa menit.

Yang paling sulit adalah menyembunyikan reaksi wajah. Karena setiap kali melihat Bos Kecil, bawaannya tuh kasian. Bapaknya tergolek di rumah sakit tapi dianya nggak tahu akan hal itu. Tapi keputusan ini kan udah jadi kesepakatan, jadi harus dilakukan dengan baik.

***

Aku sudah ada di rumah sekitar jam 3 sore. Harus ada di rumah dan kelihatan ada di rumah ketika Bos Kecil pulang. Bisa curiga nanti dia kalo sampai tahu aku nggak ada di rumah. Aku juga sengaja mengganti bajuku, biar nggak ada bau rumah sakit yang menempel.

"I'm home." itu Bos Kecil udah sampai di rumah.

Seperti biasanya, dia akan langsung menuju dapur dan juga mulai berpikir untuk membuat makan malam. Keadaan kayaknya memaksa Bos Kecil untuk bisa memasak, walaupun ada chef yang bisa dipanggil kapanpun dibutuhkan.

Selesai memeriksa isi kulkas, Bos langsung menuju kamarnya untuk mandi dan berganti baju. Aku suka sabun mandi yang dipakai Bos Kecil. Entah kenapa wanginya tuh seger. Aku tahu merk sabunnya, tapi ketika aku yang menggunakan, kenapa wanginya jadi beda ya? Nggak sewangi kalau dipakai sama Bos Kecil. Apa karena aku kebiasaan menggunakan sabun batangan yang murah?

Tugas selanjutnya adalah memasak. Aku nggak diperbolehkan membantu ataupun mengganggu Bos kalau sedang masak. Katanya, memasak adalah kegiatan yang sakral baginya. Nggak papa sih, karena aku juga nggak begitu tertarik dengan kegiatan memasak. Malah, aku yang jadi bosnya kalau si Bos Kecil lagi masak gini. Duduk nungguin hasil masakannya sembari ngutek tablet.

Jam 5.45 sore masakan udah siap. Dua porsi capcay goreng yang komplit, sayang nggak ada seafoodnya. Kami makan dengan tenang. Cuma bunyi dentingan alat makan yang menjadi pengisi suara. Wajar, karena hanya ada kami berdua. Dan kami juga jarang berbincang layaknya orang normal. Beda cerita kalau ada Yuna atau Jona.

Aku jadi deg-degan setelah makan malam selesai. Ini waktunya bagiku untuk membawa Bos Kecil ke rumah sakit.

"Mr. Narendra wants to meet you at hospital." kataku akhirnya. Sumpah, mau ngomong gini aja dada rasanya berdetak nggak karuan. Seperti anak ABG yang mau menyatakan cinta gitu.

Bos Kecil cuma menganggukkan kepala, lalu naik ke atas. Mungkin mau siap-siap. Apalagi kan ujian udah kelar, saatnya menikmati liburan.

Seperti yang udah diduga, Bos Kecil bawa ransel. Itu ransel isinya tablet, laptop sama beberapa baju kesayangan. Padahal mah di rumah utama juga banyak baju, tapi tetep harus bawa beberapa baju dari rumah ini.

Kami mengendari mobil berdua. Bos duduk disampingku dengan tenang, sembari berkutat sama tabletnya. Mungkin sedang mengecek pekerjaan yang belakangan ini menarik perhatiannya. Hebat ya, baru 20 tahun tapi udah punya pekerjaan yang mentereng gitu. Aku juga hebat diumur segitu udah kerja, jadi satpam.

Detak jantungku makin nggak karuan sesampainya di rumah sakit. Berjalan bersisian dengan Bos yang masih sibuk dengan tabletnya, aku memimpin jalan. Sampai di lantai 4, Bos masih belum ngeh dengan apa yang menantinya. Dia masih aja sibuk sama tabletnya, bahkan ketika aku sudah berhenti di depan ruang rawat Mr. Narendra.

Di luar ruangan, ada Mrs. Aini dan Mr. Arrael. Mr. Ilham juga ada.

"What?" cuma itu yang Bos katakan ketika aku menyenggolnya.

Disenggol dan dia baru ngeh kalau ada anggota keluarganya yang duduk disana. Nyonya Clara keluar ruang rawat ketika mendengar suara Bos.

"You here." suara lemah Nyonya Clara tuh berasa kasihan banget.

Bos langsung memeluk Nyonya Clara. Kebiasaan yang selalu dilakukan ketika mereka bertemu. Tidak hanya dengan Nyonya Clara, Bos juga memeluk Mrs. Aini dan kedua kakaknya. Terlihat kalau sekarang Bos mulai bingung menyaksikan anggota keluarganya berkumpul disini. Apalagi ini belum saatnya mereka berkumpul untuk acara tahunan keluarga kan?

"Ayah wants to meet you." Mr. Bisa keluar dari ruang rawat.

Kami membiarkan Bos Kecil masuk dan menemui Mr. Narendra sendirian. Kami juga memberi waktu kepada Bos untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa marah-marah ke kita semua nanti, setelah dia tahu apa yang terjadi.

[Accompany me]

Pesan dari Bos Kecil ke aku. Bahkan belum ada 5 menit dia ada di dalam ruang rawat.

Seolah meminta ijin, aku memandangi anggota keluarga yang lain. Mereka juga paham kalau Bos Kecil yang mengirim pesan kepadaku. Mr. Arrael yang menganggukkan kepala, tanda mengijinkan.

Ini pertama kalinya aku masuk ke ruang rawat inap Mr. Narendra. Biasanya aku cuma di luar bersama Kairo atau siapapun. Ada pembatas dengan pintu keluar sebelum masuk ke ruang rawat pasien. Bisa dibilang itu ruang tamunya. Masuk ke bagian yang lebih dalam, baru ada ruang rawat pasien. Mungkin ini adalah ruang rawat paling mahal yang ada di rumah sakit ini. Mewah banget.

Setelah puas mengagumi kemewahan ruangan itu, aku langsung mendekati Bos Kecil yang sedang memandangi Mr. Narendra. Aku menyiapkan kursi agar dia bisa duduk sembari memandangi ayahnya. Nggak tahu apa yang ada di pikiran Bos Kecil saat ini.

Entah berapa lama, Bos Kecil diam aja. Aku cuma bisa memperhatikan. Oh iya, aku posisinya berdiri di belakang Bos Kecil ya.

"Ayah." itu suara pertama yang keluar. Kedengaran sangat sedih.

Ya ampun, aku jadi ikut sedih. Ya bayangin aja kalo kamu jadi orang terakhir yang tahu kalau bapak kamu sakit. Meski terlihat biasa aja, aku yakin kalau Mr. Narendra tuh sayang banget sama Bos Kecil. Dimana-mana anak paling kecil tuh jadi anak kesayangan kan. Sama kayak Fara kalau di rumahku.

"Why didn't you tell me earlier? Does it hurt?" rasanya trenyuh banget denger pertanyaan itu.

Cuma itu yang diucapin sama Bos Kecil. Setelahnya, dia cuma pegangin tangan Mr. Narendra yang nggak ditusuk jarum apapun. Kok rasanya nyesek banget ya?

Ini kayaknya ke-sotoy-anku, kalau sebenarnya Bos Kecil itu pengen ngomong banyak hal ke Mr. Narendra. Tapi entah kenapa nggak bisa. Aku jadi serba salah. Berdiri disini nggak ngapa-ngapain. Mau keluar juga takut salah, karena Bos Kecil memberi undangan spesial ke aku untuk menemaninya.

Perlahan, aku mendekati Bos Kecil dan menepuk pundaknya beberapa kali. Mungkin kalau kami adalah perempuan, aku akan memberikan pelukan untuk menguatkan Bos Kecil. Sama kayak Fara kalau mau memberi dukungan dan semangat untukku. Hal kecil yang sangat berarti lho itu.

Dan sepertinya it work.

Bos Kecil menundukkan kepalanya, lalu menyandarkan di tangannya yang sedang memegang tangan Mr. Narendra. Suara isakan tangis terdengar. Segitu gengsinya kah untuk menampakkan kerapuhan dia? Mungkin bukan gengsi, tapi lebih ke bingung harus bersikap seperti apa.

"It's okay if it hurts. You can give up. We know how you struggle. It's time to rest."

Berulang kali aku berkedip dan mendongakkan kepala agar air mataku nggak jatuh. Iya, para anak adalah saksi bagaimana perjuangan seorang Michael Narendra dalam hidupnya. Bagaimana beliau membesarkan keempat anaknya, juga membekali mereka agar bisa bertahan meski dalam kesendirian.

Ya ampun, aku sok tahu banget ya. Padahal kenal dan tahu juga 3 tahun ini, tapi belagak udah tahu banyak hal tentang keluarga ini.

***

Malam ini, nggak ada yang tidur. Kami semua rasanya betah banget buat membelalakkan mata. Padahal kami hanya diam saja tanpa melakukan apapun ataupun berbincang.

Ketika melihat jam, sudah menunjukkan pukul 2.30 pagi. Aku nggak pulang. Semalam udah ngasih tahu Fara dan Edo kalau aku di rumah sakit nemenin Bos Kecil.

Rasanya baru semenit aku memejamkan mata, tapi ada hal tak terduga yang terjadi. Semua orang langsung siaga tanpa diperintah.

Mesin yang ada disamping tempat tidur Mr. Narendra berbunyi nyaring. Pertanda ada yang tidak beres dengan sang pasien. Nyonya Clara langsung menangis dalam diamnya. Para dokter dan perawat berhamburan kedalam ruang rawat inap. Membuat ruangan yang luas itu terlihat penuh sesak.

Hanya semenit, atau mungkin sedetik, kemudian keheningan yang mengerikan menyelimuti ruangan itu. Suara datar mesin berbunyi memekakkan telinga. Membuat kita semua rasanya pengen banting itu mesin biar diam.

Sebuah garis lurus terpampang di monitor mesin.

"Maaf, beliau sudah tidak ada." ucapan dokter Nando itu membuat dunia serasa runtuh.

Nyonya Clara dan Mrs. Aini langsung menangis meraung. Kesedihan jelas terdengar dari suara mereka. Keempat anak Mr. Narendra hanya diam mematung, seolah tidak mempercayai apa yang mereka dengar dari dokter Nando. Kairo langsung terduduk lemas dikursinya. Rossie, dia berulang kali mengusap air mata yang rasanya sulit untuk dihentikan.

Aku? Hanya berdiri menatap tubuh kaku yang sudah dibungkus dengan kain putih.

"I want to take a rest." Nyonya Clara lalu meninggalkan ruang rawat suaminya.