webnovel

Drum Band Hantu

"Dram-tum-tum-dram! Dram-tum-tum-dram!"

Dulu semasa kanak-kanak, jauh sebelum adzan subuh, sering terdengar suara drumband dari kejauhan, berulang-ulang dan merdu sekali. Bila ada angin berhembus suaranya lebih mendayu, meliuk-liuk, menyayat-nyayat, seakan musik kesedihan pengantar kubur.

Sayup-sayup hilang pergi, kadang terdengar samar, lalu dalam selisih detik terdengar jelas. Bila suara aneh itu kutanyakan kepada bapak, dijawab bahwa itu tentara sedang latihan. Bila bertanya lagi di mana, dijawab di Wedi, sebelah barat daya kota Klaten. Ketika adzan Subuh bergema musik itu tidak berhenti, malahan sering berlanjut sampai matahari bersinar. Biasanya, setelah mendapat jawaban begitu aku tak mempedulikannya. Dan, itu berlangsung selama bertahun-tahun. Seiring waktu kudapat cerita kalau suara-suara itu adalah drumband hantu. Bapak selama ini bohong, hanya asal menjawab. Jika itu tentara latihan, mengapa mulai sekitar jam 01.00? Tentulah akan diprotes warga karena mengganggu orang tidur. Yang pasti, di sana ada Kali Wedi, yakni sungai pasir yang berhulu di Merapi. Konon, Kali Wedi dijadikan kuburan massal anggota pe-ka-i. Asal-muasal suara tambur itu, kata orang-orang, bermula dari situ. Karena sebelum tahun enam puluh lima suara drumband subuh itu tidak pernah ada.

Pak Tajab, guru agamaku di es-em-pe, bercerita pernah ditugaskan menendangi kepala yang dipancung di sana. Liang kubur sudah menanti di bawah, begitu kepalanya menggelundung maka sisa tubuhnya didorong jatuh, bertindih-tindih. Setelah lubang penuh, eksekusi pindah ke lubang lainnya, begitu seterusnya. "Tidak sampai hati melihatnya, sehingga aku melakukannya sambil menatap langit. Kubayangkan yang kutendang itu bola."

Cerita Mbah Mul lebih menguak misteri. Dia sendiri dicopot dari jabatan lurah, dibui, dan ka-te-penya dicap khusus. Saat musim pengganyangan, karena salah satu warganya yang pentolan pe-ka-i belum ditemukan, dia dijadikan sandera dan diarak. Bila tidak ditemukan, kepalanya sebagai ganti. Orang itu tertangkap, bersembunyi di pyan. Katanya, ada grup drum band dan pelatihnya yang dibantai di sungai pasir itu. Si pelatih bernama Sujud, guru seni es-em-a negeri yang masih muda, berasal dari desa Cetan sebelah timur Pabrik Gula Ceper.

"Kalau dia pegang tambur siapa pun akan tersihir oleh keahliannya," ujar Mbah Mul. Sujud juga ahli di bidang musik, tari, wayang, dan ketoprak. Bakat turunan dari kakeknya yang seorang dalang terkenal di masanya. "Dia orang bayaran, bukan aktivis atau anggota partai."

Menjelang kejadian memilukan itu Sujud diminta melatih drum band untuk menyambut kedatangan pembesar partai yang akan berkampanye di lapangan Kurung. Kunjungan itu tidak pernah terjadi, karena sejarah berbelok ke arah lain. Sujud terjebak dan dikhianati.

"Tapi ada yang mengatakan Sujud dieksekusi di Goa Luweng, sebuah lubang di wilayah Gunung Kidul yang tembus laut selatan. Sehingga jasadnya hilang tertelan ombak. Tapi kalau dibunuh di situ, lalu arwah siapa yang bermain tambur dengan indah di Kali Wedi?" kata Mbah Mul, meyakinkan.

"Dram-tum-tum-dram! Dram-tum-tum-dram!"

"Mengapa kutunjuk Kang Sujud," bisik Gangsir, lirih. Sebuah parang digenggamnya kencang. Ditujunya makam di pojok dusun, dipandanginya nanar, seolah ada yang mengendap di balik nisan-nisan. Dia berbalik, meninggalkan kuburan, lalu menyusuri jalan yang sama. "Mengapa kutunjuk Kang Sujud?" ulangnya, hampir tak terdengar oleh telinganya sendiri. Di buk tepi jalan, dia duduk bersila. Dicabutnya dua lenjar ilalang, dipegangnya kiri kanan, mulutnya bersuluk layaknya dalang, lalu berdialog sendiri: "Apakah kamu pe-ka-i?" Bukan! Bila begitu bunuhlah pe-ka-i. Bawa kepalanya ke sini, bila tidak, maka nyawamu sebagai ganti! Tidak!"

Lalu rumput ilalang itu diperangkannya seperti wayang kulit, mulutnya menggameli menirukan suara kendang.

Beberapa lelaki memberanikan diri keluar rumah, mendekati Gangsir dengan penuh perhitungan. "Maaf, ya, Kang, kami hendak merantaimu lag," kata Kimpul, lirih. Gangsir diam, parangnya dijatuhkan. Gangsir diisolasi di rumah kosong samping kuburan. Setelah itu warga menunggu-nunggu teriakan minta tolongnya, karena itu pertanda kesembuhannya. Tahun berikutnya, bila menginjak akhir bulan September, penyakit gilanya kambuh lagi. Jadi, selain tanggal kelahiran, Gangsir juga punya tanggal kekambuhan. Sejak kapan dia jadi si kambuh? Sejak rasa kebersalahannya pada Sujud dan teman-temannya tak tertanggungkan.

"Kang Sujud, kapan kita latihan?" tanya Gangsir, kala itu.

"Nanti sore," jawab Sujud. Sorenya tidak jadi latihan karena bapaknya Trimo meninggal sehingga mereka harus melayat. Sehari sesudahnya mereka kecewa lagi karena Sujud tak kunjung muncul tanpa alasan jelas.

"Apakah honor Kang Sujud belum dibayarkan sehingga ogah-ogahan melatih," bisik Tarjo Cethol.

"Ah, itu bukan sifatnya," kata Joko Udet. "Mungkin ada urusan lain."

"Mengapa Kang Sujud tidak bersedia masuk partai?" bisik Gangsir.

"Masuk partai atau tidak itu haknya! Dia bersedia melatih saja seharusnya kita bersyukur," balas Bondan Kampret.

"Karena dia cari duit," kata Parno Thontho, sinis.

"Bukan hanya itu, Kang Sujud juga mengincar Sebloh," bisik Gangsir, tak suka. Sebloh adalah anak Kanjeng Prenjak, juragan tembakau yang jadi pimpinan partai tingkat kecamatan. Malah kantor partai berada di rumahnya yang besar. Anaknya cantik dan moblong-moblong. Oleh bapaknya, Sebloh sengaja dipasang untuk menarik para muda agar masuk partai. Sujud beruntung karena Sebloh jatuh cinta kepadanya, dan itu sangat dimanfaatkan oleh Kanjeng Prenjak. Sujud disuruhnya melatih pemuda-pemudi partai, bukan hanya di tingkat kecamatan tapi juga kabupaten. Sehingga tahunya orang, Sujud adalah orang partai yang segera jadi menantunya. Banyak yang tak suka atas keberuntungan itu, khususnya Gangsir yang membibit birahi sampai ujung ubun-ubun kepada Sebloh.

Ketika gladi resik tiba tak satu pun anak latihnya datang ke lapangan. Dengan kecewa Sujud mengayuh sepeda ke rumah Kanjeng Prenjak, arah Ngeseng, dekat stasiun. Sesampainya dia melihat kesibukan Kanjeng Prenjak dan orang-orang partai yang luar biasa. Tampaknya tak ada hubungannya dengan penyambutan pembesar partai. Orang-orang yang dikenalnya itu tampak asing di matanya, berwajah bengis dengan mata memerah, layaknya kekenyangan arak. Dilihatnya, Kanjeng Prenjak membeberkan kertas yang berisi nama-nama lawan politiknya, lalu berkata, "Kalian culik mereka, bila melawan terserah kalian, mau diapakan!" Orang-orang itu bergerak, di balik bajunya tersembul gagang golok dan keris. Sujud tidak menemukan Sebloh, lalu tergesa pulang. Besoknya kembali lagi untuk memastikan keberadaan kekasihnya, tetapi selalu nihil, yang didapat hanya bisik-bisik tentang pembantaian-pembantaian. Tetapi tidak sampai seminggu keadaan berbalik, orang-orang yang semula memburu jadi diburu. Tentara dibantu ormas musuh pe-ka-i melakukan pengganyangan. Kepanikan terjadi, kematian ada di mana-mana. Harga nyawa tak lebih dari arah telunjuk.

Bagimana dengan Sujud? Saat pulang mengajar, di tikungan Mlese, dia berpapasan dengan jeep tentara yang mendadak berhenti. Begitu melihat Kanjeng Prenjak berada di mobil itu, Sujud menghentikan sepeda. Saat itulah Kanjeng Prenjak berteriak menyuruhnya lari. Sujud tidak buang-buang waktu, ditinggalkannya sepeda, melompat ke tanggul lalu menerobos tanaman tebu. Letusan senapan terdengar beruntun dan merobohkan beberapa tebu. Dia berlari dan berlari, semakin jauh. Saat beristirahat di sebuah kuburan dilihatnya beberapa bangkai manusia dikerubuti burung gagak, berbau busuk, dan sangat menjijikkan. Bisa saja dia pergi jauh, tapi mboknya yang uzur membuatnya pulang kandang. Keesokan harinya datanglah Gangsir bersama puluhan tentara.

"Mana Kang Sujud?" terdengar suara Gangsir, bergetar.

"Mana Sujud!" bentak tentara pada mboknya yang menangis ketakutan. Sujud keluar rumah, dipandanginya Gangsir dengan mata setajam elang. Gangsir terkesima, tak berani menatap mata itu.

"Aku titip Simbok," kata Sujud, lirih.

Gangsir mengangguk dan dia satu-satunya anggota drum band yang selamat. Sujud sungkem di kaki mboknya, lalu digiring tentara menuju truk. Meski kakinya diikat, pada satu kesempatan, di jalan tak jauh dari pabrik gula, Sujud melompat dari truk. Tentara langsung memberondongnya dengan tembakan, tapi Sujud tak lecet sedikit pun. Sujud tertangkap lagi, lalu lehernya diikat dadung layaknya kerbau. Kisah eksekusi Sujud tampaknya yang paling 'nggegirisi', dan ini jadi legenda yang diceritakan secara bisik-bisik selama tiga puluh dua tahun. Karena ilmu kebalnya, dia mengalami penyiksaan yang luar biasa, yang paling bengis. Truk militer menyeret tubuhnya yang hampir telanjang, yang melenguh-lenguh seperti suara sapi. Sepanjang jalan tubuhnya terantuk batu, inthil, dan tlethong. Ketika minta air karena kehausan, ada sipil yang memelorotkan celana dan mengencingi mukanya. Tentang penyiksaan Sujud, pamanku berkali-kali bercerita bahwa dia yang kala itu masih kelas tiga es-de menyaksikannya sampai muntah-muntah saking jijiknya. Anehnya, meskipun tali kasar menjerat leher dan ditarik-tarik, Sujud tidak mati-mati. Penyeretan berhenti di Dusun Karangasem, Sujud disiksa lagi dengan tangan diborgol. Pada satu kesempatan Sujud berhasil menggigit leher salah satu tentara sampai mati. Sujud pun diseret-seret lagi dengan truk, seperti bangkai anjing, menuju Kali Wedi. Konon, karena bosan disiksa, Sujud buka rahasia, disuruhnya tentara mencoblos siku tangan kanannya dengan lidi. Setelah itu, peluru bisa menembus jantungnya.

"Dram-tum-tum-dram! Dram-tum-tum-dram!" Pada tahun 1980-an, masa jaya-jayanya judi buntut, pernah ada yang bertapa di tepi sungai pasir itu. Di gumuk, gundukan tanah angker, yang diperkirakan kuburan Sujud. Orang tersebut mendapat empat angka jitu, sehingga berbondong-bondonglah orang mencari wangsit di situ. Lalu tempat itu dijaga polisi, tak ada yang diizinkan bersemedi atau bakar kemenyan. Sekarang, bila pulang ke Klaten dan terbangun pada jam yang sama, kutunggu-tunggu suara drum band subuh itu. Tapi sudah tak terdengar lagi. "Mungkin roh mereka sudah tenang, sudah tidak terselimuti dendam," ujar mereka yang sok tahu dunia arwah. Wah!

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

setiawansasongkocreators' thoughts