webnovel

Pasangan Balas Dendam

Bercerita tentang Maria dan Zen yang adalah korban dari Keluarga Paulo. Tentang pembalasan dendam yang dipenuhi dengan drama percintaan. Akankah keduanya berhasil membalas dendam?

LittleGirl_25 · Urban
Zu wenig Bewertungen
20 Chs

Sangat Mengenal Baik

"Oh ternyata Zen yang datang, kupikir siapa. Apa wanita itu adalah istrimu?" Zen mengalihkan perhatiannya pada Maria dan melihat lagi pada Indri lalu mengangguk.

"Pftt ... kuno sekali cara berpakaiannya. Tapi yah namanya juga selera anak haram pasti jodohnya kalangan bawah."

"Jaga bicaramu Indri, jika kau tak mau aku memotong lidahmu sekarang!" teriak Nicholas dan itu bukan main-main. Indri mendengus sekali lagi lalu turun dengan gayanya yang angkuh menghampiri mereka.

"Ada apa ini? Kenapa Ayah berteriak seperti itu?" Satu lagi anggota keluarga yang paling dibenci oleh Zen dan Maria datang. Siapa lagi kalau bukan menantu dari Nicholas. Hera.

Pandangannya kemudian dingin saat memandang Zen begitu juga dengan Zen yang muak melihat wanita itu.

"Ini menantu kesayanganmu. Berani-beraninya dia mengatakan hal yang tak pantas tentang Zen dan istrinya?!"

"Maafkan dia Ayah. Ayah tahu bukan dia sedang hamil, moodnya memang agak berubah-ubah."

"Sekali lagi jika dia seperti itu maka aku tak akan segan-segan menyakitinya meskipun dia sedang hamil. Kau mengerti?!"

"Ba-baik Ayah." Senyum tipis disunggingkan oleh Zen dan Maria. Baru mereka masuk tapi peristiwa bagus sudah terpampang di depan mereka. Sudah jelas Indri- istri baru dari Taffy selalu membuat masalah dan Nicholas sama sekali tak menyukainya.

Jadi Hera, wanita yang mereka lihat sebelumnya adalah wanita congkak mendadak menjadi ketakutan saat mendapati betapa murkanya sang Ayah mertua. "Indri, dari tadi kau mau pergi ke mana? Ke arisan?"

"Iya Kakek. Aku ingin bertemu dengan teman-temanku." jawabnya dengan suara lemah lembut tak sama seperti dari tadi.

"Tidak boleh,  aku melarangmu ke sana. Kau sedang hamil tua, kau mau orang-orang--" perkataan Nicholas terhenti saat memandang Zen dan Maria. Keringat dingin terlihat jelas didahinya yang sudah keriput.

"Hera, bawa dia masuk dan jangan biarkan dia keluar sampai anaknya lahir."

"Tapi kakek--"

"Jangan banyak alasan! Ayo cepat bawa menantumu, Hera!" Wanita berusia paruh baya itu lantas mendekat pada Indri lalu membawanya ke lantai atas sesaat memandang sinis pada kedua tamu.

"Ayo silakan duduk kalian berdua, kenapa berdiri terus?" Suasana tegang berubah menjadi damai saat suara ramah Nicholas kembali.

"Maafkan Kakek karena begitu kalian datang kalian berdua tak seharusnya melihat permasalahan keluarga di sini."

"Kakek, aku ini keluarga Kakek bagaimana bisa Kakek mengatakan padaku bahwa aku ini tak seharusnya permasalahan di keluarga ini." Nicholas tertawa renyah.

"Yah benar kau bagian keluarga ini tapi apakah ini tidaklah harus diketahui olehmu?"

"Tak apa-apa kakek, aku sangat mengerti." Derapan langkah kaki dari arah belakang membuat Maria dan Zen menoleh ke belakang. Zen lantas memandang pada Maria yang menyorot seorang pria dengan pakaian jas lengkap.

Tatapannya dingin sekali. "Oh kau akhirnya kau pulang dari bisnis di luar negeri Taffy,"

"Iya kakek." sahut Taffy lalu beralih pada Zen dan Maria yang sekarang berubah menjadi Lizzy. Layaknya seorang pria yang sempurna, Taffy diberkahi wajah yang tampan, tubuh atletis yang membuatnya cocok dengan baju yang dia pakai.

Hanya saja sikapnya sangat buruk. "Kau rupanya berkunjung Zen," menyunggingkan senyum palsu Zen mengangguk.

"Dan siapa wanita di sampingmu itu?"

"Perkenalkan ini Lizzy, istriku." Taffy melempar tatapan datar pada Maria kemudian berlalu pergi. Dia tak langsung ke kamar melainkan di dapur.

"Mmm ... kakek, Zen aku ingin ke kamar kecil di mana ya?"

"Oh di sana cukup kamu ikuti Taffy."

"Terima kasih." Maria pun melenggang pergi meninggalkan Zen dan Nicholas sendiri.

"Karena pembicaraan keluarga selesai maka ayo kita bicarakan bisnis." balas Zen dengan senyuman yang tak biasa.

Sedang itu Maria menghampiri Taffy yang tengah meminum air putih. "Permisi," Taffy menoleh pada Maria yang tersenyum.

"Bisakah kau memberitahu di mana toiletnya?" Dari sorot matanya terlihat kesal namun dia menunjuk arah jalan.

"Terima kasih." Taffy menggumam tak jelas sebagai balasannya.

"Oh iya dari tadi aku melihat istrimu dia sedang hamil selamat ya." Kali ini ada senyuman tipis dari wajah Taffy, senyuman yang membuat Maria muak sekali.

Setelah dia melakukan hal yang buruk terhadapnya Taffy masih bisa tersenyum. Dasar pria jahat!

"Tapi aku lihat pernikahan kalian baru berjalan lima bulan, kenapa istrimu layaknya hamil tua? Hhmm ... oh apa dia--" Maria sengaja menghentikan ucapan saat melihat senyum di wajah Taffy menghilang. Dalam hati dia mengejek sedang diluarnya Maria pura-pura ketakutan..

"Ah maaf aku seharusnya tak mengatakan itu, tapi tenang saja Taffy aku ini keluargamu rahasia kalian pasti terjaga dengan baik." ucapan Maria hanya dianggap angin lalu oleh Taffy yang bergegas meninggalkan wanita itu sendirian.

Sepeninggalnya Maria kembali bergerak ke dalam toliet sambil memperlihatkan senyum sinis. Taffy yang memang menahan amarahnya berjalan tanpa mempedulikan Zen dan Nicholas. Zen menyadari raut wajah dari Taffy. Sudah jelas ada sesuatu yang terjadi. Pastilah penyebabnya Maria.

"Maaf aku agak lama." ucap Maria yang baru saja tiba.

"Ah tidak apa-apa kok, bagaimana kesusahan cari toiletnya?"

"Tidak Kakek, Taffy menunjukkan arahnya padaku."

"Oh begitu. Baguslah." Maria dan Zen saling memberikan isyarat lalu Zen bangkit dari tempat duduknya.

"Sepertinya kami harus pulang Kakek. Aku dan Maria tampaknya tak memiliki urusan lagi di sini." ucap Zen pamit.

"Eh tapi secepat ini?"

"Iya, aku punya urusan di perusahaan begitu juga Lizzy."

"Apa tidak terlalu cepat? Ayolah makan siang dulu bersama kami,"

Prang!

Ketiganya terkejut mendengar suara keributan dari lantai atas. Belum sampai di situ saja, suara gaduh orang bertengkar pun mulai terdengar. "Ada apa itu? James!" Datanglah sosok James yang segera menghampiri mereka.

"Cepat lihat apa yang terjadi di atas." James tak membuang waktu. Dengan berlari kecil dia menuju ke atas. Zen melihat pada Maria yang kini menyeringai dan saat ini dia benar-benar mirip seperti Lizzy, ibu angkatnya.

"Kakek, aku rasa aku harus pergi."

"Baiklah, hati-hati di jalan."

"Iya." Lelaki muda itu memutar tubuh seraya menarik tubuh Maria agar mendekat kemudian melangkah menjauh dari Nicholas yang juga bergerak naik menuju lantai atas.

"Yang membuat Taffy marah, itu karena kamu kan? Apa yang kau katakan sampai-sampai dia marah besar seperti itu?" tanya Zen berbisik agar tak ada yang mendengar.

"Hanya menyinggung sesuatu saja ... Taffy yang aku kenal sangatlah mempertahankan keangkuhannya. Dia ingin terlihat sempurna dan cukup sentuhan kecil dia sudah marah besar seperti itu. Aku sangat mengenal baik mantan suamiku."

"Yah apa pun itu kau hebat sekali bisa memancing emosinya. Tak sia-sia aku memintamu menjadi Lizzy, pertahankan kerjamu dan secara pelan tapi pasti kita akan membuat mereka bertekuk lutut di hadapan kita."

"Meski pun kau tak mengatakannya aku akan berusaha semaksimal mungkin. Sudah pastinya aku akan menikmati permainan kita. Hhaah ... sayang sekali aku tak bisa melihat betapa menderitanya Indri sekarang." ujar Maria enteng.