webnovel

Part-Time Husband

"Aku tidak memintamu jadi suami ideal atau ayah yang sempurna. Aku hanya memintamu jadi suami paruh waktu. Kamu boleh pergi ke mana saja, boleh melakukan apa saja, dan boleh bersama siapa saja. Namun, ketika kamu pulang, kamu adalah suamiku. Milikku."

Gusti_Riant · Urban
Zu wenig Bewertungen
12 Chs

Bab 6: Tiga Pesan dalam Hujan

Aku sampai di Pekanbaru sekitar jam sepuluh malam. Aku membereskan barang bawaan, lalu mandi, makan, dan setelah itu langsung menulis laporan penelitian sampai jam dua dini hari. Aku mengecek gawai sebelum tidur, dan Tiara mengirim pesan kalau ia sudah sampai di Pekanbaru. Aku pergi tidur dengan perasaan agak tenang karena ia sudah sampai dengan selamat.

Aku bangun sekitar jam tujuh, lalu siap-siap ke kantor untuk mengantar laporan. Setelah itu, aku pulang kembali untuk persiapan rapat besoknya. Pekerjaanku lebih banyak di lapangan, jadi waktu di kantor lebih fleksibel. Aku bisa datang dan pergi kapan saja tanpa terikat jam kerja.

Ketika pulang, aku mendapati Tiara sudah ada di rumah. Ia punya kunci rumahku, sehingga ia bisa masuk kapan saja. Aku berjalan menuju ruangan keluarga dan menghempaskan tubuh di sofa. Aku mengabaikan Tiara yang sedang membereskan rumah yang berantakan. Aku tinggal sendiri di rumah ini tanpa ada pembantu yang melakukan pekerjaan rumah. Terkadang, aku yang membereskan, tapi lebih sering Tiara.

"Kau mau minum sesuatu?" tanya Tiara sambil duduk di sebelahku.

Aku pura-pura tidak mendengar, memejamkan mata dengan tangan menutup wajah. Tiara menggoyang-goyangkan badanku, tapi aku pura-pura tidur.

"Aku bisa terima kau ninggalin aku, nggak balas semua pesanku, dan menganggapku nggak ada. Tapi, jangan bersikap seperti ini." Tiara mengembuskan napas. "Apa yang harus kulakukan agar kau bisa sedikit memaafkanku? Kau nggak pernah bilang apa yang harus aku lakukan. Aku tahu ini berat untukmu, tapi ini juga berat untukku."

Aku tetap diam. Tiara menggoyang-goyangkan tubuh dengan lebih kuat. Membuatku hampir jatuh di sofa. Aku membuka mata dan memandangnya, "Apa kau udah selesai? Kalo udah, cepat pergi! Jangan ganggu lagi! Aku ngantuk!"

"Aku hanya ingin kau merasakan seandainya berada di posisiku. Setidaknya, demi hari-hari yang telah kita lalui. Kalau ingin membenciku, lakukan dengan adil, jangan menganggapku seolah nggak ada. Nggak dianggap itu, lebih menyakitkan daripada kau membenciku secara terangan-terangan."

"Tidak ada lagi yang ingin kukatakan. Aku udah tidak punya kata-kata lagi yang ingin kuucapkan padamu. Jadi, keluarlah …."

"Dasar menyebalkan! Kekanakkan! Cowok brengsek!" Tiara memukul lenganku tiga kali, lalu melangkah keluar dengan membanting pintu.

Setelah kepergian Tiara, aku kembali membuka mata dan duduk di sofa. Merenungkan kata-katanya. Sebenarnya, tidak tahan juga seperti ini, tapi mau bagaimana lagi. Aku masih belum bisa menerima semua yang telah terjadi. Setelah ia menghancurkan seluruh hatiku, tidak semudah itu menjadikannya seperti semula. Butuh waktu untuk mengembalikan keadaan seperti dahulu.

Aku mengembuskan napas panjang, lalu menyalakan rokok. Memperhatikan gumpalan asap yang mengandung karsinogenik itu naik ke langit-langit. Tiba-tiba, mataku tertumbuk pada pigura foto di dinding. Fotoku dan Tiara yang berlatar matahari senja di Pulau Setan—salah satu kawasan wisata Mandeh di Sumatera Barat. Kami tersenyum, sebelah lenganku merangkul bahu Tiara. Tiba-tiba, rasa sesak itu kembali hadir. Sangat indah, tapi menyakitkan. Aku menikmati rasa sakit itu perlahan-lahan.

Dengan malas, aku bangkit, dan berjalan menuju kamar. Mau mengganti seragam kerjaku dengan pakaian casual, kaus polos putih, celana chino hitam, dan jaket varsity baseball biru putih. Setelah itu, aku mengambil tas kamera di meja kerja, lalu mengeluarkan kamera untuk mengecek beterainya.

Aku berjalan keluar rumah sambil menenteng kamera. Jika terlalu lama di rumah, pikiranku semakin kacau. Lebih baik mencari udara segar sembari menikmati pemandangan. Waktu itu, sore sudah di ambang mata, cahaya lembut matahari menyirami Kota Pekanbaru, bagaikan tumpahan cat karya seniman. Indah dan memukau.

Dengan mengendarai motor matic, aku menuju Jalan Sudirman. Berhenti di kawasan Perpustakaan Soeman Hasibuan—perpustakaan yang dijuluki perpustakaan terbaik se-Asia Tenggara—menjulang di tengah kota dengan bentuk bangunan seperti buku yang sedang terbuka.

Aku mencari angel yang tepat, lalu memotret gedung perpustakaan dengan latar matahari senja. Aku suka memotret ketika senja, karena momen pencahayaan terbaik dalam sehari adalah saat sebelum dan sesudah matahari terbenam. Dalam fotografi dikenal dengan istilah magic hour.

Baru memotret beberapa foto, udara dingin mulai menerpa. Kulihat awan hitam mulai naik menghalangi cahaya matahari. November memang musim hujan. Hujan bisa turun kapan saja tanpa bisa ditebak. Tidak berapa lama, halilintar mulai terdengar, diikuti dengan gerimis yang mulai menyebar.

Aku berhenti di tempat teduh sambil memandang gerimis yang mulai menjelma jadi hujan. Aku menampungkan tangan dan merasakan tetesan hujan melebur dalam genggamanku. Jika hujan turun, biasanya Tiara melakukan hal tersebut. Menutup mata dan membayangkan dirinya seperti sebatang pohon. Tiba-tiba, rasa sesak di dadaku bertambah, tapi dengan bentuk yang lain. Aku mengingat dia, seseorang yang aku benci melebihi apapun. Membuat hidupku hancur dan berantakan melebihi yang dilakukan Tiara sekarang ini.

Aku tidak tahu berapa lama melamun, ketika ponselku bergetar. Aku mengeluarkan ponsel dan mendapatkan beberapa pesan.

Pesan 1

Aku tahu kau baca pesanku, meski nggak mau balas. Sekarang aku minta kau datang ke rumahku. Aku mau ngomong sesuatu. Ini sangat penting. Jika kau nggak datang, aku akan lakukan tindakan nekat. Ini serius. Aku nggak main-main.

Pesan 2

Jangan anggap ini hanya gertakan. Sebelum kau menyesal, kau harus segera datang. Aku akan jelasin semuanya, siapa yang melakukannya dan apa yang udah aku sembunyiin selama ini.

Pesan 3

Jangan hanya diam aja. Cepat pergi. Dasar bodoh!

Aku memasukkan ponsel setelah membaca pesan itu. Aku tahu, ini hanya gertakan, aku kenal betul sifat gadis itu. Namun, ketika ia ingin mengakui semuanya dan siapa yang telah melakukannya, rasa penasaranku seketika terpompa. Kenapa Tiara menyembunyikannya selama ini? Siapa yang telah melakukannya? Apakah mungkin aku mengenalnya? Semua pertanyaan berkecamuk dalam otakku. Aku menginginkan sebuah kebenaran, walau yang kudapatkan nanti hanyalah rasa sakit yang melebihi rasa sakit ini. Aku tidak ingin bahagia di atas kebohongan, lebih baik sakit dengan mengetahui kebenaran.