webnovel

PANGGIL SAYA HANIF

Seorang laki-laki duduk di selasar sebuah bangunan yang bergaya Gothic di samping sebuah gereja kuno di Kota Malang. Di tangannya terdapat sebuah buku yang membuat dia tertarik dan tenggelam untuk terus menyelaminya. Suasana terlihat sepi, karena perkuliahan perbandingan agama sudah selesai, tapi bagi si laki-laki berlesung pipit dan berkacamata itu mencari ilmu tak terbatas waktu. Sesekali dia corat-coret bukunya lalu diam melanjutkan membaca. Sebuah buku tentang Islamologi itu lebih menarik baginya dibanding ajakan kawan-kawannya untuk makan siang. Seorang laki-laki memakai hem batik keluar dari sebuah ruangan. Laki-laki keturunan Belanda sekitar umur 60 tahunan itu berjalan menuju si Kacamata.

"Nathan, tidak ikut makan siang bersama?" tanya si Keturunan Belanda.

"Ah Romo, tidak, saya belum lapar. Masih ada yang ingin saya pelajari untuk presentasi esok di kelas," jawab Nathan kepada laki-laki yang disebut Romo itu.

Romo duduk di sebelah Nathan lalu melihat buku yang ada di tangan Nathan.

"Masih penasaran?" tanya Romo.

Nathan diam tak langsung menjawab. Jika dia tak hati-hati, perdebatan akan terjadi seperti di kelas tadi pagi dengan kawan-kawannya.

"Saya masih belum paham bagaimana Tuhan memiliki tiga pribadi, Romo. Itu masih belum saya pahami dan akal saya belum sepenuhnya menerima," terang Nathan.

Romo menghela nafas. "Itu mudah Nak dan masuk akal. Seperti sebuah segitiga dengan tiga sisi. Satu sisi Tuhan Allah, satu sisi Tuhan Anak dan satu sisi adalah Roh Kudus. Mereka tiga dan menjadi satu," terang Romo.

Nathan kembali berpikir. "Kalau seumpama segitiga itu kita ganti dengan segiempat, apa mungkin tuhan memiliki empat pribadi? Jika kita ganti hexagon atau yang lain?" tanya Nathan lagi.

"Tak bisa seperti itu anakku, itu sudah menjadi dogma kita," jawab Romo.

Nathan masih belum puas dengan hanya kata dogma. Tapi dia tak ingin bertanya atau mendebat lebih lanjut.

"Apakah boleh saya mempelajari kitab milik orang Islam secara langsung?" tanya Nathan meminta izin.

"Baik, silakan. Cari saja poin-poin kelemahan dalam buku itu, siapa tahu dengan begitu kamu akan makin yakin bahwa iman kita lah yang benar," ucap Romo.

Wajah Nathan langsung cerah, senyumnya langsung merekah.

"Terima kasih Romo, kalau begitu saya permisi dulu mau ke perpustakaan," ucap Nathan lalu berdiri untuk pamit. Romo yang merupakan dosen Nathan itu mengangguk dan mempersilakan pergi.

Nathan berjalan sambil menenteng tasnya menuju perpustakaan yang ada di lingkungan seminari. Dia masuk ke sebuah gedung yang ada di belakang gereja. Dia sapa seorang penjaganya yang sedang menikmati makan siang. Perpustakaan hanya terlihat dua orang pengunjung. Dia langsung menuju rak yang berisi buku-buku referensi. Matanya langsung tertuju pada sebuah buku tebal bersampul warna emas dengan tulisan arab. Nathan mengambilnya lalu ditaruhnya di meja yang ada di dekatnya. Nathan duduk di kursi dan langsung membukanya ke arah kiri. Raut mukanya langsung berubah, dia kecewa karena yang terhampar di hadapannya semua bertulisan arab. Dia tak paham tulisan maupun bahasa arab. Dia duduk dalam diam, lalu menutup kembali buku yang katanya kitab suci orang Islam itu. Ah, siapa tahu di toko buku ada, sekalian melakukan kunjungan ke rumah jemaat yang ada di dekat sana. Nathan berdiri lagi lalu mengembalikan buku itu kembali ke rak. Dia menyusuri deretan rak tentang Islamologi, dia tertarik dengan sebuah buku biografi tentang tokoh Islam. Buku yang berisi biografi Umar Ibnu Khathab. Sepertinya bagus, pikir Nathan. Dia pun memutuskan meminjam buku itu dan dibawanya kembali ke asrama.

***

Nathan dan kedua kawannya berangkat untuk pendampingan jemaat di sekitaran jalan Jombang yang tak jauh dari gereja. Hanya sekitar satu kilometer menggunakan sepeda motor dari asrama. Nathan berpesan agar kedua kawannya berangkat terlebih dahulu, dia akan ke jalan Wilis untuk mencari buku. Nathan langsung tancap gas ke daerah yang khusus menjual buku-buku. Tak hanya buku bekas, buku-buku baru pun ada di situ. Begitu sampai di sebuah toko yang ada di pinggir jalan, Nathan langsung celingak celinguk mencari buku yang dia inginkan.

"Pak, ada Al Qur'an?" tanya Nathan pada penjual toko.

"Yang seperti ini?" tanya si Penjual Buku.

"Apakah ada terjemahannya?" tanya Nathan.

Si penjual buku paham lalu mengambil sebuah Al Qur'an terjemahan yang tebal bersampul warna biru tua. Nathan menganggukkan kepala dan langsung membelinya tanpa menawar lagi.

Nathan melanjutkan perjalanan ke rumah jemaat. Sepeda motornya dia belokkan ke sebuah gang kampung yang lumayan lebar di sekitaran Jalan Jombang. Rumah penduduknya berdempetan, hanya satu dua rumah yang memiliki pekarangan. Gang kampung disitu didominasi oleh kos-kosan mahasiswa karena memang dekat dengan sebuah kampus negeri di kota Malang. Sepanjang jalan masuk dia berpapasan dengan para mahasiswa yang lalu lalang dengan ransel di punggungnya. Sepeda motornya dia parkir di pinggir jalan masuk gang yang sempit. Rumah jemaat ada di dalam gang sempit itu.

"Frater," sapa sebuah suara dari arah belakang ketika Nathan memarkir sepeda motor. Nathan menoleh, dilihatnya seorang gadis berkerudung marun dengan gamis senada keluar dari gang.

"Oh mbak," ucap Nathan sambil tersenyum agak kikuk karena tiba-tiba di sapa oleh seorang gadis manis yang merupakan anak dari jemaat.

"Sudah ditunggu bapak di dalam, permisi ya, numpang lewat," ucap gadis itu lalu membungkukkan badan dengan sopan lewat di depan Nathan. Gadis itu menunjukkan unggah ungguh orang Jawa jika melewati orang yang lebih tua. Jalannya terlalu sempit sehingga gadis itu meminta jalan untuk bisa keluar gang. Pandangan Nathan tak lepas dari sosok menarik yang menjauh darinya. Desir hatinya memberontak jiwa selibat yang sudah di niatkannya. Ah, tak boleh! Pikir Nathan lalu masuk ke dalam gang.

Di dalam rumah Nathan disambut oleh tuan rumah. Keluarga yang dikunjungi hari ini merupakan keluarga yang unik, karena semua anaknya beragama Islam. Memang ada dua orang yang menjadi mualaf, oleh karena itu Romo meminta Nathan dan kawan-kawannya melakukan pendampingan agar iman jemaat tak tergoyahkan. Si Tuan Rumah sedang menunjukkan kepiawaiannya memainkan alat musik siter sedangkan satu orang kawan Nathan, Frater Rico, yang keturunan Tiongkok asyik mengiringi menggunakan gendér. Frater Rico memang ahli main gamelan Jawa, karena dia pindahan dari Yogyakarta. Memang matanya sipit dan kulitnya kuning, tapi kalau dia berbicara akan terdengar dialek Jawanya yang medhok khas Malang. Istri si Tuan Rumah juga duduk di ruang tamu menemani sambil berbincang-bincang mengenai keadaan rumah dan anak-anak mereka. Nathan menilai kedua suami istri itu tidak terlalu ketat dalam menjaga iman anak-anaknya. Mereka memberi kebebasan memilih iman yang mana yang mereka ambil. Jadi tak mengejutkan jika keluarganya bisa berlainan agama seperti itu. Sempat ada perdebatan antara ayah dengan anak gadisnya tentang agama, tapi semua berakhir baik-baik saja. Semua diceritakan sang istri Tuan Rumah dengan lancar tanpa beban. Bagi mereka berbeda keyakinan tidak menjadi masalah, tapi bagi Nathan dan kawan-kawannya itu sebuah kegagalan dalam misi penggembalaan terhadap jemaat.

Tak lama kemudian, datang anak gadis si Tuan Rumah membawakan sepiring gorengan dan teh manis di dalam gelas-gelas kaca. Sosok yang manis dan sopan, gadis itu langsung masuk ke dalam begitu selesai menaruh hidangan, tidak ikut duduk menemani tamu. Nathan hanya memandang sosok itu menghilang di balik pintu. Ah, haruskah dia selibat selama hidupnya?

***

Nathan duduk di dalam kamar asramanya. Di sebelahnya terdapat Al Qur'an terjemahan dan buku biografi Umar Ibnu Khathab yang sudah hampir selesai dia baca. Dia merebahkan diri di ranjang sambil memandang plafon. Otaknya sedang mengalami badai. Bagaimana bisa damai hati dan otaknya sedangkan apa yang dia yakini selama ini ternyata bertentangan dengan akalnya? Dia membaca cerita Umar Ibnu Khathab yang pada awalnya membenci Muhammad dan tiba-tiba menjadi pengikutnya yang setia. Diceritakan dalam buku itu, Umar ingin membunuh adik perempuan dan saudara iparnya, tapi begitu mendengar salah seorang sahabat Muhammad membacakan surat Thaha yang ada dalam Al Qur'an sekejap saja hati Umar luluh. Umar lalu menyatakan diri masuk Islam. Cerita ini begitu menakjubkan bagi Nathan, langsung saja dia membuka Al Qur'an terjemahan dan mencari di daftar isi surat Thaha. Tak lama dia akhirnya mendapatkan surat itu dan membaca terjemahannya.

"Thoohaa. Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah ; melainkan sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi, (yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas Arsy. MilikNya lah apa yang ada di langit, apa yang ada di Bumi, apa yang ada di antara keduanya, dan apa yang ada di bawah tanah. Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh, Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. (Dialah) Allah, tidak ada tuhan selain Dia, yang mempunyai nama-nama yang baik...," baca Nathan dalam hati yang membuat dia semakin bergetar dan menggigil. Nathan menangis tak sanggup lanjut membaca terjemahan Al Qur'an yang ada di tangannya.Matanya buram oleh air mata. Ya, seharusnya Tuhan itu hanya satu, tidak mungkin lebih dari satu, pikir Nathan. Jika dia ingin meninggalkan imannya selama ini, apakah dia sanggup menanggung konsekuensi?

***

Nathan memutuskan untuk mengajukan resign dari kepengurusan paroki. Dia membutuhkan waktu untuk menenangkan dan menata diri. Romo pada awalnya terkejut ketika tiba-tiba Nathan memberikan surat pengunduran diri dan bertanya apa yang terjadi. Nathan hanya memberi alasan dia sedang merindukan ibunya dan ingin pulang selama sebulan. Romo tidak mengizinkan jika resign, tapi kalau pulang sebentar maka beliau mengizinkan. Nathan pun berangkat pulang ke rumahnya di Solo.

Sesampainya di Solo dia tak langsung pulang. Dia ingin langsung ke rumah temannya waktu kecil. Mas Cahyo, begitu Nathan memanggilnya. Selama perjalanan di dalam kereta dia memikirkan apa yang harus dia lakukan ketika ingin masuk Islam dan menghadapi konsekuensinya. Nathan sendiri tak tahu bagaimana reaksi ayah dan ibunya jika tahu dirinya berhenti menjadi pelayan tuhan. Taxi yang membawanya dari stasiun Balapan menuju Banjarsari kampung halamannya. Dia turun di sebuah rumah bercat putih berpagar besi hijau. Sesampainya di rumah itu dia langsung masuk begitu saja ke dalam pekarangan lalu dari dalam rumah, sosok laki-laki berambut gondrong diikat ke belakang sudah menyambutnya dengan senyum cerah.

"Piye kabarmu Than, hayooh mrene mlebu sik," ujar Mas Cahyo.

"Apik-apik wae Mas. Mana mbak Sun?" tanya Nathan sambil menjenguk ke dalam rumah.

"Lha kae lagi nggawe Serabi pesenan tetangga," jawab Mas Cahyo yang sudah di anggap seperti kakak oleh Nathan.

Tak lama kemudian muncul seorang perempuan memakai daster berambut panjang diikat ke belakang sambil tersenyum ramah. "Lha yoh, kamu tuh sudah berapa tahun gak pulang tho Than?" tanya Mbak Sun istri Mas Cahyo sambil menyalami Nathan.

"Sudah hampir dua tahun mbak," jawab Nathan.

"Lha kok malah makin gantheng kamu, makin putih. Sebentar ya, kubuatkan teh dulu," ujar Mbak Sun.

Perempuan itu pun menghilang di balik korden yang menghubungkan ruang tamu dengan bagian ruang yang lain.

"Hmm...apa yang membuat kamu pulang Than? Kok gak langsung pulang ke rumah, lha kok langsung ke sini?" tanya Mas Cahyo.

Nathan tidak langsung menjawab dia menyandarkan tubuhnya ke belakang dan memandang ujung meja yang ada di hadapannya.

"Mas, sebelumnya aku harap Njenengan tidak terkejut dengar ceritaku ya," ujar Nathan mengawali cerita niatnya ingin menjadi mualaf.

Mbak Sun masuk ke ruang tamu sambil membawa tiga gelas teh manis dan makanan serabi ala Solo yang terbuat dari tepung beras di atasnya diberi topping nangka dan keju. Perempuan itu pun ikut duduk mendengarkan cerita Nathan.

"Lha bagaimana dengan gereja?" tanya mas Cahyo setelah mendengar cerita Nathan.

"Aku akan meninggalkan semuanya mas. Tapi aku belum bilang Bapak sama Ibu," ucap Nathan.

"Aku sebenarnya sudah menduga kamu akan berubah kok Than, jiwamu itu lain, sejak kecil aku kenal kamu suka hal-hal berbau reliji dan pinter. Y awes lah kalau memang maumu seperti itu. Mas Cuma bisa bantu ngantarkan kamu ke Pak Taufik wae nanti bisa baca syahadat di masjid pas sholat duhur nanti. Gimana?" tanya Mas Cahyo.

"Baiknya bagaimana saya ikut saja," jawab Nathan.

***

Siang menjelang dhuhur Nathan bersama Mas Cahyo sedang duduk di ruang tamu rumah Pak Taufik seorang takmir masjid yang ada di dekat rumah Mas Cahyo. Pak Taufik mendengarkan dengan seksama semua cerita dan keinginan Nathan.

"Baiklah kalau begitu, Alhamdulillah mas Nathan. Hidayah itu memang hak Allah diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Lha njenengan ki sudah nyebur jadi calon pastor kok ya ndilalalh kersaning Allah mau masuk Islam. Nanti sebelum syahadat mandi keramas dulu ya, nanti saya ajari caranya sekalian belajar wudhu. Oh ya, Njenengan sudah sunat apa belum?" tanya Pak Taufik blak-blakan.

Nathan terkesiap, lalu dengan malu-malu mengangguk.

"Baiklah, kita siapkan semuanya inggih," ucap Pak Taufik. "Njenengan mau pakai nama hijrah? Nama Njenengan tuh kesannya masih gimana gitu," lanjut Pak Taufik.

"Bapak saja yang milih kan nama buat saya, Nama kan doa, semoga nanti setelah nama saya berubah siapa tahu bisa jadi doa kebaikan untuk saya," jawab Nathan.

Pak Taufik mengulas senyum. "Bagaimana kalau Hanif saja," ucap Pak Taufik.

Mas Cahyo menganggukkan kepala setuju, Nathan pun ikut setuju.

Sebelum azan dhuhur berkumandang, para penduduk kampung seputaran masjid dekat rumah mas Cahyo diundang ke masjid untuk ikut menjadi saksi Nathan membaca syahadat. Nathan dipinjami baju koko oleh mas Cahyo sedang duduk di dekat pak Taufik. Sesi pembacaan syahadat dimulai. Nathan merasakan debar hati yang aneh. Dia merasa tenang saat mengucapkan semua kalimat syahadat dengan lancar. Seakan ada beban yang diangkat perlahan di dalam dada dan pikirannya. Begitu mudah seseorang masuk Islam, tapi Nathan sadar, setelah dia menjadi muslim lah ujian yang sesungguhnya akan dia jalani. Keikhlasannya dan menghadapi orang tuanya. Setelah selesai membaca syahadat semua yang hadir menyalami dan memeluk Nathan. Dia sedang berproses menemukan hal dan lingkungan yang baru. Bagi Nathan masih terasa seperti mimpi.

***

Dua hari Nathan menginap di rumah Mas Cahyo, dan sekarang dia duduk di kamarnya di rumah orang tuanya. Tak ada yang berubah, bahkan ibunya tak melepas poster-poster grup band Korea yang Nathan idolakan sebelum dia berangkat ke Malang untuk masuk Seminari Tinggi. Perlahan Nathan menyentuh poster-poster itu dan melepasnya. Idola bagi Nathan sekarang bukan lagi para Oppa Korea itu yang ganteng, seksi, bergoyang-goyang. Tapi Muhammad, dialah yang seharusnya pantas menjadi idola manusia seluruh alam.

"Than, makan dulu, nanti Bapakmu nyusul katanya," ajak ibu kepada Nathan dari balik pintu kamar. Nathan mengiyakan. Sejak masuk rumah orang tuanya, sebenarnya ada rasa takut, khawatir tentang dirinya yang sudah masuk Islam, mengingat Bapaknya seorang yang taat. Nathan tahu takkan mudah memberitahu Bapaknya tentang kenyataan dirinya sudah menjadi mualaf, tapi dia harus berani menghadapinya dan mengambil resiko apa pun yang terjadi. Nathan pikir tak bisa langsung menceritakan, tapi harus melihat momen yang pas untuk cerita.

Saat itu Nathan sedang membaca majalah di ruang tengah. Ayahnya mengerutkan dahi melihat Nathan yang hanya santai-santai saja hampir dua minggu di rumah tanpa ada niat kemana-mana, Bahkan ke gereja di hari minggu juga tidak ikut. Seharusnya dia ikut membantu pelayanan walau sedang libur di Solo.

"Ada apa denganmu Than?" tanya ayahnya sambil duduk di kursi sebelah. "Kamu tidak bantu-bantu ke gereja?" lanjut ayahnya. "Ada masalah dengan iman?" tanya ayahnya yang langsung curiga dan menginterogasi Nathan. Nathan menutup majalahnya dan duduk memandang ayahnya dalam diam.

"Saya resign Pak," jawab Nathan.

Wajah Ayah Nathan langsung berubah masam.

"Lha kok bisa, kan kamu sudah diambil sumpah?" ucap ayah Nathan.

Nathan memberanikan diri untuk menjawab. "Pak saya sudah masuk Islam." Terang Nathan yang disambut sebuah dengusan marah ayahnya.

Buuugh! Sebuah tonjokan mendarat dengan keras di pelipis Nathan. Darah mengalir dari pelipisnya karena sebuah cincin akik yang dipakai ayahnya. Sontak Nathan berdiri dan menjauh. Ayahnya kalap.

"Aku sudah menduga pasti ada apa-apa dengan kamu. Aku tak terima dengan keputusanmu. Apakah kau ingin mempermalukan orang tuamu?" hardik ayah Nathan .

"Pak...dengarkan aku Pak. Aku akan menjelaskannnya pada Bapak," ucap Nathan sabar sambil memegang pelipisnya yang berdarah. Tangannya sudah penuh dengan darah yang mengucur.

"Pergi kamu dari sini, cepet pergi, aku tak ingin lagi melihatmu!" usir ayah Nathan sambil membalik badannya tak ingin melihat lagi kepada Nathan. Nathan paham, saat ini dia tak inginbersitegang dengan ayahnya. Orang tuanya memerlukan waktu untuk menerima kenyataan. Nathan langsung keluar rumah dengan mengendarai sepeda motornya menuju puskesmas. Darah masih mengucur di pelipisnya, pedih, Nathan masih bisa bersabar.

***

Seorang laki-laki sedang menata bangku sebuah warung makan di di awal pagi. Laki-laki itu, Nathan yang sedang bekerja menghidupi dirinya sendiri selepas diusir ayahnya dari rumah. Mas Cahyo menolongnya mencari pekerjaan dan tempat tinggal. Beruntung bagi Nathan, ada sebuah warung makan di dekat kampus negeri di Solo mencari karyawan. Nathan melamar kerja di sana dan diterima. Selama pelariannya dia banyak belajar tentang hidup dan agama. Beruntung dia memiliki teman-teman yang mendukungnya. Ibu dan Bapaknya tak pernah menghubunginya lagi. Nathan berpikir suatu saat mereka pasti akan menerima kenyataan dan akan mencari Nathan. Melalui Mas Cahyo, dia tahu kabar orang tuanya. Dia tak bermaksud durhaka, bahkan seharusnya saat dia menjadi seorang muslim, dia harus menunjukkan adab yang baik pada kedua orang tuanya. Beberapa kali Nathan titip uang gajinya buat ibunya melalui Mas Cahyo, tapi selalu ditolak. Nathan tak putus asa. Dia hanya mendoakan kedua orang tuanya dalam setiap sujudnya agar mereka berdua diberi hidayah oleh Allah.

"Warungnya sudah buka Mas?" sapa seorang perempuan. Nathan pun menoleh. Alis Nathan naik, raut wajahnya menunjukkan rasa tak percaya, begitu juga si perempuan bergamis biru tua dan berkerudung kelabu.

"Loh Frater, kok di sini?" tanya si Gadis berkerudung kelabu.

"Saya sudah tidak di gereja lagi, jangan panggil saya Frater, panggil saya Hanif." Jawab Nathan memperkenalkan diri dengan nama barunya pada gadis berkerudung marun yang pernah beertemu dengannya saat di Malang. Mereka pun saling berbalas senyuman malu-malu.