webnovel

ILALANG MERAH

Kususuri jalanan kampung malam itu sendirian. Kampung tempat aku dilahirkan, dekat sebuah kampus keguruan yang ternama di kota M. Magrib baru saja turun. Lorong-lorong gang kampung itu berliku-liku seperti sebuah lorong labirin, dan hanya diterangi lampu dari teras-teras rumah penduduk. Jalannya hanya selebar dua meter, dan sesekali kucium bau busuk got di pinggir jalan yang berlumpur hitam. Suasana masih ramai dengan lalu lalang para mahasiswa yang kos dekat kampus. Biasanya jam-jam sekian mereka mencari makan malam, datang dari masjid, ke tempat fotokopian, ke rental komputer atau ada yang baru saja pulang dari kampus. Udara dingin menerpa wajahku. Kurapatkan jaketku. Kuteruskan langkahku menuju tempat kerjaku, Sambil sesekali kuperhatikan wajah-wajah para anak-anak kos yang lalu lalang berpapasan denganku.

Mereka orang-orang yang beruntung bisa mengenyam ilmu di bangku perkuliahan. Sedangkan aku? Tak apalah, aku mengalah tak usah kuliah demi adik-adikku yang ada di rumah. Kuperhatikan aktivitas para anak-anak kos itu. Ada yang asyik kumpul dengan kawan-kawannya di teras kos-kosan. Mereka menyanyi sambil main gitar. Ada yang jalan bersama kawannya. Mereka menenteng kresek berisi makanan. Ada yang masih membawa ransel di punggung, bisa jadi mereka baru pulang kuliah malam. Bahkan ada yang asyik memadu kasih di pojokan teras atau dalam naungan gelapnya pohon. Aah, mereka masih begitu lugu tentang hidup, itu menurutku yang sok pintar sih. Walau sebenarnya aku sudah ternodai oleh kebodohanku.

Mengalami kebodohan bukan berarti sial. Malah aku bersyukur aku bodoh. Ketika tahu bahwa aku bodoh, aku harus sadar diri dan berubah agar tidak lagi bergelimang dalam kebodohan. Berubah dan menata diri, meninggalkan aktivitas sia-sia yang hanya menyesatkan jalan hidup. Bergelimang dalam ide bodoh yang kuemban sebagai aktivis merah kekirian yang menafikan Tuhan. Kuceritakan padamu, kawanku, sekelumit cerita hidupku.

###

"Mbak, besok ada pertemuan di Sumbersari yo, ojo lali teko!" ujar kawan satu kantorku,

Sebut saja namanya Herman. Orangnya ganteng, putih, tinggi, mirip model, dengan senyum manis menawan. Dandannya selalu rapi dan wangi. Aku suka kalau dia memakai celana jeans dan hem berwarna biru. Tapi jangan menilai seseorang dari penampilan ya. Di jempol kanannya ada sebuah cincin, simbol kalau dia bukan makhluk yang lumrah, dia hombreng!

"Iyo!" jawabku singkat sambil mulai menyalakan semua komputer-komputer yang ada di rental komputer tempatku bekerja.

Si Herman mulai menyetel house musik, judulnya Nyai Ronggeng*. Lagu yang sedang hit saat itu, bahkan sering kudengar di putar orang-orang kampung. Herman mulai menari. Si Homo itu cuma menggerakkan kedua jempol tangannya. Hentakan musik dan syair lagunya mudah diikuti, menjadikannya mudah merasuki jiwa bagi yang mendengarkannya.

"Mas Syafii dimana?" tanyaku pada Herman.

"Dia masih di kantor polisi kata Mas Haris. Kena kasus pemalsuan ATM. Ketangkapnya pas dia baru keluar dari ATM dekat kampus. Tapi kujenguk kemarin orangnya santai saja di kantor polisi, malah sama pak polisinya di suruh memperbaiki komputer!" jelas Herman.

Aku pun tertawa. "Dasar somplak" !" ucapku. Syafii seorang ahli IT dan jenius luar biasa. Tapi jangan tanya ke dia Tuhanmu siapa dan dimana ya, kalau tidak kamu yang akan diprospek sama dia jadi pengikutnya. Mungkin saat ini dia lagi sial. Bajing loncat pasti suatu saat akan jatuh. Kulalui hari-hari bekerjasama dengan dua makhluk itu. Bahkan sesekali mereka memutar video khusus orang dewasa ketika rental sudah tutup. Kalau aku sih jujur pernah lihat, dan itu pun atas hasil jerih payah mereka memaksaku untuk melihat hal seperti itu. Mereka meracuni jiwa dan otakku yang masih virgin. Aaah atau karena dorongan kekepoanku untuk sekedar melihat hal-hal seperti itu. What ever lah!

###

"Kalian tahu, para kapitalis itu dengan rakusnya mengambil hak proletar dengan berbagai cara yang licik. Dengan alasan penanaman modal dsb yang akhirnya menjadikan aset-aset negeri kita di beli olehnya. Kesenjangan antara kaum miskin dan dan kaya semakin lebar. Apakah kita ingin negeri kita di kuasai oleh Amerika? Tidak kan?" jelas Pak Dosen sebuah kampus ternama di kota M itu sambil melempar sebuah retorika.

"Kita ingin semua warga negara di negeri ini merasakan hal yang sama. Sama rasa sama rata. Kita kembalikan kedaulatan rakyat, melibas para politikus busuk yang suka korupsi itu. Tanpa sekat norma dan agama. Kalian tahu kenapa Marxis itu mengatakan agama adalah candu yang memabukkan, karena banyak kalangan saat ini dengan atas nama agama berlaku seenaknya sendiri, bahkan ada yang membunuh manusia atas dasar agama. Kita ingin negeri kita sentosa, ketika nilai-nilai universal yang menjadi pengikat dalam masyarakat. Katakan pada orang-orang yang mengaku beragama itu, bahwa kalian sedang marah pada Tuhan kalian yang hanya menciptakan ketidaksejahteraan di muka bumi, aku yakin mereka akan memakai dalil-dalil agama untuk mematahkan kita!" lanjut dosen itu yang sebutlah namanya Pak Sur.

Pak Sur memiliki wajah yang kalau boleh dibilang biasa-biasa saja. Kacamata berbingkai hitam yang selalu di pakainya berkali-kali melorot ke bawah, karena saking semangatnya mendoktrin kami di pertemuan mingguan. Pertemuan mingguan biasanya kami lakukan bergilir di beberapa kos-kosan dekat kampus. Sebuah cincin melingkar di jempol kanannya, merupakan symbol bahwa dia juga sejenis dengan si Herman. Pak Sur juga dosen hombreng. Aku baru sadar mereka berpasangan saat beberapa kali aku pergoki mereka berpegangan tangan di depan halaman kos tempat pertemuan. Jijik? Iya aku langsung mual dibuatnya. Tapi aku menghormati Pak Sur karena memandang dia seorang dosen yang menurutku sosok yang intelek.

Kami ada sekitar sepuluh orang sedang duduk melingkar, laki-laki dan perempuan. di sebuah ruang tamu kos-kosan. Bahkan ada yang berkerudung di antara kami. Mereka rata-rata mahasiswa. Sebuah bendera merah besar dengan simbol bintang, roda separuh berwarna kuning terpampang di dinding ruang itu. Kulihat si Safrudin, si rambut keriting mengantuk di pojokan, di belakang pintu. Si Herman terlihat khusyuk manggut-manggut mendengarkan Pak Sur yang sedang berceramah. Tatapanku beralih pada sosok sederhana yang tiba-tiba tersenyum padaku di sebelah Herman. Mak nyes hati melihat Mas Slamet seorang mahasiswa kampus swasta di kota M. Tiba-tiba si Anggun seorang perempuan berkerudung dari sebuah kampus negeri yang berlabel Islam di kota M menawariku satu pak rokok.

"Mbak, nyoh (ini). Buat menghilangkan kantuk!" tawar si Anggun padaku. Kuterima rokok itu dengan senyuman yang termanis untuknya.

Lumayan tak usah keluar modal. Kunyalakan sebatang rokok dan kuisap dalam-dalam asap pahit dan panasnya memenuhi mulut, paru-paru, dan cuping hidungku. Rasa manis meraba rasaku ketika ujung filter rokok menyentuh bibirku. Kuhembuskan perlahan asap rokok itu ke udara, menyatu dengan asap rokok para anggota yang lain. Pertemuan kami berakhir jam 12 malam. Esok kami merencanakan untuk aksi turun jalan menyampaikan aspirasi kami agar para koruptor itu segera ditangkap.

###

Di siang bolong, panas matahari membakar kulit. Rambutku sudah merah karena sering kepanasan. Wajahku juga memerah dan keringat bercucuran membasahi tubuh. Semangat kami membara menyerukan "kebajikan" dari sudut pandang kami, demi kesejahteraan negeri ini. Kami berkumpul di depan gedung DPRD kota M sambil membawa plakat-plakat. Lautan manusia yang berkaos merah memenuhi jalan raya yang akhirnya terblokir karena aksi kami. Orator berdiri di atas sebuah pick up memberikan orasinya yang membakar semangat kekirian kami. Kami menyambutnya dengan semangat, teriakan-teriakan heroik, dan yel-yel pembakar semangat.

REVOLUSIIII...REVOLUSIII....REVOLUSIII HARGA MATI! Teriak kami.

Sama rasa sama rata demi kepentingan bersama. Banyak dari kalangan buruh dan petani di pinggiran desa kota M ikut berbaur dengan para mahasiswa kiri berteriak meminta para koruptor di tangkap, dan rezim yang berkuasa selama puluhan tahun segera turun. Eyel-eyelan, sindir-sindiran terjadi antara pihak keamanan dan pendemo. Aku memilih duduk di pinggir melihat teman-teman yang mulai membakar ban. Asap hitam mengepul di antara kerumunan masa yang jumlahnya tak sampai seribu. Menghindari massa yang akan semakin anarkis, akhirnya para wakil rakyat ada yang bersedia menemui kami. Aku tetap duduk dalam naungan sebuah pohon bersama yang lain. Entah sudah berapa gelas air mineral aku habiskan. Kulihat teman-teman juga kehausan dan membuang sampahnya sembarangan.

###

Dalam bioskop itu hampir saja aku kehilangan keperawananku karena si Slamet. Malam minggu seperti biasa yang dilakukan oleh dua anak manusia yang sedang pacaran, pasti memilih menikmati malam bersama di kegelapan bioskop sambil nonton film box office Amerika yang tak lepas dari adegan "anu". Panas hawa jiwa kami menggelora bersama dengan alur film yang mendidihkan nafsu liar kami. Dan kutersadar ketika aku ingat orang tua sedang menungguku di rumah, walau aku tahu mereka takkan memperdulikan anaknya aman atau tidak di luar rumah. Apalagi kalau sudah di ajak sama yang namanya lelaki, ibarat domba dipersembahkan dengan sukarela pada serigala lapar. Aku tolak dia yang meminta lebih padaku. Lalu aku pun memutuskan untuk meninggalkannya sendirian dalam konak yang tak terselesaikan. Rasakan!

###

Malam itu ku merenung di kamar. Menginsyafi kekhilafanku dalam pacaran walau tak sepenuhnya kebablasan. Kunyalakan rokok sebuah dan asap rokok mulai memenuhi kamar. Orang tuaku takkan tahu aku merokok karena memang kamarku ada di lantai dua. Yang gawat, adikku sudah tahu kelakuanku. Dia bukan tipe suka mengadukan masalah orang lain, bahkan lebih banyak cuek dengan pilihan hidupku. Tapi akhir-akhir ini dia jadi agak cerewet padaku, setelah tahu aku tak pernah menyentuh mukena dan tak lagi membenamkan kepalaku dalam sujud pada Pencipta.

"Kenapa sampeyan gak lagi kulihat sholat mbak?" tanya adikku penasaran di suatu hari di siang bolong.

"Aku sedang protes pada Tuhan, kenapa manusia di atas muka bumi ini dibuatNya sengsara!" ujarku kalem.

Adikku pun mengernyitkan dahi mendengar jawabku.

"Hidup gak hanya di dunia loh! Kasian sampeyan!" ucapnya santai sambil membuka mukena yang akan dipakainya sholat.

Setelah sholat dia duduk di sebelahkku yang asyik merokok.

"Eh boleh coba?" tanya adikku tiba-tiba

"Jangan nanti kamu kecanduan kayak aku!" jawabku spontan.

"Satu saja ya, pingin tahu rasanya. Kayak apa sih rokok itu!" pinta adikku yang masih SMA itu.

Kuberi satu rokok padanya. Aah aku sudah merusaknya! Di siang bolong itu setan pun tertawa karenanya

###

Malam sehabis Isya aku ajak adikku mencari keberadaan si Slamet yang lama menghilang setelah tak berhasil merenggut keperawananku. Kami naik angkot ke beberapa pos tempat pertemuan perkumpulan merah. Tapi hasilnya nihil. Si Slamet brengsek itu sudah membuangku.Aku terpuruk dalam kegalauan yang tak sanggup lagi aku tanggung. Mataku sembab karena menangis berjam-jam merutuki hidup. Aku cinta dia, tapi apalah daya, aku bertemu dengan laki-laki yang tidak tulus mencintaiku. Adikku yang sudah mulai berkerudung itu hanya menatapku tanpa komentar, Entah apa yang ada di pikirannya tentang kakaknya. Angkot yang membawa kami pulang melaju menembus angin malam, meninggalkan asap hitam yang menghambur di udara. Semua sia-sia!

###

Kusadari sebuah hal dari titik-titik kulminasi hidupku. Hidup bukan sebuah main-main. Jatuh bangun dalam hidupku membuat aku berpikir harus ada tempat menyandarkan segala kegalauanku. Saat aku menderita dan terpuruk, kuambil air wudhu dan kuhamparkan sajadahku. Aku menangis sejadi-jadinya dihadapanNya yang sudah lama kutinggalkan dan kuabaikan. Dengan tidak tahu malunya sekarang aku menangis bersujud memohon ampun, dan meminta Dia mengangkat segala kesedihan dan beban yang aku rasakan. Rabb, aku sudah menzalimi diri ini sendiri. Ampuni aku! Aku tahu Kau jatuhkan aku agar aku mendongak kepadaMu.

Sebuah ideologi yang kuemban selama ini seperti sebuah ilalang yang menjadi gulma dalam hidupku. Ketika pandangan hidup itu salah, terasa tidak tenang jiwaku. Gulma ilalang merah yang sudah tumbuh subur di halaman jiwaku harus kucabut sampai akar-akarnya. Aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku, menjauhi orang-orang yang sudah mendoktrinku dengan pemikiran kiri mereka. Mengurai benang kebodohan yang sudah kurajut di masa lalu. Menyesali masa lalu dan menatap masa depan dengan lebih positif. Semoga Tuhan berkenan menerima taubatku.