Sudah dua hari Reyna merasa kesepian dengan kedua orang tuanya yang mendadak saling menjauh. Kenapa setelah bertemunya mereka dengan Bos Reyna mereka seakan menjadi musuh dadakan? Apa yang sebenarnya terjadi? Mereka ada hubungan apa sampai kedua orang tuanya saling menghindar?
Apa Reyna perlu bertanya pada Bos nya langsung saja?
Tapi, apakah boleh karyawan bertanya persoalan itu sedangkan Reyna masih dalam jam kerjanya?
"Masih pagi udah ngelamun." celetukan dari seseorang membuat Reyna menoleh cepat.
"Kak Reno." Gumamnya terkejut, "oh, maaf. Tadi aku ga melamun, kok. Reyna, permisi mau mengambil roti yang di luar." baru saja dia melangkah melewati senior nya namun kedua kakinya mendadak terhenti setelah mendengar.
"Udah gue pindahin."
Reyna mengernyit heran. "Kak Reno, baik-baik aja kah?" bukankah Reyna patut curiga? Siapa tahu orang di depannya bukan lah sosok yang selama ini sering kali di gerutui olehnya.
"Sehat wal-afiat."
Reyna jadi ragu untuk percaya, tetapi juga dia tidak ingin di ledek 'sok dekat' jika bertanya lagi. Mungkin setan yang ada di dalam tubuh Reno sedang pergi liburan sementara, menjadikan perubahan dari kebiasannya menjadi lebih baik.
"Yaudah. Kalau gitu, aku mau bantu di kasir aja, Kak." kali ini tangan Reyna di pegang untuk mencegah.
"Ga perlu. Lo istirahat aja di sana, baru sembuh juga."
Walaupun terdengar dingin, kenapa Reyna berpikir jika Reno yang sekarang begitu perhatian padanya? Bukan kah selama ini anak cowok itu selalu saja menuntun perang? Tapi bagus untuk Reyna, sih. Setidaknya hari ini cewek itu bisa menikmati kerjanya tanpa ada nyinyiran dari seniornya itu.
"Tapi, Kak. Bos, pasti bakal marah kalo liat aku cuma diem aja."
Nampak wajah Reno yang berubah semakin tajam. "Di antara karyawan di sini gue atasan, apa bedanya?"
Reyna seketika menciut. Mode Reno mulai muncul perlahan, Reyna tidak akan lagi bicara dia menuruti dan mulai berjalan menjauh dari senior nya.
'Aneh', hati Reyna bersuara.
Padahal Reyna sudah membaik. Lagi pula ini memang hari kembalinya dia bekerja setelah kemarin di rumah sakit. Jika terus menolak, Reyna takut kalau Reno akan mengamuk. Dia pasti tidak bisa menahan makian di dalam hatinya jika berulah, cukup untuk hari ini sikap aneh dari Reno membuat Reyna tenang.
"Eh, dedek junior. Kok, udah masuk kerja aja. Bukannya masih harus istirahat di rumah, ya?" Cipto menghampiri dan duduk di sebelah Reyna.
"Bosen, Kak. Lagian aku udah baik, kok." balas Reyna tersenyum.
Cipto mengangguk, "Syukur kalo kamu udah mendingan. Yang penting sekarang kuat, kalo mau pingsan bilang sama akang, ya."
Reyna tertawa kecil. "Akang..., Cipto?"
"Yoi, lah."
Reyna menahan tawanya. Satu seniornya itu selalu saja bisa membuat Reyna ingin tertawa, walau hanya satu kata tetapi kenapa mampu membuat humor Reyna seketika melonjak? Namun Reyna harus menahan karena takut menyinggung perasaan.
"Kamu diem aja di sini, aku mau bantu yang lainnya dulu, ya."
"Iya, Kak."
Setelah Cipto menjauh, Reyna menutup mulutnya dengan tangan dan mulai tertawa yang masih bisa di tahan. Beruntungnya walau Cipto di tertawakan banyak orang ia tidak pernah merasa menjadi bahan olokan, padahal dirinya sendiri yang selalu membuat gurauan.
"Kalo mau ketawa jangan di tahan. Nanti keluar dari belakang."
*********
Lagi - lagi hujan mengguyur kota. Reyna yang masih belum sepenuhnya sehat memberhentikan kakinya di tempat yang kembali sama. Dia tidak bisa berpikir harus berteduh di mana, Reyna juga terpaksa mengarah pada rumah itu.
"Kamu lagi?"
Reyna mendongak saat mendengar suara dingin di depannya. Dia meneguk ludahnya yang terasa susah.
"Ngapain di sini? Kamu ga punya tempat tinggal, ya?"
"Maaf kalau kamu merasa terganggu karena kedatangan aku, tapi boleh ga biarin aku di sini sampai hujan reda?" Reyna meminta izin. Terlihat cowok di depannya menghela napas sambil menutup payung hitam yang sempat di bawanya, entah dia sudah dari mana yang jelas Reyna melihat salah satu tangannya yang membawa kantong kresek ukuran lumayan besar.
"Aku ga suka ada perempuan yang terlihat menyedihkan seperti kamu saat ini. Ayok, masuk. Aku buatkan teh hangat."
Reyna awalnya ragu, tetapi kenapa orang itu sedikit menyentak hatinya. Dari mana dia bisa berpikir kalau Reyna tidak memiliki rumah? Salahkan kaki dan otaknya yang mengarahkan tubuhnya untuk pergi ke sana.
Reyna ingin sekali meralat, tapi pasti masalahnya akan kembali memanas dan bisa saja dia segera di usir.
Akhirnya mau tidak mau Reyna masuk ke dalam rumah tersebut, dia melihat segala pernak-pernik yang ada di sekelilingnya saat ini. Reyna bahkan sampai tidak bisa berhenti mengagumi berbagai gambar yang di pajang hampir di setiap dinding.
"Kamu seorang pelukis, ya?" tanya Reyna yang masih memandang tanpa mengalihkan.
"Hm," hanya terdengar suara dehaman dari sosok itu.
Terkesan cuek dan dingin. Apa dia masih sakit hati karena Reyna sudah berpikir yang tidak-tidak saat pertama bertemu?
"Maaf kalo sebelumnya aku pernah berkata yang tidak enak untuk kamu." sedikit menunduk Reyna kembali mengingat kesalahannya.
"Udah di maafin."
Reyna mengulum bibir. Rasanya sangat canggung, Reyna tidak tahu harus bagaimana lagi. Orang itu terlihat tidak ingin di ganggu oleh siapapun. Apa di rumahnya juga tidak ada lagi orang selain dia? Reyna baru menyadari jika keadaan rumah itu begitu sepi, hanya terdengar rintikan hujan dari luar.
"Kamu tinggal sendiri?" tanya Reyna kembali.
Kali ini kepalanya mengangguk. "Sini duduk, udah aku buatkan teh cepat di minum." suruhan dari pemuda itu lebih tepat seperti memaksa, dengan kaki sedikit bergetar Reyna tetap melangkah untuk mendekat dan duduk di depan pemuda tersebut.
"Nama kamu siapa? Kenapa setiap hujan kamu selalu menginjak rumah aku?" Pemuda itu menatap Reyna tanpa sedikitpun senyuman atau bicara lebih nyaman.
"Reyna. Nama aku, Reyna." dia meneguk teh hangatnya sebelum melanjutkan lagi, "karena aku hanya tau tempat di sini untuk berteduh. Kalau menunggu di halte, tempatnya juga harus melewati jalanan dari sekitar sini. Jadi..., aku ga tau harus berteduh di mana lagi. Maaf banget semisal kamu merasa ga nyaman aku ada di sini."
"Aku memang tidak pernah pandai bergaul. Semua orang menganggap aku itu aneh dan anak yang paling terlihat seram. Mereka semua mencampakkan aku, tidak pernah ada yang mau berteman..., bahkan aku berada masih jauh saja mereka semua segera menghindar."
Reyna merasa tidak enak. Apa mungkin karena dia juga tinggal sendirian di rumahnya?
"Memangnya..., kedua orang tua kamu kemana?" kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, Reyna mencoba untuk mencari.
"Mereka meninggalkan aku sendiri." Pemuda tersebut tersenyum pedih. Dia menatap ke arah depan dengan tatapan kosong, "awal kehidupan aku yang penuh dengan olok dari orang di luaran."
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!