Braggghhh.
Beberapa saat sebelum ke puncak, banyak hal yang terjadi atas diri dia dan orang lain, mungkin rasanya memang begitu aneh untuk seukuran anak kecil yang sangat membangkang pergi meninggalkan daerah berbahaya hanya untuk mencari kesenangan.
Padahal, sudah jelas tertera bahwa pantangan tersebut memang ada dan semua yang ada disitu hanya mengangguk seolah mereka tidak pernah paham, apa yang akan diperbuat, jika seandainya masalah serius itu terjadi.
"Apa kau harus menyalahkan dirimu sendiri, Del?" tanya Kemas, yang intropeksi diri setelah beberapa saat kembali ke rumah setelah pendakian petaka itu.
Rasanya, semua orang perlu memperbaiki diri, tak terkecuali insan-insan kecil yang tak pernah mencoba untuk memberikan sedikit banyak pemikiran tentang apa dan bagaimana dia menjadi sebuah manusia yang terus sempurna di mata orang lain.
"Seharusnya, gue memang sadar sedari awal, kalau emang itu beneran Fitria, gue gak akan bisa maafin diri sendiri, kalau seandainya tragedi itu beneran terjadi, karena yang akan disalahkan pertama sama nyokap atau bokapnya dia itu pasti gue."
"Lu merasa gak? Kalau misalkan si Fitria itu memang seorang yang kek gitu, gue rasa dia mikir kalau mau ngelakuin sesuatu, sedangkan kita? Gue rasa, kita sendiri kadang gegabah mutusin sesuatu, dan lu tau kan suatu hal yang dilarang di gunung."
"Dilarang melakukan hajat sembarangan dan berkata kasar," ucapnya sambil mengingat sesuatu dari yang dipikirkan itu.
Matanya terbelak, sadar dengan apa yang akan diperbuat, dia langsung mengkoreksi apa saja yang terkait dengan semua hal tersebut, tidak ada yang bisa dipikrikan selain memikirkan kebodohan-kebodohan itu, sampai dia lupa ada yang lebih penting.
"Sebenernya, kala itu, dia sudah memahami apa saja kesalahannya, tapi tidak lebih penting kalau kebodohan tidak dikatakan dalam hatinya sebelum merasakan kepahitan yang lebih baik."
Masa lalu akan menyisahkan memori, kebodohan dan rasa malu yang tidak akan mampu dijelaskan atas kelakuan yang lebih baik, tapi sekarang ketika semua itu diselesaikan atas diri masing-masing, mereka baru sadar apa makna dan rasa paham ini, atau mungkin juga memang suatu hal yang tidak akan bisa diucapkan di masa depan.
"Sudahlah itu tidak perlu dibahas, seharusnya bila kau cerdas dalam olimpiade, hal ini seperti ini, tidak akan jadi masalah."
Kemas tertawa kecil sambil meninggalkan Delon hari ini, sejujurnya dia akan menemani lebih banyak lagi dalam intrik-intrik kecil itu, tapi hari ini dia akan cukup untuk berbicara dengan sahabatnya, sisanya dia akan menyelesaikan itu semua sendiri.
Berbicara mengenai masa lalu, dia mengingatnya bahkan sebelum volume 1 itu dimulai, tempat dimana Delon yang saat ini menjadi ketua OSIS dan Kemas menjadi wakilnya. Bahkan, Delon dan laki-laki tersebut memiliki cerita masa lalu yang cukup kelam, sehingga dia pikir bahwa itu adalah sebuah mimpi yang harus dihempas jauh-jauh.
"Emang kalau dipikir, ini gak akan menyelesaikan masalah, tapi apa ini satu-satunya masalah yang pernah gue pikirkan baru-baru ini, rasa-rasanya memang terlalu kekanakan untuk mengingat masalah sepele ini."
Itu terjadi saat kelas tiga sekolah menengah pertama di daerah Delon tinggal, itu memang sepertinya menjelaskan sedikit bahwa ada sebuah hal kecil diantara dia dan salah satu teman laki-lakinya.
"Kita ini sedang berkencan, bukan?"
"Sebaiknya kau diam saja, ini adalah suatu hal yang untuk dibicarakan di depan publik."
Mereka berjalan melintasi trotoar menuju ke seberang jalan, yang mana ini adalah jalan raya tersibuk di Jakarta, hanya dipandu untuk saling berbicara, sampai mereka lupa bahwa di depan ada sebuah bencana yang akan menimpa mereka berdua.
"Del, kalau kita sekolah satu SMA lagi, gimana?" tanya dia, yang sepertinya merasa bahwa feeling ini tidak akan lebih tepat.
"Ah entahlah, katakan saja bagimu yang terbaik, aku sendiri sangat enggan untuk membicarakan hal ini di depan kalian, tapi demi apapun, aku juga sejujurnya bingung untuk memetakan masalah ini dengan apa yang sudah terjadi."
"Perspektif tidak akan mengubah segalanya, kalau kau terus menjadikan dirimu sebagai patokan, jadi aku akan mencoba berbicara hal lain, aku ingin bebas."
Delon yang berbicara itu seolah sadar bahwa dirinya tidak akan menjadi lebih baik dan cerdas dalam beberapa waktu, kalau dia memang ini seorang yang cerdas namun terbatas.
Kiro, teman Delon tersebut hanya memikirkan apa yang sudah dia katakan saat ini, walau rasanya sangat sakit untuk mengingat itu. Tapi, yang pasti dia akan membuat semuanya akan tampak menderita karena pilihan yang dia berikan, jadi memang tidak akan pernah jadi baik, kalau dia ikut memutuskan pada bagian ini.
"Apa yang kau rencanakan?" tanya Kiro, yang masih menginginkan jawaban selanjutnya dari dirinya.
Delon mengerenyitkan pipinya dan sebisa mungkin menahan rasa sedih dan berbahayanya itu agar dia tidak berusaha untuk melakukan banyak kesalahan. "Aku belum tau apa yang bisa aku rencanakan untuk diriku, kedepan ini, semoga saja kau bisa belajar dari diriku, bahwa apa yang disebut dengan hubungan percintaan itu tidak akan selamanya berjalan dengan baik."
Sepertinya, Kiro sudah tahu arah tujuan Delon berbicara, ini akan menjadi edisi terakhirnya untuk bertemu dengan dia, semoga juga bukan suatu hal yang menyakitkan di masa yang mendatang.
Kiro menangis tanpa sadar dan aku sendiri juga takut mengungkapkannya, jauh di lubuk hatinya Kiro masih menyukai Delon apa adanya, terlepas dari rasa sakitnya terhadap apa yang dipikirkan tentang sebuah keluarga yang utuh.
"Aku tahu, kau merasa sakit, merasa rapuh, merasa membutuhkan sebuah bantuan yang layak, aku tahu kau gak bisa berdiri sendiri, karena bagimu teman adalah sosok terakhir, kau tidak mungkin sejauh ini, kan, pliss lu jangan bodoh!!" kata Kiro, yang paham dengan suasana Delon hari ini dan detik ini.
"Maaf, tapi gue rasa, kita untuk sementara menghindari komunikasi ini, aku gak mau kau lebih terlibat jauh dengan masalah ini."
Rasa bersalah itu, jelas tidak akan bisa dibicarakan dengan mudah, selagi obrolan ini tidak ada yang mau dikalahkan, sudahi mimpi ini sama saja akan membuat semua akan hancur.
"Kau mau, mengakhiri semua yang sudah ada? Selama tiga tahun, kau menyukai aku, dan Kemas sudah tau itu, apakah kau merasa dirimu itu lebih baik tanpa aku? Tidak sedikitpun!" kata Kiro yang menyampaikan ucapan yang menyakitkan tersebut.
Dengan sangat tersakiti, Delon hanya berusaha tetap tenang menanggapi perkataan jahat itu, walaupun rasanya dipikir-pikir tidak ada yang bisa dipertahankan. Dengan sedih, dia beranjak dari tempat tersebut dengan pemikiran yang kacau, hati yang hancur, badan yang tidak sanggup untuk berdiri dan berdaya lagi menemui wajah itu.
Ketika jalan sedang ramai, malangnya dia tidak mendengarkan apapun kata Kiro, sampai pada akhirnya, terjadi suatu masalah.
Brugghhh, tabrakan tidak dapat dihindarkan, jatuh terbaring dalam kesedihan dan rasa sakit serta darah yang menetes, membuat dia berpikir ini akan menjadi sebuah tragedi petaka yang diliputi dengan rasa sakit.