webnovel

Penggemar yang Sedang Menyamar

Bukan hal yang baru lagi jika Aila dan Ayka saling bertengkar dalam diam. Ah, jangan harap Aila baik-baik saja. Selepas menantang saudara kembarnya semalam dia hanya bisa duduk diam di pojokan menyaksikan segala macam adegan.

Di depan matanya, tak sampai lima meter. Kini Ayka tengah gencar melakukan pendekatan pada Ryan. Haha Aila pikir dia setidaknya akan menghabiskan waktu dengan laki-laki Itu agak lama.

"Sayangnya tidak, saat aku hendak mendekat saja Bunda dan ayah sudah bersiap melayangkan pukulan," lirih Aila.

Dia duduk di pohon mangga, tak menyembunyikan diri sama sekali. Yang gadis itu lakukan hanya selonjoran sambil mencabuti rerumputan. Sesekali Aila melihat Ryan tampak gerah dengan saudara kembarnya itu, akan tetapi mereka sama-sama tahu bahwa mendekat hanya akan berakhir sekarat.

"Kenapa menatap mereka seperti itu?"

Aila menoleh saat neneknya datang, lagi-lagi wanita tua ini pasti hanya tahu cara merendahkannya saja. Jujurly, sesekali Aila juga ingin disayangi, akan tetapi pada akhirnya dialah yang paling dibenci.

"Hanya ingin bergabung, tapi Ayka tak mau," balas Aila.

Bisa saja dia diam, tak mengatakan apa-apa, hanya memberikan tatapan tajam seperti biasanya. Namun, bukankah hal seperti itu hanya akan membuatnya kesusahan?

"Jangan lakukan itu, Ai. Nenek rasa kamu tak pantas dengan Ryan, keluarga bocah itu mungkin juga tak mau memiliki menantu ceroboh dan bodoh sepertimu ini," sinis neneknya.

Haha, seperti dugaan Aila tadi bukan?

Sial, dia bahkan sudah tak lagi terkejut dengan semua drama ini. Masalahnya sudah terlalu terbiasa.

"Jika nenek saja sudah bilang begitu apa lagi yang bisa kulakukan? Aku hanya perlu duduk diam di sini dan tak merecoki mereka bukan?" Aila membalas dengan senyuman tulus.

Anehnya alis sang nenek justru menukik tajam. "Apa yang sedang kau rencanakan bodoh?!"

Dalam hati Aila hanya mampu menertawakan dirinya sendiri. Entah kenapa semua hal yang dilakukan olehnya meskipun itu perkara kecil maka tetap akan menimbulkan masalah nantinya.

Bukankah neneknya sangat keterlaluan saat ini?

Wanita tua itu tak pernah mau mencoba memahaminya. Sejak kecil tak pernah Aila ingat bagaimana mereka bersama.

"Tak ada, Nek. Jika nenek masih berpikir bahwa aku yang salah maka terserah saja," balas Aila.

Haha, tentu saja dia mengatakannya dalam hati. Hey, memar di pipi ini belum menghilang loh. Mana mungkin dia menambahnya lagi?

"Entahlah, Nek," jawab Aila di permukaan.

Kini neneknya hanya terlihat murka lantas pergi meninggalkannya. Aila pada akhirnya bisa tersenyum lebar berkat hal itu.

Gadis berusia tujuh belas tahun itu tampak merogoh ponselnya saat benda tipis itu bergetar. Dia terkekeh geli melihat pesan asing dengan nomor yang sama lagi.

(Nomor asing)

Mikaila sudah makan? Perlu kupesankan mo-food ke rumahmu?

Sebetulnya Aila sama sekali tak peduli, akhir-akhir ini dia bahkan langsung mengabaikan pertanyaan barusan. Hanya saja dia merasa kesal dengan sikap Ayka di depan sana hingga membalas pesan yang sudah sering masuk semenjak dia menjadi siswa SMA.

To (nomor asing)

Udah, tapi kalau mau masakin langsung bisa dipikirkan lagi sih.

Aila membalas dengan santai. Namun, dia sama sekali tak menyangka bahwa akan berujung seperti ini di mana ternyata si pengirim justru melakukan panggilan video. Tentu saja Aila dengan segera mematikan panggilan saat melihat sang Bunda datang.

Gadis itu mencoba tersenyum guna menutupi rasa gugupnya. Sialan, bagaimana bisa iseng yang dianggapnya sebagai pengusir rasa bosan justru malah hampir membuatnya kembali mendapatkan pukulan?

"Aku tak mau mencoba-coba lagi," desis Aila merasa kesal pada dirinya sendiri.

***

Di seberang rumah, tak jauh dari Aila berdiri ada seorang pria yang tersenyum lebar saat ini. Dia merasa cukup senang karena sang gadis yang disukainya diam-diam mau sekadar membalas pesannya.

"Sudah lebih dari tiga tahun aku menunggu balasan pesan darimu, terima kasih," kekeh pria itu.

Tinggi dan postur tubuhnya terlihat seperti pria di awal usia dua puluh tahunan. Jelas lebih tua dari Aila.

Dia melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Sementara Aila mengorek telinganya yang mulai terasa gatal, di sepertinya sadar bahwa sedang dibicarakan oleh seseorang di seberang jauh sana.

Tak berbeda dari Aila yang mungkin saja akan mati kebosanan, Ryan pun berkali-kali mengeluh bahwa Ayka terlalu menempel padanya. Rasanya dia ingin langsung menepis tangan gadis itu yang mencoba untuk menyentuh wajahnya apa lagi menyuapi sesuatu.

'Dia benar-benar wanita licik. Hanya saja kenapa wajahmu dan Aila sama? Aku takut bahwa suatu saat nanti tak bisa mengenali kalian,' tutur Ryan dengan suara sendu.

Saat melihat nenek dari Ayka dan Aila mendekat, lekas Ryan memasang senyum maut andalannya. Mau bagaimana pun juga dia mesti mengalah, jika tidak gadis pujaan hatinya yang akan mendapatkan masalah.

"Bagaimana? Sepertinya kamu sangat cocok dengan Ayka," tutur nenek itu.

Ryan tersenyum lebar. "Hahaha, nenek bisa saja. Kami masih begitu mudah loh, baru tujuh belas tahun dan aku rasa tak pantas membahas kecocokan yang terdengar seperti, 'menikahlah segera' itu, Nek."

Nenek tampak tergelak. "Haha kamu bisa saja, tapi kalau Ayka mau kenapa tidak?"

Sahutan yang sangat menyebalkan untuk didengar. Lebih lagi saat Ayka dengan entengnya membalas ucapan neneknya itu.

"Itu benar, Yan. If you want it, kita bisa menikah kapanpun loh. Ya walaupun aku lebih suka kalau tunangan saja dulu, ya kan, Nek?" Ayka tersenyum amat lebar di akhir kalimatnya.

Sikapnya itu seolah-olah menunjukkan bahwa dia memang sangat mengharapkan adanya hubungan lebih. Ryan tak berpikir sejauh itu dengan Ayka, yang dia inginkan hanyalah Aila.

Jadi, saat nenek kembali mengatakan, "Benar sekali, kalian boleh melakukannya dengan sesuka hati asalkan nilai-nilai tak ada yang turun. Ah tapi tidak mungkin turun deh, kalian kan sudah sama-sama pintar sejak bayi."

Rasanya Ryan ingin tertawa mengejek saja. Bagaimana mungkin nenek mengatakan kalimat itu? Bahkan anak balita pun juga tahu bahwa tak ada yang benar-benar bisa mempertahankan sesuatu tanpa berusaha barang sedikitpun itu.

Perlahan-lahan sambil mendengarkan ocehan kedua orang ini Ryan mengamati Aila. Tak seperti beberapa saat tadi, gadis itu kini tampak tersenyum paksa kala melihat ponselnya. Aila juga terlihat seperti sedang berkirim pesan dengan seseorang.

Siapa?

Ryan tak pernah melihat Aila berjalab bersama dengan orang lain kecuali dirinya. Aneh rasanya melihat gadis itu kini tampak sibuk sendiri. Dia terus saja menunduk membuat rasa penasaran Ryan semakin menjadi-jadi.

Namun, tak sempat berdiri dia sudah mendapatkan tarikan kencang juga cegahan dari Ayka.

"Duduk di sini aja, Yan. Bentar lagi kan kamu juga mau pulang, kalau duduk sama aku pulangnya gampang nanti. Kamu ... nggak ada niatan pergi ninggalin aku sama nenek kan, Yan?"

Sial, Ayka benar-benar gadis sialan, batin Ryan.

-Bersambung ....