webnovel

Ungkapan Perasaan

Rona merah terlihat di wajah Tiara saat mendengar penuturan dari Ratih. Bagaimana tidak, beliau mengatakan bahwa Zaidan menanyakan pendapatnya kepada sang ibu.

"Maksudnya apa ya, kok saya semakin tidak mengerti?" tanya Sartika bingung.

"Jadi gini loh, Bu. Semalam putra saya ini menanyakan pendapat saya bagaimana dengan Tiara. Saya jujur saja, kalau saya menyukai Tiara. Matanya begitu berbinar ketika saya menjawab seperti itu, meskipun usianya terbilang dewasa tapi, perihal seperti ini dia selalu bertanya hal seperti itu," jelas Ratih panjang lebar.

Sartika hanya tertawa kecil mendengar penjelasan dari Ratih dan berkata, "Mungkin maksudnya agar tidak mengecewakan ibunya. Itu bagus loh, Bu. Artinya Zaidan ini sangat patuh terhadap ibunya."

Tiara hanya diam mematung mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan dua wanita di depannya. Matanya tidak berani melihat bahkan untuk menatap Zaidan. Jantungnya berdetak cepat saat mendengar penjelasan dari Ratih, mulut Tiara kehabisan kata-kata saat mereka membicarakan dirinya secara langsung.

'Apa kak  Zaidan beneran suka sama gue?' batin Tiara.

"Kamu kenapa diam saja, Tiara?" tanya Ratih.

"Oh, mm.. nggak kok,  Bu," kekeh Tiara.

Cukup lama mereka berbincang dan bercerita satu sama lain. Bahkan arah pembicaraan selalu menjurus ke perjodohan.

"Mungkin nanti bisa dipikirkan kalau Tiara sudah mengerti," jawab Sartika, "kalau begitu kami pamit pulang ya, Bu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam,"  jawab Ratih dan Zaidan kompak.

Tiara langsung menjalankan motornya, dalam pikirannya ingin segera meninggalkan tempat itu secepatnya.

"Kamu suka sama Zaidan kan, Ra?" tanya Sartika di tengah perjalanan.

"Mama apaan sih, memangnya tadi belum puas ngomongin aku terus," keluh Tiara.

"Mama kan ngomongin kamu yang baik-baik, lagi pula Zaidan itu tipe lelaki idaman loh. Yang menjadi istrinya pasti aman sejahtera dunia akhirat," ucap Sartika antusias.

Tiara menghiraukan ucapan Sartika, dia memilih untuk fokus mengemudikan motornya. Setelah memarkirkan motornya, Tiara langsung masuk ke dalam kamar tanpa mengucapkan salam. Bagas yang sedang duduk menonton televisi hanya bingung melihat tingkah putri satu-satunya itu.

"Assalamualaikum," salam Sartika dan salim pada suaminya.

"Waalaikumsalam. Tiara kenapa, Ma?"  tanya Bagas.

Sartika pun menceritakan semuanya, Bagas yang mendengarnya sangat antusias.

"Jadi bagaimana, Pa?" tanya Sartika.

"Ya gak gimana-gimana. Kalau mereka berjodoh pasti dimudahkan, lagi pula Tiara masih sekolah kan, belum waktunya kesana," jelas Bagas.

"Iya mama juga bilang seperti itu, tapi Bu Ratih bilang kenapa nggak tunangan aja dulu. Mama kaget dengernya," balas Sartika.

"Ya ampun, padahal putri kita hanya seperti itu ya, Ma.  Sedangkan Zaidan sudah dewasa dan terbilang sempurna sebagai lelaki," ucap Bagas.

Sartika tidak terima mendengar ucapan suaminya dan menjawab, "Seperti itu bagaimana maksudnya, Tiara pintar loh. Jangan meremehkan anak sendiri."

"Maksud papa tuh, Tiara masih harus belajar lagi. Papa nggak pernah meremehkan putri sendiri."

Di dalam kamar Tiara sedang menatap pesan yang datang di handphonenya. Jantungnya seperti berhenti sejenak, aliran darah terasa deras, hatinya menjadi tidak karuan.

"Gue nggak salah baca kan?" tanyanya berulang kali dan memastikan.

Tiara menjatuhkan handphonenya karena terkejut mendapatkan panggilan masuk yang terbilang mendadak.

"Mampus gue," kata Tiara melihat nama yang tertera di layar handphone.

Tiara membiarkan handphonenya terus berdering karena saat ini dia belum bisa mengendalikan dirinya sendiri.

____

Tok..

Tok..

Tok..

"Iya, Ma. Aku udah bangun dari tadi," saut Tiara.

Terlihat lingkaran hitam dimata Tiara dan rambutnya acak-acakan seperti tersengat listrik. Sepanjang malam Tiara tidak bisa memejamkan matanya meskipun hanya sebentar. Berbagai pertanyaan dan pernyataan menyerang pikirannya yang mengakibatkan Tiara insomnia. Entahlah apa yang dipikirkan Tiara sejak semalam.

"Males banget gue sekolah," kata Tiara yang masih setia dengan posisi meringkuknya sambil memeluk guling.

Tiara enggan beranjak dari ranjangnya barang satu senti pun. Handphonenya terus berdering sedari tadi, dia pun enggan untuk menerima panggilan tersebut. Pintu kamar diketuk lagi oleh Sartika karena tidak ada kedatangan Tiara di meja makan sementara jarum jam sudah menunjukan angka tujuh.

"Tiara! Kamu sudah bangun belum?" tanya Sartika sambil membuka pintu kamar, "Ya ampun Tiara! Kamu belum siap-siap sekolah?"

"Aku malas, Ma. Boleh ya hari ini aja aku nggak berangkat sekolah, mager sedang menyerangku , Ma," ucap Tiara dengan posisi memeluk guling.

Sartika hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan putrinya, dia pun bertanya apa yang mengakibatkan putrinya seperti itu.

"Nggak tau, Ma. Semalam  aku nggak bisa tidur, sekarang malah ngantuk banget. Kali ini aja, Ma. Boleh ya," kata Tiara sambil menangkupkan kedua tangannya seraya memohon.

"Ya sudah lah, terserah kamu daripada nanti beajar malah nggak masuk otak. Tidur sekarang nanti kalau udah puas langsung mandi terus makan," titah Sartika.

"Siap madam!"

Disekolah Zia terlihat gelisah karena teman sebangkunya tak kunjung datang, bahkan saat Raza masuk kelas dan duduk dibangkunya Zia langsung menyerang berbagai pertanyaan.

"Gue nggak tau, tadi nggak mampir ke rumahnya." Hanya itu yang dapat dijawab oleh Raza dari sekian pertanyaan yang menyerangnya.

Zia hanya berdecak kesal karena tidak mendapatkan jawaban yang mengurangi kegelisahannya, sedari tadi tangannya juga sibuk menelpon Tiara tapi, tidak ada jawaban. Sebenarnya Raza juga sedang menutupi rasa kegelisahan yang sama dengan Zia, ada sedikit rasa bersalah karena tidak membalas pesan yang datang dari Tiara.

*

"Ma," panggil Tiara setelah selesai mandi dan menuju dapur.

"Kenapa? Udah galaunya?  serang Sartika.

"Mama apaan sih, mana ada aku galau," jawab Tiara tidak terima.

"Kalau bukan galau apa namanya," selidik sartika lebih lanjut.

Tiara menghiraukan pertanyaan dari Sartika dan dia langsung mengambil piring di rak untuk makan.

"Ya ampun banyak banget notifnya," kata Tara memeriksa handphone yang baru dipegangnya.

Tiara membaca satu-satu pesan tersebut.

"Sekarang jam sepuluh jam istirahat. Gue telpon ah," kata Tiara lagi menekan nomor Zia.

"Halo beb, lo kemana si kok baru nelpon gue. Tau nggak gue khawatir,  nggak ada kabar dari lo. Gue tanya Raza dia juga bilang nggak tau," serang Zia saat mengangkat telepon dari Tiara.

"Hei! Pake koma kalau ngomong, gue ampe keselek nih dengerin lu ngoceh," balas Tiara.

"Makanya bales pesan sama angkat telepon dari gue. Lo kenapa? sakit?" tanya Zia.

"Gue nggak papa kok, Zi. Lagi mager aja," jawab Tiara.

"Tumben lo, biasanya getol banget kalo sekolah bahkan pernah ngomelin gue waktu bolos," jelas Zia.

Tiara dan Zia asyik mengobrol sampai tidak mengingat waktu kalau sudah jam masuk istirahat.

'Eh, gurunya udah datang. Nanti pulang sekolah, gue ke rumah lo. Ok. Bye."

 Zia langsung menutup teleponnya karena guru biologi sudah masuk ke dalam kelas. Raza yang mendengar percakapan Zia dan Tiara sedikit lega karena mengetahui kabar Tiara baik-baik saja. Raza sendiri juga bingung, kenapa dia tidak menanyakan langsung kepada Tiara kalau dia juga khawatir.