Setelah pulang dari rumah Zaidan, Tiara menceritakan semua kenapa dia dipanggil kesana. Ketika mendengarkan penjelasan dari putri satu-satunya itu, Sartika berpikir tentang kebenaran ucapan Ratih saat bertemu di pengajian tempo hari dan dia berpikir untuk menceritakan pada suaminya, Bagas.
Di dalam kamar Raza terus memutar handphone miliknya diatas meja, dia tengah berpikir akan membalas atau tidak pesan yang datang Tiara.
"Za, anterin mama ke pasar yu," ucap Tari saat membuka pintu kamar anaknya, Raza.
"Iya mama, aku siap-siap dulu."
Sedangkan Tiara terlihat uring-uringan sendiri di atas ranjangnya sambil melihat handphone berulang kali.
"Lo nggak tau, Za. Gue tau lo suka tapi, gue nggak bisa bales karena nggak mau ada akhir dalam hubungan kita nanti. Gue lebih nyaman hubungan seperti ini karena bebas bercerita bahkan tanpa takut untuk marah yang berlebihan. Gue harap lo ngerti tanpa harus dijelasin," kata Tiara pelan sambil melihat foto berdua dengan Raza di galeri handphonenya.
Tiara terus melihat foto-foto hasil jepretannya bersama Raza hingga merasakan matanya lelah, sehingga dia tertidur. Tanpa disadari tetesan bening menetes dari ujung matanya.
____
"Nanti kamu bantuin bungkusin snack ini di masjid ya, bisa kan?" tanya Zaidan pada Tiara.
"Iya kak," jawab Tiara sekenanya.
Tiara merasakan gugup yang luar biasa karena berjalan berdampingan dengan sang pujaan hati. Bahkan sebelum berangkat Tiara bingung untuk menemukan pakaian yang cocok dipakainya, sebenarnya dia bisa tidak memakai kerudung tetapi Tiara menyesuaikan akan jalan dengan siapa. Zaidan Fadillah, pria dengan tinggi diatas rata-rata dan mempunyai wajah yang tampan. Perempuan mana saja akan kagum saat melihatnya. Sejak sekolah dia sudah mengenal dunia pesantren hingga lulus dan kini menjadi pengajar di salah satu pesantren tempatnya menuntut ilmu. Pesantren tempatnya mengajar masih milik keluarganya yaitu kakak dari ayahnya. Sehingga Zaidan diberi kepercayaan untuk menjadi pengajar di pesantren tersebut.
"Maaf ya dari kemarin saya ngerepotin kamu terus," ucap Zaidan saat mendengar jawaban singkat Tiara.
"Nggak kok kak, nggak papa. Maaf kalau saya udah bikin kak Zaidan nggak nyaman soalnya saya nggak biasa jalan begini."
Tiara langsung menutup mulutnya saat menyadari perkataannya yang baru saja diucapkan. Bahkan dia merutuki dirinya sendiri kenapa bisa ceroboh mengatakan hal seperti itu. Zaidan tertawa melihat tingkah dan kepolosan dari diri Tiara.
"Memangnya kamu nggak pernah jalan sama teman lelaki kamu? Bukannya kamu sering jalan sama Raza ya?" selidik Zaidan.
"Itu beda urusan kak, dia tuh udah saya anggap seperti kakak sendiri. Lagi pula kita sudah kenal dari kecil jadi biasa aja," jelas Tiara.
"Terus kalau Raza udah biasa, sama kakak beda gitu?"
Pertanyaan Zaidan sukses membuat Tiara tersedak.
'Aje gile nih orang, bisa banget bikin gue deg-degan,' batin Tiara.
Tiara hanya terdiam karena tidak bisa menjawab pertanyaan Zaidan. Bola matanya mengedarkan ke segala arah untuk mengurangi perasaan gugupnya. Tiara dan Zaidan duduk di warung untuk beristirahat sejenak setelah membeli beberapa snack.
"Besok acaranya jam berapa kak?" tanya Tiara memastikan.
"Sekitar jam sepuluh," jawab Zaidan menyeruput es teh miliknya.
Tiara hanya mengangguk tanda mengerti.
"Oh iya, nanti kamu kuliah dimana?"
"Belum kepikiran kak, lagi pula aku kan baru kelas satu. Memang sih udah mau kenaikan kelas tapi masih jauh banget buat kesana," terang Tiara.
"Nggak ada rencana kuliah di luar negeri?" tanya Zaidan, "Kakak mau ngelanjutin S2 di Turki. Bagaimana kalau bareng?"
Lagi-lagi Tiara tersedak mendengar pertanyaan terakhir dari Zaidan. Mendengar kata bareng membuat pikirannya bertraveling.
"Kakak nggak salah ngomong? Ngajakin aku bareng kuliah di sana? Pasti jurusan kita berbeda kak atau bahkan minat kita juga beda," jelas Tiara.
"Kuliah kan jurusannya memang berbeda Tiara tetapi kalau satu kampus kenapa tidak. Lagi pula perbedaan itu lebih indah bisa melengkapi kekurangan bahkan kelebihan dari perbedaan itu sendiri," balas Zaidan dengan nada serius.
Tiara tertegun mendengar kalimat yang diucapkan oleh Zaidan. Sementara Zaidan kini terkekeh melihat sikap perempuan yang ada di hadapannya.
Setelah sadar dari pikirannya Tiara langsung menjadi salah tingkah karena tatapan mereka bertemu dalam waktu yang cukup lama. Tiara memutar otak untuk menghindari situasi yang kini menyerang dirinya, merasakan sendiri betapa cepat detak jantungnya.
"Tapi perbedaan itu akan mengakibatkan sesuatu yang fatal kalau tidak bisa mengatasinya. Terlebih pola pikir orang itu berbeda-beda," kata Tiara menemukan jawaban yang tepat.
"Semua itu bisa diatasi jika memiliki perasaan yang sama. Jika memang orang tersebut sangat menghargai orang itu akan selalu berusaha untuk tidak menjadikan perbedaan menjadi fatal," ucap Zaidan percaya diri.
"Ini kita lagi bahas apaan sih," kekeh Tiara.
Zaidan mengangkat bahunya sambil tersenyum manis kepada Tiara. Dibalik senyumnya terdapat sesuatu perasaan yang tidak bisa diungkapkan. Sedangkan Tiara merasakan sesuatu yang berbeda saat melihat senyuman dari sang penyejuk hatinya itu.
"Nanti habis ashar kamu langsung ke masjid saja," kata Zaidan.
"Iya kak, nanti aku ke sana."
Zaidan mengantar Tiara sampai di depan rumahnya. Setelah melihat mobil Zaidan pergi, Tiara langsung tersenyum memikirkan perkataan yang diucapkan oleh Zaidan tadi. Bahkan saat hingga masuk ke kamarnya Tiara masih tersenyum.
"Maksud kak Zaidan tadi itu apa ya?" tanya Tiara, "Apa jangan-jangan dia itu..."
Tiara langsung menutup wajahnya dengan bantal karena tidak sanggup untuk melanjutkan perkataannya sendiri.
"Sepertinya gue harus bikin planing."
Tiara langsung beranjak dari ranjangnya dan menemui sang mama tercinta.
"Mama," kata Tiara dengan nada manja seperti anak kecil yang merayu orang tuanya.
"Kamu baru sadar?" sindir Sartika, "Masuk rumah senyam-senyum sendiri, nggak ngucapin salam."
Tiara melipat mulutnya ke dalam karena kepergok oleh Sartika.
"Kamu nggak kesambet kan?" tanya Sartika memastikan.
"Mama ngomong apaan sih, ya nggak lah," jawab Tiara sambil duduk di bangku meja makan.
"Alhamdulillah," balas Sartika mengelus dada.
"Ma, kalau nanti aku kuliah di Turki boleh nggak?" tanya Tiara to the point.
Sartika menautkan alisnya karena mendengar pertanyaan dari Tiara. Bahkan tangannya memegang jidat Tiara untuk memastikan kondisi putrinya itu.
"Mama apaan sih?" tanya Tiara heran.
"Kamu aneh Nak. Apa yang sudah merasuki dirimu. Pulang dari pasar senyam-senyum sendiri terus sekarang minta kuliah di Turki. Lagi pula kamu baru kelas satu loh," jelas Sartika menjabarkan keanehannya.
"Merencanakan sesuatu nggak ada salahnya ma, siapa tau memang aku mau kuliah di sana," balas Tiara.
"Memangnya Zaidan ngomong apa sama kamu?"
Skak. Tiara langsung terdiam mendengar pertanyaan dari Sartika.
"Ng-ngg-nggak ngomong apa-apa kok," ucap Tiara terbata-bata.
Sartika sudah menduga maksud perkataan yang diucapkan oleh putrinya sendiri. Tidak mungkin Tiara mengatakan hal kuliah di luar negeri karena memang tidak pernah terpikirkan oleh Tiara sendiri. Naluri sang ibu memang kuat, Sartika menduga kalau putrinya tersebut mempunyai perasaan terhadap Zaidan.
"Kalau kamu kuliah disana, lalu Raza kuliah di sana juga?"
"Mama apaan sih, ya mana aku tau dia mau kuliah dimana. Bukan urusan aku juga," jawab Tiara dengan nada sedikit kesal.
"Kamu lagi bertengkar sama Raza?" selidik Sartika.
Tiara tidak menjawab pertanyaan Sartika, dia lebih memilih masuk ke kamar. Melihat sikap Tiara, Sartika hanya tersenyum.