webnovel

Ketertarikan

Setelah melihat Tiara pulang, Zaidan pun pulang ke rumahnya dan langsung berbicara serta bertanya dengan sang ibu.

"Assalamualaikum," salam Zaidan.

"Waalaikumsalam," jawab Ratih yang sedang duduk di teras rumah, "Bagaimana Tiara, sudah kamu antar  pulang?"

"Nggak, Bu. Dia kan bawa motor jadi aku anterin sampai parkiran aja," jawab Zaidan.

Zaidan terdiam sesaat, Ratih pun menyadari ada yang ingin dibicarakan oleh putranya tersebut. Akhirnya Ratih bertanya pada Zaidan.

"Aku sebenarnya masih belum paham sama ucapan Ibu kemarin."

"Nak, Ibu itu suka sama Tiara. Tidak bisakah kamu melabuhkan perasaan terhadap Tiara?" tanya Ratih sambil mengusap tangan Zaidan.

"Tiara itu masih sekolah, Bu. Zaidan juga sebenarnya tau niat Ibu, tapi apa ini tidak terlalu cepat. Lagi pula Zaidan berniat melanjutkan kuliah di Turki nanti. Ibu sudah mengizinkan Zaidan loh," jelas Zaidan.

"Justru itu, sebelum kamu melanjutkan kuliah jadikan Tiara sebagai pendampingmu terlebih dahulu. Umur kita tidak ada yang tau sampai kapan dan kedepannya juga kita belum tahu akan seperti apa," terang Ratih penuh harap.

Setelah ibu dan anak berbincang serta sepakat dengan apa yang sudah dibicarakan, Zaidan pamit untuk kembali ke dalam kamar. Zaidan memikirkan ucapan sang ibu tentang mendekati Tiara. Sebenarnya Zaidan juga mempunyai perasaan terhadap Tiara, tapi dia tidak mau terburu-buru mengambil langkah perihal perasaannya karena dia sendiri pun tidak tahu perasaan Tiara yang sebenarnya.

Sementara dikamar Tiara terlihat uring-uringan, dia menjadi bertraveling tentang perasaannya. Bahkan Tiara membayangkan jika harus menikah di usia yang saat ini.

"Nggak.. nggak boleh, pokoknya gue harus lulus terus kuliah, nggak ada waktu buat mikirin begituan," ucapnya percaya diri.

Tiara bangkit dari rebahannya dan berkata lagi, "Tapi nanti kalau tiba-tiba kak Zaidan nembak gue gimana dong?"

Tiara mengacak-acak rambutnya karena merasa frustasi dengan ucapannya sendiri.

Saat makan malam Sartika dan Bagas membicarakn hal membuat Tiara malu, bagaimana tidak sang mama membicarakan kemungkinan dia akan menikah dengan siapa nantinya.

"Mama! Apaan sih, aku masih sekolah, kenapa kalian membicarakan yang masih jauh sekali. Kalau seperti ini terus, aku nggak mau makan," ucap Tiara mengancam.

"Mama hanya berbicara saja, masa tidak boleh. Lagi pula papa sepertinya juga tertarik," jawab Sartika ambil tersenyum dan melihat putri serta suaminya secara bergantian.

"Tuh kan mulai lagi. Emang mau apa, anaknya nikah muda?" Tiara mengancam penuh penekanan.

"Sudah sudah, anak sama mama nggak ada bedanya. Tapi,kalau memang kalian berjodoh kenapa tidak," kekeh Bagas.

"Papa… bukannya ngebelain malah tambah ngeledekin aku." Tiara merajuk.

Selesai makan malam, Tiara lebih memilih masuk ke kamar. Sebelumnya Tiara sudah mengancam untuk tidak membantu mencuci piring karena sudah merajuk pada sang mama. Sartika justru tertawa melihat sikap putrinya, dia tidak marah sedikitpun.

"Apa benar yang mama bicarakan tadi?" tanya Bagas sambil memasukkan sepotong apel ke dalam mulutnya.

Sartika yang sudah selesai merapikan piring bekas makan malam pun dulu di sebelah suaminya dan memulai ceritanya.

"Iya Pa, awalnya mama juga nggak curiga kenapa bu Ratih terus menanyakan Tiara. Setiap pengajian mingguan, beliau selalu menanyakan kabar atau bahkan sekedar menanyakan kegiatan Tiara. Mama pikir itu wajar, tapi ketika Tiara bercerita barulah mama menyadari ada suatu maksud dari itu semua," jelas Sartika kepada Bagas.

"Kalau memang benar begitu, kenapa tidak dicoba saja. Tapi, tidak secepat itu juga, Ma. Tiara harus merasakan dulu bagaimana menuntut ilmu dan mewujudkan cita-citanya," balas Bagas.

"Itu lah, Pa. Bahkan Tiara bertanya tentang rencana kuliah di luar negeri. Mama terkejut ada angin apa dia berencana seperti itu, ternyata dia ditanya sama Zaidan yang mengajaknya untuk kuliah disana," jelas Sartika lagi sambil tertawa kecil.

Sartika dan Bagas terus membicarakan Tiara, semua pilihan itu ada ditangan Tiara sendiri. Mereka sebagai orang tua tidak akan memaksa karena mereka hanya ingin melihat putrinya bahagia dan menjalankan kehidupan sesuai keinginannya asalkan masih dengan batas wajar.

Tiara sebenarnya menguping pembicaraan orang tuanya di dapur, dia menempelkan telinganya rapat-rapat pada pintu kamarnya. Sedikit banyak Tiara mengetahui apa yang dibicarakan oleh orang tuanya sendiri. Bahkan Tiara hanya tersenyum saat mendengar nama Zaidan disebut.

"Namanya juga orang tua, bicara panjang lebar saat anaknya tidak ada," gumam Tiara dan kembali merebahkan dirinya di atas ranjang.

Raza. Nama yang tertera di layar handphone Tiara yang sedari tadi berdering, dia sengaja tidak langsung menjawab karena ingin mengetahui maksud telepon darinya.

"Halo," jawab Tiara yang handphonenya terus berdering.

"Lama amat angkat telepon gue, ngapain sih lu?" cecar Raza.

"Wedeh, lu ngomelin gue. Terserah gue keleus mau gue angkat atau engga," serang Tiara.

"Wah, parah lu. Jangan gitu dong. Lu nggak kangen sama gue?"

Pertanyaan dari Raza membuat Tiara mengerutkan keningnya karena merasa aneh. Bagaimana tidak, dia yang marah tapi dia sendiri yang bilang seperti itu.

"Obat lu habis, Za?" tanya Tiara cepat.

Bagi Tiara dan Raza bercanda seperti itu sudah biasa. Tiara bercerita pada Raza tentang rencananya kuliah di kaur negeri, kali ini Tiara terkejut karena mendapat jawaban yang tidak biasa didengarnya.

"Jadi lu gak mau kuliah bareng gue? Bukannya kita udah janji untuk selalu bersama satu gedung," keluh Tiara.

"Lu nuntut gue buat satu gedung, tapi gue minta satu hati lu gak mau," serang Raza.

"Apaan sih, Za. Nggak gitu juga konsepnya. Masa belajar disamain sama hal kayak gitu. Gak jelas," balas Tiara.

Akhirnya Tiara dan Raza berdebat lagi, baru saja berbaikan sudah memulai perdebatan lewat telepon.

"Gue tau alasan lu ngajak kuliah di luar negeri?" selidik Raza.

"APA?" tanya Tiara meninggikan suaranya.

"Pasti diajak sama kak Zaidan, kan? Ngaku lu!"

Skak. Bagaimana Raza mengetahui alasan tersembunyinya Tiara.

"Sembarangan lu. Mana ada kaya gitu. Ya nggak lah. Aje gile, ngapain gue ngikutin dia," jawab Tiara mengelak.

"Udah dulu ya, gue mau tidur. Ngantuk."

Tut.. Tut.. Tut..

Raza memutuskan sambungan telepon sepihak. Tiara merasa kesal karena Raza menutup teleponnya tanpa menjawab pertanyaan dari mana dia mengetahui hal tersebut.

_____

Cahaya mentari masuk lewat celah-celah jendela, sang pemilik kamar masih setia dengan tidurnya. Suara khas tawar-menawar para ibu dengan kang sayur terdengar di luar, hingga suara tawa anak kecil bercanda yang menemani ibunya masing-masing berbelanja.

Telinga Tiara dapat mendengar itu semua, tapi dia enggan untuk membuka kedua matanya. Baginya posisi saat ini adalah favoritnya, bermalas-malasan diatas ranjang hingga siang karena ini hari minggu. Terlebih Sartika mengerti dengan kebiasaan putrinya dan membiarkan hal itu.

Ddrrtt.. ddrrtt.. ddrrtt..

Handphone yang sedari tadi bergetar pun diabaikannya.

"Siapa sih, pagi-pagi udah gangguin tidur gue," kata Tiara masih dengan mata terpejam.

Tangannya meraih handphone yang diletakkan diatas nakas, dengan nalurinya menggeser tombol yang ada di tengah layarnya.

"Halo," jawab Tiara dengan malas.

"Assalamualaikum, sepertinya saya mengganggu tidur kamu ya," bals seseorang dari seberang sana.

Mata Tiara langsung membulat sempurna mendengar suara yang sedang meneleponnya.