webnovel

Boneka Pertama

Tiara yang mempunyai jiwa narsis langsung memotret dirinya sendiri jika ada pemandangan yang menurutnya patut untuk di abadikan dalam bingkai kamera handphonenya. Melihat Zaidan yang tersenyum membuat Tiara menghentikan aksi memotretnya.

"Kok berhenti?"

"Maaf, Akak. Aku lupa diri," ucap Tiara malu-malu.

"Lupa diri bagaimana maksudnya?" tanya Zaidan lagi, "nggak apa-apa lanjut aja, Dek."

Tiara terkekeh dan memasukan kembali handphonenya.

Zaidan mengeluarkan handphonenya. "Ya sudah kalau begitu, kita ambil gambar bersama."

"Ehh?" Tiara bingung mendengar kalimat Zaidan.

Zaidan segera mengarahkan posisi handphonenya untuk bisa mengambil gambar berdua dengan Tiara yang terhalang oleh meja makan.

"Sudah siap?" tanya Zaidan.

Tiara berdeham dan menata rambutnya serta menetralkan wajahnya agar foto dirinya sesuai ekspetasi. Beberapa jepretan di abadikan oleh handphone Zaidan. Pesanan makanan pun datang.

"Waw, mienya penuh, ayamnya juga banyak," ucap Tiara melihat isi mangkoknya.

"Jangan lupa berdoa," pesan Zaidan.

Tiara pun terkekeh lalu berdoa dan mulai menyantap mie ayamnya. Rasa enak menyentuh indra perasa Tiara hingga membuatnya mengeluarkan kata-kata enak dan kagum akan rasanya.

"Alhamdulillah," sela Zaidan.

"Ehh? Oh, iya. Alhamdulillah," balas Tiara malu-malu.

"Habiskan ya, jangan sampai ada sisa," pesan Zaidan.

Tiara mengangguk dan melanjutkan makanannya. Tiara dan Zaidan makan dengan damai karena tidak ada yang saling berbicara itu salah satu adab menghormati makanan. Setelah selesai Zaidan dan Tiara pun berdoa dalam hati masing-masing.

"Bagaimana enak?" tanya Zaidan.

Tiara menghabiskan es jeruknya dan menjawab mie ayamnya enak sampai tidak tersisa sedikitpun.

"Kamu mau temenin akak?" tanya Zaidan.

"Temenin? Kemana?"

"Ke toko buku, akak sedang mencari buku panduan untuk kuliah nanti sekalian mau beli buku mengajar juga. Di suruh sama ustadz Rio di pesantren," jelas Zaidan.

Tiara mengangguk dan menyanggupi untuk menemani, sebelumnya Zaidan berkata untuk Tiara meminta izin terlebih dahulu dengan mamanya.

"Iya, Ma. Nanti kalau aku lihat sekalian dibeli," jawab Tiara lewat telepon.

Sambungan telepon pun terputus.

"Mama kamu nitip sesuatu?" tanya Zaidan.

"Iya, mama minta di belikan buku masak, dia mau belajar bikin kue-kue gitu," jawab Tiara.

"Ya sudah yuk, kita jalan."

Zaidan memakirkan mobilnya di parkiran mobil, tanpa menunda waktu keduanya masuk ke dalam mall dengan jalan berdampingan dan berjarak.

"Akak ke rak yang itu ya, kamu mau cari buku masakan ada di rak ujung sana," kata Zaidan.

"Iya, Kak." Tiara pun melangkah menuju rak yang di tunjuk oleh Zaidan dan mencari buku masakan sesuai pesanan Sartika lewat telepon tadi. Tiara meletakan buku yang di pegangnya dan mengambil handphone di dalam tasnya karena bergetar.

"Halo, Zia," jawab Tiara.

"Lo dimana?"

"Gue lagi di toko buku, kenapa?" tanya Tiara.

"Sumpah ya si Raza rese banget. Sepanjang jalan ngomong terus, kuping gue sampai panas dengernya," keluh Zia.

Tiara pindah posisi menjadi dan berdiri di sudut untuk tidak menganggu orang yang lewat atau sekedar membaca di bagian rak tersebut.

"Emang kenapa dia?" tanya Tiara penasaran.

"Raza sampai ngomong kasar, tapi setelah itu wajahnya sedih banget. Gue jadi kasihan saka dia." Zia mulai bercerita apa yang di alaminya saat satu angkutan umum dengan Raza sepulang sekolah.

"Kenapa sih lo nggak terima Raza aja, dia ganteng, pintar juga. Gue aja sempat suka dulu," kata Zia.

"Gue harus bilang berapa kali sih, Zi. Gue bisa aja terima Raza untuk menjalin hubungan, tapi gue nggak mau. Dalam tahap hubungan itu nggak sepenuhnya mulus atau baik-baik saja, pasti ada yang namanya berantem lah, beda pendapat lah dan akhirnya keluar ego masing-masing dengan berakhir kata putus," jelas Tiara.

"Ya jangan sampai dong, belum menjalin aja lo sudah negatif thinking gitu," timpal Zia.

"Gue nggak negatif thinking, Zi. Itu sudah biasa dalam suatu hubungan dan gue nggak mau karena mengenal Raza tuh nggak sebentar," jelas Tiara lagi.

Zia menghembuskan napas panjangnya dan tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Zia pun baru menyadari kenapa Tiara berada di toko buku, detik berikutnya kalimat ledekan pun terlontar dari mulut Zia bahkan dia bertanya bagaimana kalau Tiara dan Zaidan menjalin hubungan.

"Nggak lah, Zi. Dia nggak menganut hubungan seperti itu, makanya gue bingung. Kalau gue manja atau perhatian nanti gue di sangka cewek centil atau ganjen lah, tapi dia perhatian sama gue ... jadinya gue bingung harus bersikap seperti apa ke dia." Kali ini giliran Tiara yang menghembuskan napas panjangnya.

Tiara pun tersentak saat namanya di panggil, dia langsung menoleh ke belakang dan tersenyum canggung serta mematikan sambungan telepon dengan Zia hanya dengan sekali tekan.

'Apa dia dengar perkataan gue tadi ya?' batin Tiara.

"Kamu sudah ketemu buku yang di cari?" tanya Zaidan.

"Bu-buku ... oh buku, iya, sebentar," ucap Tiara dengan terbata-bata.

Tiara kembali ke rak buku khusus buku memasak dan mencarinya, sesekali melirik ke arah Zaidan yang tengah memperhatikannya.

"Mama kamu cari buku khusus apa, biar akak bantuin cari," ucap Zaidan.

"Ini." Tiara mengambil asal buku yang di dipegangnya dan berjalan mendahului Zaidan menuju kasir.

"Biar sekalian bayarnya, Mba," ucap Zaidan pada sang kasir.

Awalnya Tiara menolak tawaran Zaidan, tapi akhirnya dia menurut bukunya dibayar satu struk dengan Zaidan. Setelah membayar dan keluar dari toko buku Zaidan bertanya pada Tiara apa ada yang di beli atau tidak. Tiara pun menggelengkan kepalanya karena pikirannya masih bertanya-tanya tentang kejadian tadi, di saat dirinya berbincang dengan Zia lewat telepon apakah Zaidan mengetahui atau bahkan mendengar semuanya.

"Ya sudah, kalau begitu kita langsung pulang saja," ajak Zaidan.

"Iya."

Saat melewati toko boneka, pandangan Tiara beralih sedetik pun pada salah satu bonek yang menarik perhatian matanya hingga dia spontan berhenti di depan rak boneka tersebut.

"Kamu suka?" tanya Zaidan yang ikut menghentikan langkahnya.

"Euh? Nggak, Kak. Sudah yuk lanjut jalannya."

Tiara pun melanjutkan langkahnya tanpa melihat Zaidan yang mengambil boneka tersebut dan membelinya. Zaidan setengah berlari untuk menyusul Tiara yang sudah berjalan jauh di depannya.

Zaidan berhasil menyamakan jalannya dan memberikan boneka tersebut. "Nih."

"Apa ini?" Mata Tiara berbinar saat melihat boneka yang tadi di lihatnya kini ada di tangannya.

"Ini, kan?" tanyanya lagi untuk memastikan.

"Buat kamu, semoga suka ya," jawab Zaidan sambil mengeluarkan senyum khas dimplenya.

Tiara sontak memeluk bonekanya hingga kegirangan dia tanpa sadar merangkul lengan Zaidan sambil mengucapkan terima kasih, detik berikutnya Tiara tersadar dengan sikapnya dan mengatakan maaf. Zaidan terkekeh dan mengelus kepala Tiara karena tingkahnya sangat lucu dimatanya.

"Maaf, Kak. Aku tidak sopan maen rangkul akak tadi," ucap Tiara sambil menundukkan kepalanya.

"Iya, nggak apa-apa kok, Dek. Itu artinya kamu memang beneran suka sama boneka ini dan akak senang kamu menerimanya."