webnovel

pukul Satu Dini Hari

Tidak seperti biasanya malam ini rasa kantuk sama sekali tidak mengunjungiku. Kedua belah mataku masih tampak segar. Di bawah guyuran hujan yang cukup deras malam itu, aku memilih untuk menghabiskan malamku di balik selimut tebal dengan lampu kamar yang telah lama kupadamkan. Tidak ada suara yang tercipta dari kamarku. Seluruhnya benar hening.

Jam dinding pun sudah menunjukkan pukul satu dini hari dan aku masih sibuk berkutat dengan sosial media yang sedari tadi tidak henti-hentinya kulihat.

Melihat bagaimana orang-orang menjalani kehidupan mereka. Menikmati kebahagiaan dan kesedihan dengan segala macam ekspresi, membuatku bertanya-tanya. Apa yang ada di dalam pikiran mereka sehingga bisa bersikap demikian ketika menghadapi segala hal yang sedang terjadi. Ada begitu banyak pilihan yang bisa mereka pilih.

Ketika isi kepalaku bertanya-tanya tentang hal yang tidak mungkin kudapati jawabannya, tiba-tiba saja suara nyaring muncul dari dalam perutku. Benar, aku memang belum sempat mengisi perutku sejak siang tadi.

Rutinitas yang kujalani sejak pagi benar-benar menyita hampir seluruh tenaga dan pikirannya. Tentang para rekan kerja yang benar-benar toxic dan sama sekali tidak menghargai privasiku, membuatku jengah berada di lingkungan yang demikian. 

Dengan berat hati aku harus beranjak dari tempat ternyamanku saat ini. Aku sibakkan selimut yang menutupi seluruh tubuhku, dari ujung kepala hingga kaki seluruhnya tertutup oleh selimut tebal.

Kepala terasa berputar selama sepersekian detik. Maklumlah, berjam-jam sudah kuhabiskan dengan berbaring dan menatap layar ponsel. Berkali-kali kumengerjapkan mata dengan keras untuk menyesuaikan pandanganku dengan keadaan kamar yang gelap. Kuikat pula rambutku agar tidak menghalangi jalan pandangku yang sedikit kabut akibat tidak mengenakan kacamata.

Di balik hoddie yang terlampau besar dari tubuhku, kusembunyikan kedua tanganku. Aku lantas berjalan perlahan menuju dapur untuk memeriksa adakah sesuatu yang sekiranya bisa meredakan bunyi-bunyi menyebalkan dari balik perutnya.

Rupanya suasana ruangan di luar kamarku pun tak jauh berbeda. Hampir seluruhnya gelap gulita. Hanya sedikit cahaya dari lampu jalan yang menerobos masuk ke dalam celah jendela rumahku.

Perlahan kususuri sisi rumah tanpa ada sedikit pun minat untuk membuat ruangan yang kulalui terang benderang. Biarlah seluruhnya seperti saat ini. Toh kedua mataku sudah terbiasa dengan suasana temaram seperti saat ini.

Suasana temaram seperti ini benar-benar jarang terjadi di rumahku. Mau bagaimana pun keadaannya, ibuku tidak akan membiarkan rumahku menjadi gelap gulita seperti ini. Tidak mungkin pula jika ini mati lampu, karena sudah kupastikan lampu teras masihlah terang benderang.

Aneh memang, tapi aku tidak memiliki ketertarikan untuk memikirkan hal ini. Biarlah otakku ini beranggapan jika ibuku sedang ingin berhemat untuk biaya listrik yang mungkin saja membengkak secara tiba-tiba.

Jalanku yang sedari awal terseok-seok tiba-tiba saja mematung. Kedua telingaku bahkan menjadi awas mendengar suara samar yang tiba-tiba saja terdengar olehku. Suara pekikan kecil yang sesekali tertahan  begitu mudah dikenali olehku. Hanya saja, siapa gerangan pemilik suara ini tidak bisa kusimpulkan dengan cepat.

Seketika itu, pendengaran dan mataku menjadi awas. Tidak mungkin jika suara itu berasal dari luar rumahku, jarak antar rumah yang cukup jauh tidak memungkinkan untuk suara itu sampai terdengar oleh kedua telingaku.

Kakiku melangkah dengan gamang. Takut jika ada seseorang yang membahayakan dan mengancam keselamatan nyawanya. Rahangku menegang, suara degup jantungku pun terdengar dengan jelas. Pikiranku menerka-nerka apa yang akan ia lihat nantinya.

Mataku membulat rasanya begitu sempurna hingga bola mataku hendak melompat keluar. Bayangan hitam kulihat bergerak-gerak di lantai bawah. Jelas sekali bayangan itu milik dua orang yang berlainan. Tapi apa yang sedang mereka lakukan sama sekali tidak sanggup untuk kusimpulkan.

Aku tidak ingin menduga-duga apa yang ada di balik tembok tempatku berdiri saat ini. Terlalu takut aku menduga atau sedakar membenarkan apa yang ada di dalam kepalaku. Dan suara itu, semakin jelas kudengar meski berulang kali suara itu tertahan.

Salah satu suara itu milik ibuku. Bagaimanapun ekspresinya aku cukup mengenali jika suara itu milik ibuku. Tapi suara yang satunya tidak pernah kudengar sebelum ini. Siapa pemiliknya aku pun tidak tahu.

Kupejamkan kedua mataku dengan keras guna meyakinkan hatiku. Aku bulatkan tekadku. Tanganku meraba-raba dinding yang ada di sampingku. Tubuhku dengan keras kudorong untuk melangkah tepat ke arah pintu dapur. Satu-satunya ruangan yang terang benderang dari seluruh ruangan.

Apa yang kini ada di hadapannya benar-benar membuat tubuhku bergetar. Mataku terpaku melihat dua buah objek yang saling berhubungann. Darahku terasa seperti tidak lagi mengalir di dalam tubuhku.

Tidak ada yang bisa kulakukan. Hanya diam memandangi, berusaha mencerna apa yang sedang bergerak-gerak di depan mataku. Tapi belum lagi otakku merespon dengan baik, tiba-tiba saja air mata mengalir dari kedua bola mataku.

Aku kenal salah seorang yang ada di hadapanku saat ini. Dia ibuku. Suara yang tadi kudengar sudah pasti itu milik ibuku. Tapi siapa lelaki yang ada di dekat ibuku dan apa yang sedang mereka berdua lakukan.

Keberadaanku segera disadari oleh keduanya. Mereka menatapku dengan penuh keterkejutan. Mata mereka bergerak-gerak tak tentu ketika melihat tubuhku berdiri tegak di depan mereka.

Pakaian ibuku yang tidak lagi rapi. Celana pria itu juga tidak lagi pada tempatnya benar-benar membuat tubuhku lemas seketika. Mereka berdua begitu tergesa-gesa merapikan pakaian dan rambut mereka yang tak lagi beraturan.

Tanpa kuduga, ibuku sudah berada tepat di depan wajahku. Ia mengguncang-guncang tubuhku dengan kuat berusaha menarikku kembali pada kenyataan yang ada di hadapanku.

"Nay?" panggil ibuku dengan lirih

Kualihkan pandanganku dengan perlahan ke arah ibuku. Tampak sekali kecemasan dari wajahnya yang tidak lagi muda. 

"Nay, Mama bisa jelasin semua"

Aku tidak menggubris apa yang baru saja dikatakan ibu. Kualihkan pandanganku kepada lelaki yang tubuhnya terhalangi oleh tubuh ibuku yang sedikit tambun.

"Lu berdua ngapain?" tanyaku

Dari bagaimana caraku bertanya, sudah jelas sekali ada begitu banyak kemarahan di dalamnya. Melihat bagaimana pria itu bersikap bernar-benar membuatku muak dan jijik kepadanya.

"Nay, Mama… Mama bisa jelasin. Yang kamu lihat gak gitu, Sayang."

"Sayang?" lirikan mataku segera tertuju kepada ibuku yang membuatku ingin muntah mendengar kata-katanya.

"Sejak kapan, Lu manggil gua Sayang? hah?"

"Nay?"

"Lu kalau mau ngelakuin hal begituan di luar! gak usah Lu pake rumah bapak gua!"

Aku berteriak sekuat tenaga. berusaha meluapkan kemarahanku kepada mereka berdua. Ibuku tentulah tersentak mendengar apa yang baru saja kukatakan. Sepertinya ia sama sekali tidak menyangka jika aku mampu berteriak sedemikian kuat di hadapannya.

Sementara itu, lelaki yang tidak kukenal dari mana asalnya, bersikap seolah dirinya seorang yang tampak gagah. Ia benahi pakaiannya yang sudah tampak rapi. Melihat hal itu tentulah aku mendengus kesal.

Dengan gagahnya ia berusaha berjalan melewatiku. Aku tahu jika ia akan meninggalkan ibuku dan sama sekali tidak ingin mempertanggungjawabkan apa yang baru saja dilakukannya.

"Mau kemana Lu?" kataku, beberapa saat setelah ia melewati tubuhku yang berdiri tepat diambang pintu.

Lelaki itu pun seketika terdiam.

"Mau pergi? Kalau lu mau cabut bawa nyokap gua"

"Naya!" teriak ibuku

"Apa? Lu berdua udah ngelakuin hal yang paling menjijikan buat gua. Di rumah bapak gua pula. Lu mikir gak? sepengen itu lu ngelakuin hal begituan? Kalau iya kenapa gak di luar rumah. Sewa kama hotel. Gak punya modal Lu pada?"

Aku benar-benar sudah kehilangan kesabaranku. Tubuhku bahkan bergetar semakin hebat dari sebelumnya.

"Nay, Mama minta maaf."

"Basi. Lu ketahuan minta maaf. Kalau gua gak tahu pasti lu gak akan minta maaf kan?"

"Jaga omonganmu sama ibumu?" tukas lelaki yang kini menatapku dengan tajam.

Kualihkan pandanganku padanya. Tidak ingin kubiarkan ia membela diri, atau bahkan membela ibuku. Bagiku mereka berdua sama-sama bersalah dan sudah melakukan tindakan paling menjijikan.

"Lu mau bela nyokap gua? gak sadar apa yang udah Lu lakuin di rumah gua?"

"Gak malu? tua-tua kaya lu pada ngelakuin hal kaya gini? Lu sadar gak suara lu kedenger kemana-mana?" lanjutku.

Melihat mereka berdua membuatku sangat muak. Ingin rasanya kuluapkan seluruh amarahku pada mereka yang sama sekali tidak memiliki hati.

Ibuku berusaha untuk menenangkan diriku. Ia berusaha untuk memeluk tubuhku yang belum reda getarannya. Menyadari hal itu segera kutepis kedua belah tangannya yang tinggal beberapa inchi lagi menyentuh tubuhku.

"Gak usah Lu peluk-peluk gua! Lu tahu gak gua udah bener-bener muak sama Lu? selama ini gua tahan amarah gua karena gua masih ingat kalau Lu ibu gua. Orangtua gua satu-satunya. Tapi setelah ini, apa? gak ada yang bisa gua harapin lagi dari Lu. Lu udah ancurin semua kepercayaan gua, rasa hormat gua ke Lu"

"Naya, Mama…"

"Lu punya apa lagi dari gua? Lu udah gak punya apa-apa. Rasa hormat gua aja ke Lu udah gak ada. Lu ngarepin apa lagi dari gua?"

Tidak kusangka, kata-kataku benar-benar melukai ibuku. Air matanya mengalir dengan begitu deras. Aku tidak menyangka jika kata-kataku begitu kejam melukai hati wanita yang telah berderai air mata.

Tubuhnya pun tidak kalah gemetar dari tubuhku. Ibuku menutupi wajahnya yang sudah memerah. Entah apa yang sedang dirasakannya. Apakah itu perasaan malu, penyesalan, atau bahkan kemarahannya padaku. Aku sama tidak bisa menyimpulkan apapun.

Di tengah tatapanku yang mulai mengiba melihat kondisi ibuku. Tiba-tiba saja sebuah tangan bergerak menjalari tubuh ibuku. Sontak saja membuatku menatap dengan penuh kemarahan dan memunculkan perasaan jijik yang tiada terkira di dalam hatiku.

Apa yang akan dilakukan oleh pria dengan kepala pelontos ini.

Mataku membulat. Tubuhku kembali bergetar hebat. Kali ini aku sudah tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan tanganku meraih sebuah vas kaya yang berada tepat di samping tubuhku.

Vas kaca tersebut segera melayang tepat mengenai lengan pria pelontos yang seketika itu pula mengeluarkan darah segar.

Pekik kesakitan pun muncul dari mulutnya. Ibuku yang sontak khawatir segera menatap ke arah pria yang berdiri tepat di sampingnya. Pemandangan yang membuatku semakin kesetanan saja. 

Sekencang mungkin kuteriak kepada mereka berdua. Hatiku sudah benar-benar kalut. Tidak lagi tahu apa yang sedang dilakukan oleh tubuhku. Kali ini aku benar-benar kehilangan kendali atasnya.