webnovel

Aira Yuma Hartanto

Siang ini, hari terakhir di Bali, dihabiskan dengan pertarungan terakhir antara Reres dan Saga. Lenguhan dari Saga terdengar, kemudian CEO Candramawa itu rebah di atas tubuh sahabatnya yang kini memejamkan mata dengan napas tak beraturan. Selama di Bali, Saga mengatur dengan baik jadwal keduanya. Sehari mereka saling adu ranjang, sehari mereka habiskan dengan istirahat atau jalan-jalan.

Malam nanti keduanya akan pulang dan ini akan jadi hari terakhir mereka di Bali. Dalam seminggu ini Reres bahkan telah menjadi pro karena didikan Saga dan teori yang mereka lihat dari video di ponsel Saga. Entah berapa banyak video yang ia simpan, bahkan video dirinya sendiri bersama Vinny, Lauren, Sarah, dan banyak lagi.

Saga kemudian bergerak ke samping Reres, ia memeluk gadis itu. "Kalau gue pingin lagi, gimana?"

Reres melirik kesal. "Ini udah dua kali, ya, Ga?!"

"Nanti kalau kita balik maksudnya."

"Enggak!"

"Hm, oke. Dalam dua bulan ini lo harus cek berkala, kalau enggak sukses kita ke Bunaken atau lo boleh pilih mau ke mana pun buat kita bulan madu." Saga kemudian tengkurap, menatap Reres yang mulai lelap. "Jangan tidur. Mandi dulu sana, kita mau balik."

"Sebentar, lima belas menit. Kan, kita balik malam."

"Ternyata main sama cewek gemuk enak juga."

Reres refleks mencubit bibir Saga. "Diam ya mulut Anda."

"Sebagai penutup, kiss me. Anggap aja ini sebagai rasa terima kasih lo buat gue. Jadi, lo yang cium gue." Saga meminta, ia kemudian memejamkan mata.

Gadis itu menatap ragu, tapi setidaknya ucapan terima kasih ini cukup mudah. Reres lalu bergerak memegang wajah Saga dan perlahan mencium bibir si pucat. Saga menuntut, membawa Reres dalam ciuman yang lebih dalam. Jauh dalam hati, ia ingin mengetahui apa ada cinta di hatinya untuk Reres. Setelahnya, Saga melepaskan tautan di antara mereka. Saga tersenyum singkat, rasanya tak ada perasaan lebih selain sahabat untuk Reres. Ya, karena jelas Reres bukan kriterianya.

***

Kembali ke rutinitas seperti biasa, kini Reres sedang berjalan menuju kantin, membeli beberapa kudapan juga minuman untuk Saga. Semua ia pilih sendiri sesuai dengan kesukaan atasannya itu. Setelahnya, ia kembali ke ruangan atasannya yang kini masih sibuk menatap laptop miliknya, memikirkan rencana kerja untuk pengembangan perusahaan.

Setelah kembali dari Bali dua hari yang lalu, semua kembali seperti biasa. Tak ada yang berubah dari keduanya hingga tak ada yang mencurigakan dan membuat sekeliling bertanya penasaran. Reres kemudian berjalan ke belakang sang atasan, mencopot beberapa note yang sengaja ditempel oleh Saga untuk mengingat rapat kerja atau kegiatan lain. Gadis itu kemudian membuang ke tempat sampah, karena ia tak membungkukkan tubuh membuat beberapa note berjatuhan. Saga dengan sigap mengambil tanpa mengatakan apa pun, membuang ke dalam tong sampah, lalu kembali menatap laptop miliknya, membaca perencanaan yang ia buat tahun lalu.

"Saya keluar, ya, Pak?" pertanyaan sopan terlontar. Ini jam kerja dan memang hal itu yang selalu Reres lakukan ketika mereka berada di jam kerja, dimulai jam 7 pagi sampai dengan jam 5 sore.

Saga menghela napas, lalu mengangguk sambil menggerakkan tangannya ke arah pintu. Belum sempat Reres melangkah, pintu diketuk membuat langkah Reres terhenti.

"Masuk." Saga mempersilakan.

Pintu terbuka, menunjukkan sosok Nindi dan seorang gadis cantik dengan postur tubuh mungil, wajah tirus, tatapan mata sendu, rambut panjang bergelombang, lalu bibir kecilnya dipoles dengan lip gloss berwarna peach. Nindi adalah ibu dari Saga, di usianya yang kini hampir 60 tahun, tubuhnya masih begitu tegap karena sampai saat ini beliau masih mengikuti senam dan yoga.

Reres membungkuk ketika kedua wanita itu masuk. Reres sekilas menatap gadis cantik itu dan ia ingat bahwa itu adalah Aira, anak dari salah satu rekanan perusahaan. Saga tak ingin menjadikan Aira kekasihnya karena dia merupakan gadis baik-baik, sementara seperti apa yang Saga katakan ia tak ingin merusak gadis baik-baik.

"Kamu masih mau berdiri di sana?" tanya Nindi pada Reres yang artinya si tambun itu harus menyingkir.

"Permisi." Reres kemudian berjalan keluar seperti rencananya tadi.

Nindi duduk di sofa, diikuti Aira yang duduk di sebelahnya. Setelahnya Saga mengikuti dan duduk di sofa lain yang berada di sisi kiri. Ia menatap tanpa senyum, urusan pengembangan perusahaan membuat kepalanya sakit karena hari ini ia sama sekali tak memiliki ide. Mungkin nanti ia akan meminta Haris menemaninya untuk mencari solusi. Aira melirik pria di sampingnya yang kini terlihat dingin dan cuek itu.

"Ngapain mami ke sini?" Saga buka suara, mengakhiri hening di antara ketiganya.

"Mami mau ngenalin kamu sama Aira," ucap Nindi, terlihat senang sekali dengan hal yang ingin ia lakukan.

Saga melirik, sama dengan Aira yang menatapnya. Aira mengangguk dan Saga malah mengalihkan tatapannya, menatap sang mami. "Udah kenal kok, ini Aira anak Pak Hartanto 'kan?"

"Oh, sudah kenal toh kalian?" tanya Nindi, diikuti anggukan Aira dan Saga. "Ini Aira penasaran sama resort kita yang di pulau seribu itu. Kan, kemarin kamu bilang mau diubah konsep?"

"Iya. Terus?" Saga bertanya ketus.

"Gini, Mas Saga. Kebetulan aku baru banget masuk ke bidang desain interior, dan kemarin kebetulan ketemu tante Nindi yang nawarin aku untuk coba tanya siapa tahu Mas Saga butuh jasa kami."

Saga melirik sang mami, jelas tujuan utamanya bukan ini. Saga kenal betul Nindi, ini adalah upaya untuk mendekatkan ia dengan Aira. Saga tak berminat pada gadis baik-baik dan Aira masuk dalam kategori itu, kategori gadis yang tak ia minati.

"Baru? Belum ada results berarti? Saya enggak berani main-main. Apalagi ini yang dipegang resort kesukaan saya. Kamu bisa mulai dari apartemen atau resto deh. Saya bisa kasih kamu infonya nanti ..." Saga terhenti, lalu menatap sang mami. "Lewat mami saya."

"Ga, kamu jangan gitu dong. Kasih kesempatan buat Aira. Dia itu kompeten banget lho, dia ini lulusan arsitektur kuliah di luar negeri." Nindi buka suara, kesal karena sikap dingin dan ketus anak semata wayangnya.

"Mau lulusan lokal atau international, semua harus memulai dari awal. Harus ada results supaya terlihat dia punya kredibilitas atau enggak. Jangan mengandalkan orang dalam. Saya yakin Aira juga paham itu. Ya, kan, Aira?" tanya Saga, lalu melirik ke arah gadis yang kini menundukkan kepalanya.

Aira sedikit mendongakkan wajah, menatap Saga dengan takut-takut. "Iya, aku ngerti."

Nindi melirik, lalu menginjak kaki Saga yang seolah tak mengetahui apa yang dilakukan sang mami. Tentu saja sang ibu jadi kesal karena kelakuan anak laki-lakinya itu membuat Aira jadi nyaris menangis karena kata-kata tajamnya barusan.

"Aira, saya bukan meremehkan. Ini justru masukan buat kamu. Semua mulai dari hal kecil saya bisa carikan kamu rekanan, tapi bukan di Candramawa." Saga menegaskan itu.

Setelah pembicaraan yang tak membuahkan hasil, Aira kembali terlebih dahulu. Ia mengatakan ada urusan lain. Namun, Nindi jelas mengerti Aira sakit hati dengan apa yang dikatakan Saga tadi. Nindi masih berada di ruangan, menatap anak laki-lakinya yang tengah membaca beberapa laporan.

"Kamu kok judes gitu sih?"

"Ya, terus aku harus gimana, Mi?" tanya Saga tanpa mengalihkan perhatian dan tetap fokus pada laporan di hadapannya.

"Apa salahnya sih kamu bikin Aira buat bantu kamu? Bisa aja kamu minta Aira memberi warna baru untuk resort itu."

Saga masih membuka lembar demi lembar laporan, membiarkan sang mami mengoceh sejak tadi. "Hm, niat Mami sebenarnya apa?"

Nindi kemudian berjalan mendekat, ia duduk di kursi yang berada di seberang meja Saga, keduanya kini duduk berhadapan. "Mami mau jodohin kamu sama Aira."

Saga melirik Nindi, lalu berdecak kesal. "Ngapain sih, Mi? Dia itu bukan tipe aku."

"Tipe kamu siapa? Lauren? Vinny? Sarah? Mereka itu udah ketahuan enggak bener, suka dugem, kelakuan mereka itu udah jadi rahasia umum. Mami mau kamu menikahi perempuan baik-baik. Dari semua anak pengusaha yang dekat dengan Candramawa, yang memenuhi kriteria itu hanya Aira." Nindi menjelaskan panjang dan lebar.

Saga sebenarnya malas sekali ketika membahas masalah seperti ini, apalagi tentang perjodohan. Ia merasa kegiatannya bisa terganggu karena hal yang diinginkan sang ibu. Menurutnya, ini bukan zamannya lagi dijodohkan, semua orang berhak menentukan jodoh mereka sendiri.

"Mami enggak bisa judge orang kalau enggak kenal sama mereka. Vinny, Lauren, mereka cantik dan baik. Mami belum kenal aja sama keduanya," sergah Saga lagi

"Dengan Mami bicara begitu, Mami jelas udah menuduh tanpa mengenal Vinny dan Lauren."

Nindi menghela napas, kesal juga jika ia harus adu mulut dengan Saga. Sejak dulu Saga keras kepala, adu mulut tak akan membuahkan hasil yang menyenangkan selain rasa kesal dan emosi yang memuncak. Maka Nindi kini memilih diam, menatap putra semata wayangnya yang sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Terserah kamu mau pacaran sama siapa, tapi kami harus menikah dengan Aira. Karena Mami ada rencana kerja sama dengan perusahaan ayahnya Aira."

Saga melirik sambil membuka laporan miliknya. "Kalau Mami ada kerja sama dengan perusahaan lain, nanti Saga cerai sama Aira terus nikah lagi sama anak dari pemilik perusahaan lain, begitu?"

"Ga, bisa enggak sih kamu jangan bikin Mami kesel?"

Saga terkekeh melihat Nindi yang sudah naik pitam. "Saga cuma tanya, Mi. Kenapa Mami marah sih?"

"Kamu itu bener-bener, ya, buat Mami sebel terus. Lagian oma juga udah setuju banget sama Aira. Lusa, Mami undang keluarga Aira makan malam dan kamu harus persiapkan diri."

"Hm, Mami atur aja." Saga menyerah, keduanya sama-sama keras kepala dan Saga mulai jengah dengan desakan sang mami.

Sementara Saga dan ibunya bertengkar di dalam ruangan, Reres merebahkan kepala di meja kerja Haris yang tepat berada di sampingnya. Haris sesekali melirik sambil membuat jadwal kerja yang sempat kacau karena liburan dadakan yang dilakukan sang atasan.

"Res, kamu sakit?" Haris bertanya membuat Reres menoleh.

"Aku ngantuk, Mas," jawab Reres yang kini menatap Haris masih sambil merebahkan kepala ke lipatan tangannya.

"Kemarin di Bali kecapekan? Kurang tidur?" tanya Haris yang jelas terlihat cemas hingga membuat kedua sudut alisnya bertaut.

Reres mengangguk. "Capek, kurang tidur juga. Nano-nano, Mas."

Haris menghentikan kegiatannya, memutar kursi dan kini menatap Reres, lalu sentuh kening gadis itu. "Demam kamu. Emang kemarin di sana Pak Saga ngapain?"

Reres terdiam sejenak, ia tak mungkin mengatakan apa yang Saga dan dirinya lakukan saat mereka sedang berada di Bali. "Ya, begitu. Dengan kegiatannya. Hehehe."

"Dia sibuk sama perempuan?" Pria itu bertanya dengan setengah berbisik, takut jika sang atasan tiba-tiba keluar dari ruangan.

Tentu saja jawabannya adalah 'iya' dan perempuan itu tidak lain dan tidak bukan adalah dirinya sendiri. Lalu bagaimana ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan Haris yang bisa saja membuat apa ia lakukan dengan Saga terbongkar akibat dirinya yang sering menjawab sembarangan.

"Mas, aku tidur lima menit, ya?" pinta Reres, coba alihkan pembicaraan.

"Iya, tidur aja kamu," jawab Haris sambil menatap dan tersenyum.

Selama ini Haris banyak beri perhatian pada Reres. Sayangnya Reres tak mengerti jika pria itu menaruh hati. Gadis tambun itu kekeh pada pikirannya bahwa ia tak sempurna, tubuhnya gemuk, dan ia tak cantik. Karena semua hal itu, tak ada yang menyukainya. Namun, Reres salah. Ada seseorang yang diam-diam jatuh hati tanpa ia sadari.