webnovel

Melangkah Bersama Saya

"Jangan bilang ...."

Lentera mengangguk mengiyakan. Tak perlu dilanjutkan, Lentera sudah tahu apa yang ingin dikeluarkan oleh dua wajah terperangah itu. "Untuk seseorang yang baru saja menolak suruhan kalian berdua, aneh, kan?"

Diam membisu. Jawabannya adalah iya.

Wanita itu terkekeh miris. Seharusnya ia sudah tidak perlu memakai tongkat jalan itu, kalau saja ia lebih berani.

Ia takut sakit. Takut merasakan sakit. Itu dia alasannya belum berani menggerakkan kakinya banyak-banyak. "Tongkat jalannya lagi, tolong."

Devan menyerahkannya tanpa banyak tanya. Membantu Lentera pula untuk mengapitnya seperti semula. "Sudah oke?"

Anggukannya kilat dan cepat. "Sudah, terima kasih. Di sini panas, apa nggak bisa pindah ke tempat lain?"

Devan dan Nanda bertatapan sekilas. Lalu, jawaban dihantarkan dari Nanda duluan. "Saya nggak pindah. Kalian berdua aja. Saya masih mau lanjut."

"Dev?" Lentera langsung mengalihkannya pada Devan lagi. Karena memang sedari awal, kalau memang sudah dirahasiakan berdua, kelanjutannya akan terus begitu. Malah, kalau Nanda bilang tiba-tiba ikut, mungkin lebih baik semuanya dirahasiakan sampai akhir. "Atau kalian berdua masih mau di sini?"

Sejenak Devan menimbang-nimbang. Diikuti dengan helaan napas pasrahnya, juga kaus oblongnya yang ditarik dari gantungan pakaian. "Oke. Saya kebetulan juga mau makan siang. Nan, kalau udah selesai gabung aja, ya?"

Nanda mengacungkan jarinya tanda ia setuju akan usulan itu. "Oke, Len, Dev."

Setelahnya, keberanjakan dua orang itu diiringi bulir-bulir peluru yang menembus papan kertas itu. Cicit-cicit pelan juga menghiasi jejak kaki keduanya sampai lenyap di balik pintu.

Setelahnya, Nanda menurunkan tangannya dengan senapan bekas Lentera yang pelurunya sudah habis. Pria itu mengembus napasnya singkat, kemudian mengacak rambutnya. "Heh!"

***

"Jadi mau di mana?"

"Di mana pun asal jangan di kamar." Satu kali tongkat jalan itu dimajukan, satu lagi langkahnya dimajukan. Pergerakan berkesinambungan yang tak akan bisa menghapus keringatnya ini. Tidak perlu berolahraga saja, ia sudah berkeringat mengangkat bobot tubuhnya sendiri. "Saya serius, lain kali kalian harus beli kursi roda."

"Itu idenya Nanda," sahut Devan tersenyum tipis. Kala Lentera ingin berbelok, Devan menahannya untuk meneruskan langkahnya ke jajaran anak tangga menantang. "Bisa naik, kan?"

"Jangan bercanda!" sentak Lentera gemas.

"Saya nggak bercanda." Devan mengulurkan tangannya, bersikap manis yang tidak pada tempatnya. "Sudah, lepas saja. Pakai tongkat itu susah. Kamu harus belajar berjalan."

"Kan sakit," gumam Lentera memelas. Masih tak rela kakinya yang tertembak kemarin digerakkan lagi. Akan lebih baik ketiaknya yang menderita ketimbang perihnya itu terbayang lagi. "Di tempat lain saja nggak bisa?"

"Di kamar kamu?"

"Nggak!" tolak Lentera mentah-mentah. "Udah muak. Ruang kerja kamu memangnya kenapa? Nggak bisa di situ aja?"

"Nggak bisa. Ada urusan penting yang nggak boleh orang selain saya masuki," lanjut Devan menyungging tipis. Tipis sekali kalau tak dilihat dengan teliti. "Ayo, saya bantu. Jangan takut jatuh atau sakit. Cepat atau lambat kamu harus terbiasa."

"Tapi-"

"Motorik kamu terganggu, Len. Saya serius tentang itu." Devan lagi-lagi menagih tangan Lentera. Mendesaknya berapa kalipun Lentera menolak. Persis seperti yang ia lakukan dengan senapan, tapi ternyata potensi Lentera jauh melampaui bayangan mereka. "Ayo."

Sekali Lentera luluh pada bujukan Devan, ia tak akan mampu bangkit dari mautnya sendiri. Jadilah Lentera menepikan kedua tongkat itu dengan perasaan bergemuruh.

Sakit. Sudah pasti sakit. Dan begitu ia mengayunkan kakinya yang terluka, ia harus menahan erangannya agar tak memantul ke sekujur rumah, dan itu sangat memalukan sekali.

"Tidak apa-apa," bisik Devan begitu perlahan, seakan memberi semangat baru untuk Lentera. "Jangan takut. Semakin banyak yang kamu pikirkan, kamu akan semakin takut. Lepaskan pikiran itu, melangkah bersama saya."

Lentera mengembuskan tersendatnya. Kaki lainnya maju, kini diikuti dengan kaki terlukanya yang diseret maju.

Menyakitkan, masih. Tapi tidak seburuk di awal. Sakitnya masih membuatnya mengernyit, tapi tak menjadikan degup jantungnya menggila.

Hey, sepertinya bujukan itu berhasil.

"Sudah saya bilang, kan?" Devan kali ini tidak tanggung-tanggung menyerahkan kebanggaan di hatinya. "Lagi, Len. Kalau nggak kita nggak makan-makan."

"Kita makan di atas?" tanya Lentera antusias, tapi kemudian rasa sakit menghentikan keantusiasannya sejenak. "Di atas ada apa?"

"Karena kamu belum tahu isi rumah ini, anggap sebagai kejutan," jawab Devan sekilas. Hati-hati menuntun kaki lemah itu kalau-kalau tidak kuat menopang dirinya. "Lanjut lagi, jangan berhenti."

Keduanya terus mengulangi aktivitas yang sama, disertai bincang-bincang kecil yang terus dimulai dari Devan. Tidak seperti biasanya pria itu bisa menjadi begitu cerewet. Tapi setelah sampai di atas, semua itu terbayarkan.

Udara menyapu kulit berkeringat mereka. Semua usaha mereka terbayarkan sempurna.

Jendela sebesar tiga meter ke atas menghiasi bagian depan lantai dua. Cahaya-cahaya terang menembus kaca transparan. Langsung saja Lentera bisa melihat awan-awan mengambang berlatar langit biru yang indah.

Apa siang hari pernah terasa sebegini menariknya?

"Berarti pilihan saya membawa kamu ke sini nggak salah, kan?" Devan bisa langsung menebak dari binar-binar terang mata Lentera. Indah, sama seperti pemandangan di luar. "Kalau kamu nggak berniat makan sambil berdiri, kita keluar ke sana, Len."

"Hah?" Lentera tergugu sekian detik. Pelupuknya berkedip menyesuaikan cahaya. "Keluar jendela?"

Devan sanggup mengeluarkan cengiran spesialnya. "Kamu bukan burung dan saya juga bukan. Kamu mau lompat?"

"Habis itu, kan ...."

"Bukan ke sana, tapi ke balkon," jawab Devan kalem. Siap Devan merangkulkan lengan Lentera ke lehernya. "Bertumpu pada saya saja."

"T-tapi ... hey! Devan!" jerit Lentera langsung ke telinganya. "Sakit! Tunggu! Dev!"

Devan berhenti untuk waktu yang cukup. Melihat mata berkaca-kaca Lentera, Devan langsung tahu. "Kamu belum pernah sakit begini, ya? Selalu permasalahan internal?"

"Baru nanya sekarang?!" Lentera berseru galak. Sudah pasti kristal terbentuk setiap kali rasa sakitnya tak tertahankan. Sialnya, semua itu karena Devan. "Saya jadi nggak berniat ke sana lagi. Terima kasih."

"Kalau begitu kamu nggak makan untuk hari ini."

Dengusan Lentera keluar layaknya kerbau. "Saya nggak berpikir untuk makan hari ini."

"Bercanda," balas Devan, tapi tak ada senyuman yang keluar. "Rangkul tangan kamu ke leher saya, cepat. Saya yang bawa kamu ke sana saja."

"Serius?"

Devan mengangguk kaku, tak urung matanya mengerling malas. "Saya nggak pernah berbohong."

"Tentang Nanda?" Lentera mengeratkan pelukannya di leher Devan, seiring dengan Devan yang mengangkat kedua tungkainya. "Kita berbohong tentang misi kita."

"Itu menyembunyikan fakta," kata Devan tak acuh. "Setidaknya istilahnya berbeda, kan?"

Sesungguhnya Devan adalah orang yang lucu. Bukan berdasarkan kata-kata maupun raut wajah. Justru perpaduan keduanya adalah hal yang menarik. Bibirnya mengucapkan hal yang aneh, tapi rautnya hanya dua. Datar atau tersenyum. Seakan ia tidak punya ekspresi lain.

"Nah, kapan kamu mau turun?"

"Ups, sorry." Lentera terkekeh ceria. Entah karena lingkungannya, atau karena orangnya.