webnovel

Masa Depan

"Lentera Kanaya." Dirinya menurunkan sebagian egonya yang memuncak tinggi melihat penampilan dan arogansi dari lawan jabatnya. Sekalipun Lentera sudah mengacungkan tangan, tak dijabat sama sekali.

Dapat dilihat dari kerlingan matanya yang memindai ujung kaki sampai ujung kepala Lentera. Menilai dengan kentara, bahwa ia tak menyukai Lentera.

Tangan kaku Lentera disimpannya lagi. Ia tak boleh menilai dari luarnya saja, tapi bahkan, Lentera belum tahu namanya!

"Dia Dinara, Len." Nanda yang mengambil alih percakapan, merasakan juga tatapan permusuhan yang dilancarkan oleh orang di sebelah Devan. "Dinara, ini Lentera Kanaya. Orang yang mau kami kenalin ke kamu."

"Kenapa kamu mau join sama dia?" Pertanyaan itu pertama kali terlontar dari Dinara, bersama atmosfer kebenciannya, juga penuh penyelediknya. "Saya nggak melihat kamu punya spesialisasi khusus."

"Harusnya kamu tanya itu sama Devan ketimbang tanya sama, Dinara," kata Lentera mendelik kesal. Persetan dengan sopan santun. Ia duduk meskipun yang lain masih berdiri, meskipun belum dipersilahkan. "Kamu mau sajiin kita makanan, kan? Kalau nggak mau, lebih baik saya keluar aja."

"Oh, ya udah-"

"Din, please." Devan yang paling terakhir mengeluarkan suaranya. Gurat-gurat ketidaknyamanannya menginginkan Dinara untuk mengalah. "Kamu mau aku bawa Lentera ke sini. Kalau kamu nggak memperlakukan dia selayaknya tamu undangan, sebaiknya aku nggak perlu bawa Lentera ke sini, Din."

Air muka Lentera tak menunjukkan sarat akan kemenangan, malah diisi oleh kebingungan pekat. 'Aku?'

Namun, pertanyaan Lentera tak kunjung dijawab. Satu meja bundar itu hening, sampai Devan dibawa menghilang oleh Dinara.

Dengan menggebu, Lentera menoleh penasaran pada Nanda. "Jangan bilang dia saudaranya Devan?"

"Lebih parah dari itu, Len," kata Nanda terkekeh. Es teh tawarnya diseruput tipis, kemudian menghela napas rendah. "Dia tunangannya Devan. Tapi dari dulu saya nggak pernah suka sama perangainya."

"Tunangannya-"

"Ssstt!" Nanda meluaskan sekilas ke arah yang menyembunyikan sosok keduanya, lalu kembali lagi dengan jarinya yang menempel di bibir. "Jangan keras-keras. Devan saja nggak kasih tahu ke kamu. Harusnya saya juga nggak."

"Terus niat dia bawa saya ke sini karena tunangannya curiga?!" Lentera nyaris memekik terkejut. Kesal bukan main, apalagi setelah diabaikan tadi. Sangat tidak ramah. "Kenapa dari awal Devan mau sembunyiin ini, sih?"

Nanda menggeleng, diikuti kedikan bahunya, menandakan ia juga tak tahu menahu keputusan Devan ini. "Tapi siapa yang nggak curiga sih, Len? Pria dan wanita tinggal bersama."

Ujaran Nanda membuat semuanya terasa masuk akal. Tapi tetap saja .... "Saya nggak lebih baik pindah saja, ya?"

"Nggak bisa," tolak Nanda terang-terangan. "Kalau kamu setuju untuk gabung dari awal sama Devan, kamu nggak bisa ke mana-mana, Len. Dunia luar terlalu bahaya."

"Jadi seumur hidup saya harus sama dia?"

Nanda mengangkat bahu, kedua kalinya. "Kamu memangnya punya rencana dalam waktu dekat?"

Tidak ada. Kecuali ayahnya yang pecandu judi, alkohol, dan obat terlarang itu hidup dengan nyaman, tentram.

Tidak pernah ada rencana untuk dirinya. Lentera baru merenung setelah ditanyai pertanyaan mengenai hal yang tak pernah terlintas dalam benaknya. Masa depan.

"Len." Nanda memiringkan wajahnya. Seutuhnya memusatkan satu-satunya perhatian yang dipunyanya, menyalurkannya melalui manik yang berkedip lambat. "Kamu sadar, nggak, kalau cepat lambat kamu akan dianggap orang ketiga?"

"Nggak nunggu terlalu lama, kan?" Devan memasukkan dua buah tangannya ke dalam saku jas, tampak sedikit risi saat Dinara mencari-cari kesempatan untuk menyelipkannya ke dalam. Di akhir, Devan hanya bisa mendengus tipis. "Din, ulang perkenalan kamu."

"Dev!" protes Dinara memelotot tak percaya. "Aku pikir kita sudah selesain perbincangan ini?"

"Kita bahkan belum masuk pembicaraan ini, Din," kata Devan lugas. "Ulangi."

Ah, ternyata sifat mendesak orang lain itu bisa dikeluarkan Devan pada orang tersayangnya juga. Lentera ..., cukup terkejut sebenarnya. Mengira bahwa Devan akan memperlakukan Dinara lebih baik.

Tapi, mengapa Lentera merasa bahwa Devan memihaknya?

"Dinara." Wanita itu masih merengut kesal. Tangannya terulur ogah-ogahan. Dua detik bersentuhan, ia sudah menarik tangannya kembali. "Sorry. Saya harus balik ke dapur. Kita ngobrolnya kapan-kapan aja."

Masalahnya, Lentera juga tidak ingin mengobrol. Hanya menghabiskan waktu, juga emosinya yang tak terkontrol nantinya. "Oke."

"Duluan, ya." Dinara membungkuk, mencecar pipi Devan dengan lipstik pink-nya itu.

Tapi, Devan lebih dulu menghindar dengan memegang bahu Dinara. "Jangan di sini. Nggak enak dilihat, Din."

"Dev," tegur Dinara pertama kalinya. Benar-benar tak menyukai tindakan Devan. "Serius?"

"Ya, oke-oke." Pria itu mengembus napasnya pasrah, membiarkan pipinya jadi sasaran Dinara. "See you, Din."

Lambaian Dinara ditanggapi anggukan singkat. Sama kakunya seperti pada semua orang. Sekarang Lentera berani memukul semuanya sama rata.

Tapi kemudian tawa yang berhasil dicegah baik oleh Lentera, maupun Nanda, pecah meluas tak terkendali. Bahakannya mengundang tatapan sinis dari beberapa orang. Desas-desus tak enak terdengar sampai ke penjuru ruangan.

Lentera tahu apa yang ada di pikiran mereka. Kenapa di restoran mahal ada orang kampungan?

Peduli setan. Yang jelas ia tertawa sampai perutnya terasa keram.

"Bisa berhenti menertawakan saya?" Devan mulai merasa gerah akan tingkah kedua temannya. Terutama Lentera yang memelopori terjadinya aksi saling menimpali tawa itu. "Nggak enak dilihat yang lain, Len, Nan."

Nanda menyikut Lentera. Keduanya berpandangan beberapa detik, gelak itu tak terhindarkan kedua kalinya.

Pasrahnya lebih dari menyerahkan dirinya pada Dinara kali ini. Sama sekali tak bisa berkutik, berpura-pura meneliti buku menu itu. "Kalian berdua mau pesan apa?"

"Ah, saya nggak." Kedua ekor matanya yang mengeluarkan cairan diusapnya lelah. Sekian detik mengatur napas, Lentera berkata lagi, "Kamu nggak mau kenalin dia siapa sama saya, ketimbang pesan makanan yang jelas-jelas bukan selera kita?"

"Kalau mau dihormati, kalian harus menghormati orang lain dulu, Len." Dia tetap keukeuh, kali ini serius membaca beberapa menu di sana, walaupun yakin Dinara akan menyediakan makanan sebelum mereka memesan.

Lentera berpangku tangan di atas meja. "Dia nggak menghormati saya, Devan."

"Itu karena dia cemburu."

"Kamu harusnya bisa menjelaskan, kan, sebelum dia bertingkah yang nggak bisa saya terima?" tanya Lentera memiringkan kepalanya. "Kalau kamu nggak bersedia memperingati, saya mau loh."

"Jangan macam-macam," peringat Devan berkilat amarah. "Jangan memancing masalah yang tadinya nggak ada, Lentera."

"Jadi menurut kamu di awal tadi 'bukan masalah'?"

"Kamu sudah mendapatkan perkenalan yang pantas tadi, Len." Devan menutup buku menu itu. Tak lagi tertarik untuk meneliti isinya. "Mau kamu apa?"

"Saya nggak mau dia memandang saya sehina itu," tukas Lentera cepat. Meminjam kata-kata yang bersarang di telinganya, untuk dilontarkan mulutnya. "Saya tahu saya itu orang yang dipungut oleh kamu, tapi kamu yang membuat keputusan itu."

"Saya yang dipungut oleh kamu," kata Devan tajam. "Dan, oke. Saya akan bicara. Saya mau kalian berteman baik nantinya."