webnovel

Mencoba

Dalam perjalanan pulang, Eleanor lebih memilih radio yang menemaninya sambil sesekali melirik kaca spion untuk melihat Bintang yang mengekorinya dari belakang dengan motor Suzuki-nya. Tak terasa sudah pukul sembilan malam. Suara penyiar radio itu memberitahu lagu favoritnya hari ini, dia berkata lagu ini baru saja berlayar di koleksi playlist-nya. Begitu lagunya terputar, Eleanor tenggelam dalam liriknya.

"Ku kira kita akan bersama. Begitu banyak yang sama. Latarmu dan latarku..."

"Kenapa galau mulu sih lagunya dari tadi? Tapi ini lagunya Tulus yang baru enak juga, sama kayak namanya lagunya pun tulus," gumam Eleanor yang bermonolog sendiri.

Dia tidak ingin mengingat kejadian di rumah Bintang tadi, tentang Bu Dewi yang mengatakan bahwa anaknya masih single dan ia menyukai Eleanor bila dirinya bisa menjadi mantunya. Tapi masalahnya Eleanor tidak bisa dengan brondong! Dia dengan satu tahun yang lebih muda darinya saja tidak bisa bersama, apalagi ini empat tahun lebih muda darinya, mau jadi pedofil? Eleanor menggeleng samar, ia tidak menjawab apa-apa dan langsung berpamitan pulang saat itu juga.

Tak terasa perjalanan pulang ini lebih cepat, Eleanor segera menepikan mobilnya sebelum ia memasuki sebuah gapura menuju ke gang rumahnya. Kaca mobilnya diturunkan sedikit, lalu ia melihat Bintang berhenti di sisinya.

"Kenapa berhenti? Rumahmu di mana?" Bintang bertanya sambil menurunkan kaca helm full face-nya.

"Rumah gue masuk ke dalam sana, kalau lo mau pulang langsung pulang aja nggak apa-apa, daripada ke malaman nanti," tutur Eleanor seraya menunjuk gang di sampingnya.

Klakson dari kendaraan lain membuat Eleanor cukup terkejut dan ia sadar sudah menutup jalan orang-orang yang hendak masuk ke kampung rumahnya ini. "Gue masuk dulu," kata Eleanor lagi seraya menutup kaca mobilnya dan meninggalkan Bintang yang masih berada di tempatnya sambil memandang kepergian mobil Eleanor.

Mobil itu sudah menghilang dari pandangannya, baru Bintang kembali mutup kaca helm-nya dan lekas pergi juga dari sana. Sampai di rumah ia akan mengirim pesan kepada Eleanor, karena ia belum sempat mengatakan terima kasih secara langsung walaupun kedua orang tuanya sudah mewakili. Gara-gara mobilnya mogok di tengah jalan tadi, ia sudah membahayakan bundanya.

***

"Bintang," panggil Dewi sambil menghampiri anaknya sebelum naik ke lantai dua.

"Ya Bun?" Bintang menyambut bundanya dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku hoodie.

"Sudah diantarkan dengan selamat?" tanya Dewi sambil memberikan senyuman terhangatnya.

"Elea, Bun?" Bintang bertanya balik.

"Bukan, mobilnya Ele itu loh." Dewi berdecak pelan sambil geleng-geleng kepala heran.

Sontak saja Bintang tertawa pelan, ia menghadap bundanya sambil meletakkan kedua tangan di bahu bundanya. "Maaf ya Bun, gara-gara Bintang, Bunda hampir celaka."

"Gara-gara kamu, Bunda bisa ketemu sama Eleanor."

"Iya," jawab Bintang.

"Iya apa? Dia cantik, kan?" Dewi bisa-bisanya menggoda anaknya.

"Iya dia udah aman maksudnya, udah Bintang anterin sampai rumahnya." Bintang menjawab sekenanya, kalau ditanya Eleanor cantik atau tidak, tentu saja semua wanita di matanya cantik. Entah dari fisiknya, atau ketulusan hatinya yang tidak bisa kita lihat.

Dewi mengangguk singkat, ia balik mengusap kepala putra satu-satunya ini. "Kalau kamu tertarik, bunda izinin kamu deketin dia. Bilang makasih ke dia, ajak dia makan malam berdua atau kalian jalan ke mana gitu. Dari sana pasti anak Bunda udah tahu gimana ngelanjutin alur PDKT-nya. Udah saatnya move on, Bintang. Nggak apa-apa lebih tua lagi, Bunda yakin yang kali ini dia pasti akan lebih bisa mengerti kamu."

Setelah mengatakan hal tersebut kepada anaknya, Dewi segera pergi meninggalkan Bintang yang mendengus pelan. Dengan langkah lemah, Bintang segera menaiki setiap anak tangga menuju kamarnya. Ia melepaskan sejenak hoodie miliknya dan melemparkan asal ke atas ranjang. Sebuah pigura kecil masih berada di sana dengan figur seorang wanita cantik yang pernah mengisi hari-hari Bintang. Kenapa ia tidak membuangnya seperti orang lain yang cintanya sudah karam? Atau paling tidak foto tersebut tak terlihat oleh pandangan matanya.

Bukannya Bintang tidak ingin melupakannya. Mungkin ia sakit hati dan kecewa. Tapi hanya foto kenangan tersebut yang masih tertinggal. Bintang menghela napas kasar, ia mencari tempat duduk yang nyaman di dekat balkon kamarnya. Tangannya sibuk mengotak-atik ponsel, kemudian ia terpikir ucapan bundanya. Apakah ia bisa mencobanya?

'Sudah aman di rumah?'

Hapus.

Bintang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia rasa kata-kata tersebut sama saja menunjukkan kebodohannya.

'Gue belum bilang makasih. Elea, makasih ya udah nolongin Bunda.'

Send.

Bintang tersenyum tipis. Mungkin ini lebih baik.

***

Di tempat lain, Eleanor baru saja selesai membersihkan diri. Ia melihat akun instagramnya yang di tag beberapa teman kantor tentang pernikahan Nuca bersama Mahalini. Hanya menggeser-geser tanpa melihat dengan detail sampai pada akhirnya Eleanor bosan sendiri dan hendak membanting ponselnya asal, namun urung ketika ia menemukan notifikasi asing yang masuk ke ponselnya.

"Ini siapa, ya?" gumam Eleanor seraya menggaruk kepalanya bingung. "Bunda? Nggak mungkin juga kalau dia tiba-tiba bilang gini, pasti Bintang ini karena yang manggil Bunda cuma Mas Mantan sama dia. Dan gue kan emang tadi ngasih nomer ke Bintang."

Berpikir sejenak kata-kata apa yang tepat untuk diketik sebagai balasan, pada akhirnya Eleanor mengetik seperti ini : 'Sama-sama, semua orang bakal ngelakuin hal yang sama kalau ada di posisi gue.'

Tak lama kemudian, balasan dari Bintang datang lagi. Eleanor pun membacanya dalam hati.

'Sebagai ucapan terima kasih gue, besok sore ikut gue ke suatu tempat yuk.'

"Ngapain?!" pekik Eleanor seraya membulatkan matanya tidak percaya.

"Elea, kenapa teriak-teriak?"

Eleanor menutup mulutnya, ia lupa ini sudah malam dan ada papanya yang sedang menonton televisi di luar. "Nggak apa-apa, Pa."

Eleanor membalas : 'Gue ikhlas nolongin. Nggak minta imbalan kok, santai aja.'

Pesan WhatsApp-nya terbaca dengan cepat, Eleanor sampai menatapnya tajam hingga tulisan mengetikkan pesan di atas muncul dan tersampaikan padanya.

Bintang : Ini bukan imbalan yang gue bayar atas permintaan lo. Tapi karena gue sayang sama Bunda, dan gue harus ngasih surprise ke lo sebagai ucapan terima kasih gue dan gue juga nggak mau ngerasa bersalah, ok? Jadi, jam berapa lo kosong?

"Ya ampun, gue harus jawab apaan? Masa ini yang dinamakan ngedate sih?" gumam Eleanor seraya meraih bantal yang ada di sampingnya dan memeluknya erat. "Oke, ini bukan ngedate, tapi cuma ucapan terima kasih doang, Elea."

Setelah berusaha meyakinkan dirinya, Eleanor pun membalas pesan Bintang.

Eleanor : Baiklah, gue terima kebaikan lo. Bisa ketemu di dekat tempat kerja gue aja jam lima sore, besok gue kasih tahu alamatnya.

Kemudian, pesannya hanya di baca saja. Lama ia menunggu sampai tulisan online di WhatsApp-nya menghilang. Eleanor hanya bisa mengembuskan napas panjang, ia memiliki firasat bahwa sepertinya ia akan mengulangi kembali masa lalunya dengan orang yang berbeda. Semoga saja jika memang benar firasat ini, Eleanor tak menginginkan kegagalan lagi dalam sebuah hubungan.

"Lo nggak butuh dia lagi, lo cuma butuh perannya. Walaupun perannya akan digantikan dengan orang yang berbeda, atau endingnya bakal sama, setidaknya lo udah nyoba berkali-kali. Sampai lo bisa dapatin yang terbaik buat diri lo, Elea."

Kalimat tersebut ia tanamkan dalam dirinya sendiri sebagai bentuk motivasi dari orang yang pernah dipatahkan berkali-kali.