webnovel

Keputusan Bersama

POV Eleanor

Aku menerima Bintang bukan karena aku sedang berusaha lari dari perasaanku terhadap Nuca. Oh, itu lupakan saja. Aku dan Nuca memang tidak pantas bersama dan dia juga tidak pantas tetap ada di bagian penting yang ada di hatiku. Mungkin benar kata Monica bahwa aku harus memberikan jawaban untuk Bintang. Aku tidak boleh membiarkan perasaanku larut. Aku harus bergerak maju, aku harus bahagia dan menemukan pasanganku sendiri.

"Ada hal yang nggak pernah aku duga dalam hidup ini," celetuk Bintang tiba-tiba saat kami memutuskan saling diam usai menyatakan perubahan hubungan kami yang sudah tak biasa lagi.

"Apa itu?" Aku bertanya dengan ekspresi polos.

"Memilikimu." Bintang memelukku dari belakang, ucapannya yang lembut dan berada di dekat telingaku bisa menyebabkan rona merah muncul di kedua pipiku.

"Gombal." Aku menyahut sambil terkekeh pelan untuk mencairkan suasana.

"Tapi aku bukan gombal, mana ada gombal kalau saling sayang?" sungut Bintang seraya menatap kedua bola mataku dari dekat.

"Bintang... Leaa... Kalian ngapain ada di atas sana?" teriakan Bunda Dewi spontan membuatku terlonjak kaget dan membuat keseimbanganku jadi goyah.

"Eh... Eh... Ehh," pekikku seraya berpegangan pada tengkuk Bintang sebelum nasibku berakhir buruk karena Bintang juga ikut syok dan kami pun...

'BRUAKK!'

'Kreekk.'

Selain suara tubuh yang terjatuh dari atas pohon sampai ke aspal bawah, rasanya tulang-tulang rusuk mau patah. Tapi yang aku rasakan justru sebaliknya, aku merasa tidak enak karena aku terjatuh tepat di atas Bintang dan membiarkan cowok itu menerima kesakitan serta berat badan yang aku miliki. Buru-buru aku beranjak dari atasnya. Aku tidak mau seperti sinetron yang harus larut dulu dalam sebuah tatapan. Sementara Bunda sudah panik menghampiri kami berdua. Dia membantuku berdiri. Dia bertanya tentang keadaanku. Dia lebih mengkhawatirkan aku dari pada anaknya sendiri sehingga aku merasa tak enak.

"Bunda ngeselin anaknya kok nggak ditanya apakah baik-baik saja?" celetuk Bintang seraya mencebikkan bibirnya seperti anak kecil. Sedangkan Bunda Dewi tersenyum penuh arti sambil menatap ke arahku.

"Kalau kamu nggak apa-apa langsung masuk ke dalam ya sayang. Papa saja baru bergabung di meja makan, tolong kamu bantu untuk menyiapkan piringnya," tutur Bunda Dewi.

"Baik Bunda." Kemudian aku pergi menyisakan Bunda dengan anak laki-lakinya di sana.

Walaupun langkahku berjalan dengan lambat, aku sepertinya ditakdirkan untuk mendengar percakapan mereka. "Apa yang terjadi?"

"Bun, Lea sudah berhasil jadi milikku."

Tentu saja mendengar hal tersebut membuatku senang. Aku tak bisa berhenti menyunggingkan senyuman sampai tiba di meja makan dan bertemu Om Ardan, beliau menyapaku ramah. Sementara aku langsung mencium punggung tangannya sebagai bentuk hormatku.

"Yang lain masih dibelakang Om," ucapku mengatakan sesuatu sebelum ditanyakan.

Papa Ardan menganggukkan kepalanya, ia tersenyum ramah. "Tidak apa-apa Nak,  ambil dulu saja. Ini ada berbagai macam menu makanan, tidak perlu takut makan banyak ya. Ayo silakan dinikmati, Lea."

Tak lama dari itu Bunda dan Bintang datang ke meja makan juga. Mereka berdua seperti tidak terjadi apa-apa dan mengikuti makan bersama dengan tenang dan tidak segugup aku. Karena mungkin selain sudah akrab bersama mereka, aku hanya takut pemikiran kita bertiga berbeda dan akan ada banyak hal yang dibahas secara buru-buru. Seperti ceritanya kapan aku akan bertunangan dan menikah.

"Jadi rencana Lea nanti tetap harus mengatakan pada bos Lea kalau Bintang mau diajak bertemu dan dibongkar identitasnya hanya kepada bos Lea saja?" tanya Lea kepada mereka yang sedang makan bersama di satu meja.

"Yup, benar Lea." Bunda mengangguk setuju.

"Ada apa ini? Ada apa Bun? Kok Papa kayaknya ketinggalan info gini, Bun." Ardan menatap istrinya bingung. Rupanya Bunda belum mengatakan apa-apa pada sang suami.

"Jadi gini loh Pa, tadi kamu belum pulang-pulang dan kami bertiga sempat rundingan." Ada jeda beberapa sekon saat Bunda bercerita sambil menatap ke arah sang suami. Sementara Ardan mendengarkan sepenuhnya apa yang dikatakan oleh istri tercintanya. "Papa udah tahu kan kalau Mama bakalan launching buku baru dan digarap semua sama Lea. Hasilnya bagus dan lebih cepat. Mama suka, dan selama ini Mama enggak tahu kalau ternyata tempat Lea bekerja itu, bosnya sudah lama ingin mengajak Mama bergabung tapi Mama baru setuju karena ada Lea pekerja yang kompeten di sana. Mama juga langsung bilang ke bosnya agar Lea full ngerjain semua proses penerbitan buku Mama. Akhirnya bosnya setuju dan beliau mengira Lea mengenal Mama kan, trus beliau mengira Lea ada hubungan spesial dengan nama pena Bintang apalagi saat yang tepat mendukung kala si Bintang ini mengirimkan sebuah bunga ke tempat kerja Lea."

"Wah, kocak sekali Bun kalau gitu. Trus ini nanti Bunda mau rencana bongkar identitas ke bosnya Lea melewati Bintang? Bintang anak kita bakalan diakui sebagai nama pena Bunda gitu?" tanya Papa Ardan yang tampak antusias dengan cerita sang istri.

"Iya Pa, menurut Papa gimana kalau seandainya hanya di bosnya Lea saja?"

"Terserah Bunda, Papa setuju saja asal Bunda nyaman dan nggak terganggu. Papa tahu Bunda lebih suka karyanya di kenal secara misterius kan agar para pembaca tahu karyanya saja bukan orangnya." Ardan tersenyum lebar menanggapi sang istri.

Melihat interaksi kedua suami istri itu, membawaku teringat bagaimana kontrasnya hubungan antara keluargaku yang tak sama dengan keluarga Bintang yang selalu kompak.

"Bunda oke aja kok Pa, karena bosnya Lea maksa mau tahu sampai ngebelain nambahin gaji Lea loh."

"Kalau gitu iyain aja Lea, biar kamu bisa dapat gaji double lumayan kan?" sungut Ardan yang kini beralih menatapku.

Aku tertawa pelan. "Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan gaji, Pa. Tapi aku lebih bertanya dulu dan memikirkan Bunda."

"Tuh kan Pa, Lea baik banget ya Pa? Cocok jadi menantu kita." Bunda berucap sambil menatapku kagum, membuat aku ikut tersenyum malu. Sementara Bintang langsung meraih tanganku dan menggenggamnya.

"Kalian pacaran?" tanya Papa langsung saat matanya langsung fokus menangkap tangan anaknya.

"Hari ini Pa, Bintang resmi jadi pacarnya Lea." Bintang mengangguk dan tersenyum lebar.

"Ya sudah kalau gitu sekalian saja bilang ke bosnya Lea kalau kamu adalah penulis Bintang itu dan kamu kekasih Lea. Biar bosnya Lea sungkan sama kamu dan nggak macam-macam sama Lea."

Pemikiran yang bagus sekali kedengarannya, tak hanya Bunda yang antusias, tapi juga Papa Ardan. Aku benar-benar merasa diterima di sini. Aku tidak pernah membayangkan bahwa rasanya diterima bisa sebahagia ini.

"Makasih banyak Pa, Bun. Lea nggak tahu harus ngomong apa."

"Kamu nggak perlu ngomong apa-apa, kamu pantas mendapatkannya karena anak Bunda yang harusnya makasih udah dikasih calon istri sebaik kamu, Lea. Ini takdir, Bunda bertemu kamu, dan semuanya terjadi begitu saja."

"Rencananya Lea mau nikah umur berapa?" celetuk Ardan.

"Pa, jangan bikin kaget, masa tiba-tiba jadi kaget nikah? Ini mereka baru memulai hubungan loh," sungut Bunda sambil menatapku yang tampaknya sedang menunjukkan ekspresi bingung dan Bunda dengan cepat paham apa yang tengah aku rasakan.

"Hahaha, Papa cuma nanya siapnya Lea aja Bun. Nggak langsung nyuruh Lea sama Bintang nikah."

"Kirain Papa udah gila aja nyuruh mereka langsung nikah. Kasihan merekanya kalau belum siap."

Tenang Lea, ternyata mereka memiliki prinsip yang sejalan dengan kamu. Sekarang yang perlu kamu tahu, kamu enggak sendiri lagi, ada cowok di sampingmu yang saat ini menjadi bagian penting dalam hidupmu.