webnovel

Bukan Permintaan

Bunda terdiam setelah Eleanor mengatakan tentang Alika. Mungkin Bunda tidak diberitahu oleh Bintang.

"Bun?" panggil Eleanor seraya menyentuh lengan Dewi.

"Ya, maaf Elea, Bunda jadi ngelamun." Dewi mengerjapkan kedua bola matanya sambil membenarkan duduknya. "Jadi dia magang di tempat kamu bekerja? Apakah Bintang sudah tahu? Makanya kamu tahu kalau dia ini masa lalu Bintang, ya?"

Eleanor mengangguk perlahan, ia tatap kedua mata Dewi yang menunjukkan keseriusan. "Bintang mungkin belum cerita ke Bunda karena dia ngerasa Alika hanya masa lalunya. Tapi waktu itu Bintang cerita ke Elea, tentang siapa Alika."

"Harus, kalau dia enggak cerita ke kamu tentang masa lalunya itu. Berarti dia ada keinginan untuk kembali."

Eleanor mengangguk ragu, ia sedikit terkejut mendengar respons Dewi yang tampak tidak suka jika anaknya masih mengharapkan masa lalu. Begitulah yang Eleanor baca.

"Iya Bunda, tenang aja. Alika sudah punya kekasih, Elea tahu sendiri kok bagaimana mereka saling mencintai." Eleanor berkata dengan jujur, bukan hanya sekadar menghibur Dewi.

"Syukurlah, Bunda mau Bintang bahagia." Dewi berucap tulus, lantas ia menghadap Eleanor. "Bunda mau sisanya kamu yang kerjain. Sebisa kamu, kapan pun selesainya meski kamu juga udah ada job sebelum punya Bunda, asal jangan dikasih lagi ke Alika, ya? Dan Bunda harap, hanya kamu yang tahu siapa di balik penulis Bintang ini, Elea."

Permintaan Dewi mungkin terdengar ingin tetap menjadi penulis misterius. Walaupun sebelumnya Eleanor tidak tahu jika ini adalah karya Bunda, bukan maksud Eleanor mengalihkan pekerjaan demi meringankannya.

"Kalau saja dari awal Bunda bilang, pasti Elea sendiri yang ngerjain Bun, maaf." Eleanor menatap Bunda dengan pandangan sendu, tetapi Bunda jadi merasa seperti sudah memarahinya, sehingga ia langsung mengangguk dan memeluk Eleanor.

"Bunda mau kasih kejutan. Makanya panggil kamu ke sini."

Eleanor tersenyum. "Bunda berhasil bikin kejutannya. Elea juga mau bilang makasih karena udah suruh Bintang pakai motor Bunda," balas Eleanor dengan tulus.

Kali ini Bunda yang tertawa geli karena pengucapan Eleanor. Ia memang memaksa Bintang, beranggapan bahwa Eleanor akan menaiki motor tersebut, ternyata benar feeling seorang Ibu. "Jadi Bunda enggak pernah salah kan milihin yang terbaik buat anaknya?" seru Dewi seraya menatap Eleanor masih dengan senyuman lebarnya.

"Iya Bun, nggak pernah salah." Eleanor menyetujui ucapannya. Lantas keduanya sama-sama tertawa, Dewi juga menyuruh Eleanor untuk mencicipi cookies yang ia buat.

"Tapi kejutan buat kamu bukan itu saja Elea. Ada satu lagi yang membuat Bunda ingin kamu datang ke sini," ucap Dewi menghentikan Eleanor yang sedang menikmati cookies serta membaca cerita Bunda tersebut.

"Apa itu Bun?" tanya Eleanor sambil menatapnya penuh penasaran.

"Menikahlah dengan Bintang kalau kamu mau Elea. Bunda tahu ini terlalu mendadak untuk kalian. Tapi Bintang menyukaimu, Bunda nggak mau kalau hubungan kalian ngegantung begitu saja dan Bintang akan kehilangan orang yang dicintainya lagi," tutur Dewi seraya menatap Eleanor dengan serius sampai meraih kedua tangannya dan menggenggamnya sepenuh hati.

'Menikah? Dengan Bintang? Ini gue nggak salah dengar apa ya?' Eleanor membatin dalam hati, ia berusaha mencerna ucapan Dewi dan kenyataannya itu adalah permintaannya.

"Bunda bikin permintaan apa beneran nyuruh Elea nikah?" tanya Eleanor dengan tampang polosnya.

"Nyuruh Elea nikah, kalau permintaan berarti Elea masih bisa nolak." Bunda tersenyum penuh arti, rasanya tidak ada kata-kata yang tepat untuk menjawab pernyataannya kali ini.

Diamnya Eleanor, bisa jadi ia setuju, tapi bisa jadi ia masih ragu untuk mengiyakan keputusan tersebut.

"Elea, nggak usah tegang gitu dong mukanya. Santai aja, hehehe." Bunda menggoyangkan lengan Eleanor yang kentara sekali perubahan raut wajahnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa Eleanor hanya dapat tersenyum canggung setelah itu, karena ia tidak pandai berakting untuk saat ini di depan Bunda Dewi.

***

Eleanor baru pamit pulang pada pukul sembilan malam, selain mengerjakan naskah milik Bunda. Eleanor juga sempat menghabiskan waktu menonton film horror dengan keluarga Bintang.

"Bunda sama Papa suka banget sama lo." Bintang yang berada di samping Eleanor tiba-tiba berceletuk.

"Gue juga suka sama mereka karena gue nyaman juga ada di lingkungan keluarga lo," sahut Eleanor.

Karena sudah malam, Bunda tidak mengizinkan Bintang mengantar Eleanor dengan motornya. Maka dari itu Papa meminjamkan mobilnya untuk mereka berdua.

"Tadi waktu di taman berduaan sama Bunda lagi ngomongin apaan?" tanya Bintang penasaran, sekilas ia juga melirik Eleanor.

"Emang lo nggak tahu gitu?"

"Emang kalau gue nanya lo gue tahu gitu?"

Keduanya tertawa serempak karena sama-sama mengajukan pertanyaan yang sudah pasti jawabannya mereka ketahui.

"Oke, Bunda itu penulis kan?" seru Eleanor tanpa langsung menceritakan keseluruhannya.

"Iya, dia penulis misterius. Hebat juga lo bisa dikasih tahu Bunda."

"Iya dong, gue gitu loh."

"Alika dulu nggak pernah dikasih tahu. Dia enggak terlalu dekat sama Bunda. Lo doang yang hebat bisa dapatin hati Bunda sama Papa."

Apakah ini bentuk pujian? Eleanor tersenyum dan menunduk sekilas, ia menyampirkan anak rambutnya ke belakang telinga.

"Trus selain itu yang dikasih tahu Bunda ke lo apaan lagi?" tanya Bintang yang sepertinya tidak percaya jika hanya itu saja obrolan Eleanor serta bundanya, karena waktu yang mereka habiskan di taman cukup lama.

"Bunda emang ngasih tahu soal nama penanya, karena Bunda ngasih kepercayaan dengan ngirim naskahnya ke perusahaan tempat gue kerja. Trus sebelum gue tahu, bos gue tiba-tiba nyuruh gue aja yang ngerjain. Gue bingung, dikira gue kenal sama Bintang karena bos gue sendiri penasaran siapa di balik nama pena itu. Gue bilang aja nggak tahu, trus sempat nebak itu lo." Ada jeda sesaat ketika pandangan mata Eleanor menatap Bintang. "Tapi konyol sih kalau lo penulisnya."

"Kok bisa konyol sih? Gini-gini gue juga bisa nulis lah, keturunan Bunda."

Rasanya Eleanor ingin tertawa lagi karena Bintang tak mau dianggap konyol dan membanggakan dirinya.

"Okay. Tapi gue pikir itu terlalu kebetulan kalau lo penulisnya. Kenapa lo nggak langsung aja ngomong ke gue, meski kedengarannya mau kayak bikin kejutan atau pun tetap ada kesan misteriusnya. Tapi lebih kaget lagi kalau ternyata Bunda lo, Tang. Hahaha."

"Thanks ya, udah bikin keluarga gue bahagia." Bintang berucap saat mobil ini memasuki area gapura rumah Eleanor.

"Gue yang makasih, ini cookies buat bokap gue kan? Berarti gue nggak boleh makan, ya?" celetuk Eleanor seraya mengangkat pemberian Bunda Bintang.

"Tadi kan udah makan banyak, tapi kalau lo mau boleh sih ambil dikit yang penting bokap lo kasih incipnya yang banyak, ya? Hehehe."

Eleanor manggut-manggut, ia pun segera meraih tasnya dan membuka seatbelt, diikuti oleh Bintang yang turun dari mobil. "Gue masuk dulu."

"Iya, selamat malam Elea." Bintang tersenyum, ia melambaikan tangan.

Sebelum Eleanor benar-benar masuk, ia juga membalas ucapan Bintang. "Malam juga, Tang."

Eleanor berhenti di depan pintu rumahnya, ia masih tersenyum menatap Bintang yang sepertinya hendak mengatakan sesuatu lagi. Hingga sebuah kalimat benar-benar meluncur begitu saja dari bibir manisnya.

"Lea... gue boleh suka sama lo?"