webnovel

1. Februari 2000

Seekor babi hutan besar berbulu hitam, berlari kencang dalam kegelapan malam. Sebelah kakinya tampak pincang, tetapi itu tidak memperlambat laju mamalia berkuku genap tersebut.

Beberapa meter di belakang, puluhan lelaki dari lintas usia dengan beragam senjata di tangan, terus mengejar babi hutan yang menjadi hewan buruan mereka malam ini.

Para lelaki gabungan warga dari beberapa RW dalam Kelurahan Mekar Sari—masuk dalam wilayah kecamatan Sungai Putri.

Babi hutan yang mereka yakini sebagai jelmaan manusia jadi-jadian, pertama kali terlihat di RW 11.

Lima orang pemuda yang sedang menjalankan tugas jaga malam, memergoki si babi tengah mengendus-endus tiang sebuah rumah mewah.

Satu dari lima pemuda langsung memukul kentongan bambu yang dibawanya, sambil berteriak kencang.

"Ada babi, babi ngepet!"

Sontak teriakan itu mengundang warga lain untuk keluar rumah, dan ikut mengejar ke asal suara. Babi hitam yang merasa terusik dengan kedatangan para warga, segera berlari meninggalkan tempat tersebut.

"Kejar, jangan sampai lolos!" Seru seseorang.

Begitulah kemudian para warga mengejar larinya si babi, hingga melewati beberapa RW. Setiap warga RW yang mereka lewati, ikut pula mengejar hingga jumlah pengejar semakin lama semakin banyak.

Di RW 20, ada perkebunan singkong milik salah satu warga. warga RW 20 dengan cerdik mengepung kebun singkong itu, karena arah lari si babi menuju ke sana.

Babi hutan berbulu hitam itu sampai di kebun singkong, larinya terhenti kala menyadari kebun singkong dalam keadaan terkepung. Warga mulai merapatkan barisan, agar tidak ada celah bagi binatang buruan untuk lepas.

Beberapa warga lain merangsek masuk ke kebun singkong, mendekati babi hutan yang kini ketakutan.

"Hiya!"

Buk!

Bak!

Prak!

Didahului suara teriakan, belasan hingga puluhan sabetan senjata mengenai badan babi hutan. Namun tidak satupun dari senjata-senjata itu, mampu menorehkan luka di kulit si babi.

Babi hutan menyeringai, memamerkan taringnya yang panjang. Sekarang dia paham, kulitnya kebal terhadap senjata para penyerang. Sepasang bola matanya berkilat merah menyala, menyiratkan kemarahan.

Para warga bersikap waspada karena si babi tampak akan membalas serangan, sepertinya babi itu akan menerobos pertahanan mereka.

Dor!

Suara ledakan terdengar disusul desing peluru tajam, yang mengarah ke kepala babi. Semua orang menahan napas menunggu si babi tumbang akibat sebuah tembakan. Namun kenyataannya, peluru tajam hanya menyentuh tengah kening si babi. Lalu mental dan jatuh ke tanah.

Semua orang berseru tertahan, tidak percaya dengan apa yang terlihat oleh mata. Babi hutan kembali menyeringai, memamerkan taringnya yang tajam.

Si penembak adalah seorang lelaki berusia empat puluh tahunan, berpakaian polisi dan memegang senjata api. Menyadari serangan pertamanya tidak berhasil melumpuhkan sasaran, sang polisi tidak putus asa.

Senjata api yang dipegang ia gosokkan ke tanah, dengan mulut komat-kamit membaca mantra, ia kokang kembali senjata apinya.

"Allahu Akbar!"

Dor!

Dengan mengucapkan nama Tuhan, ia letuskan tembakan kedua.

"Aaaaaihk!"

Babi hutan mengeluarkan suara tercekat, disusul dengusan marah. Darah segar mengalir dari lubang di tengah kepala, tembakan kedua berhasil melukai mamalia itu.

Para warga yang tadi ketakutan kini kembali berani, mereka merangsek mendekati hewan buruan. Babi hutan mundur teratur, dari kerongkongannya muncul sebuah suara.

"Aku mohon, jangan bunuh aku. Anak istriku menunggu di rumah."

"Hiya!"

Bak!

Buk!

Plak!

Sabetan bambu, parang, dan batu mendera tubuh si babi. Mamalia itu tumbang ke tanah, kini dia benar-benar tidak berdaya.

"Potong lehernya, pisahkan kepala dari badannya!" Titah satu suara.

Seorang lelaki dengan samurai panjang mendekati kepala si babi, dan sekali tebas saja kepada babi terpisah dari badannya.

*****

*Di Dalam Kamar Sebuah Rumah Mewah*

Seorang wanita muda berusia 23 tahunan, menatap nyala lilin yang batangnya hampir habis. Ia menyulutkan sumbu lilin yang baru, lalu menekan batang lilin yang baru diatas lilin yang hampir habis.

Selain batang lilin yang menyala, kamar itu tidak memiliki sumber penerangan yang lain. Suasananya sangat gelap dan pengap, tidak ada ventilasi apalagi daun jendela. Sepertinya, kamar tersebut sengaja dibuat tertutup dan kedap suara.

Wanita tadi duduk di sebuah kursi, menghadap meja yang menempel rapat ke dinding kamar. Di atas meja, selain batang lilin yang menyala, ada pula sebuah baskom berisi air dan selembar daun sirih yang mengambang diatas permukaan air.

Ia tercenung menghadap baskom berisi air di atas meja, daun sirih masih mengapung tenang di atas permukaan air yang diam seperti kaca.

Beberapa saat sebelumnya, air dalam baskom itu bergerak seperti ombak padahal meja tidak bergoyang sedikitpun. Hampir saja ia meniup nyala api lilin, kalau air tidak kembali tenang seperti semula.

Si wanita menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, terngiang kembali pesan yang diucapkan sang suami. Ketika laki-laki itu, akan meninggalkan rumah setelah lewat waktu Isya.

"Jangan lengah, perasaanku tidak enak malam ini. Tetapi rencanaku sudah matang, aku sudah menyelidiki keadaan rumah gedung di Kampung Sebak. Seorang istri simpanan pejabat tinggal di sana, suaminya baru saja menghadiahkan kalung berlian besar seharga ratusan juta."

Si wanita diam saja.

"Kau tidak senang?" suaminya bertanya.

"Aku mengkhawatirkan dirimu, Kang."

"Tenang saja, Sayang. Kalau wujudku sudah berubah, aku akan kebal dari senjata apapun. Percayalah, aku akan kembali sebelum fajar menyingsing!"

Lalu sang suami melangkah mendekati lemari besi yang ada di sudut kamar, membuka pintunya dan mengambil selembar jubah berbulu yang tergantung di sana. Ia kenakan jubah tersebut, lalu tubuhnya lenyap dari pandangan.

"Oeeeek oeeeek oeeeek"

Terdengar suara tangis bayi dari kamar sebelah, membuyarkan ingatan si wanita. Ia bangkit dan bergegas melangkah menuju kamar utama, tampak bayi merah tergolek di atas ranjang yang cukup luas. Si wanita meraba popok bayinya, ia menduga si anak menangis karena popoknya basah. Namun setelah diperiksa, ternyata semuanya dalam keadaan kering.

Si wanita merebahkan badan di samping anaknya, memberikan puting dada sebelah kanan untuk dihisap anak tersayang. Tangan kiri menepuk-nepuk pelan bokong bayinya, berharap si anak kembali terlelap. Namun lama ditunggu sang bayi belum tidur juga, tidak mungkin ia meninggalkan anaknya sendirian.

Pikirannya kalut, memikirkan baskom air dan nyala lilin di kamar ritual. Seandainya saja tidak ada larangan untuk membawa anak ke kamar itu, tentu ia akan membawa bayinya dan menyusui si bayi sambil menjaga nyala lilin dan baskom berisi air.

"Jangan pernah membawa bayi kita ke ruangan ini, karena itu akan membuat jiwanya bersifat seperti babi."

Suara itu terngiang di telinga, memaksanya untuk bersabar sampai si anak terlelap. Namun karena tubuhnya juga lelah, tidak sadar ia pun ikut terlena. Wanita itu baru terjaga kala sinar mentari menembus tirai jendela, bergegas ia bangkit dan berlari menuju kamar ritual, dan semua yang tampak di dalam kamar membuat lututnya lemas.

Wanita itu jatuh berlutut, dihadapannya ada selembar daun sirih yang semalam masih berwarna hijau, kini layu menguning tergeletak di lantai.

Daun sirih yang menguning ia pungut lalu ia dekap dengan erat, "Kakang!" teriakannya terdengar pilu menyayat kalbu.