webnovel

Chapter 10

Mereka menempuh perjalanan dengan diam. Tidak ada yang memulai percakapan terlebih dahulu. Keheningan di mobil memang tepat untuk Patricia. Dia memang butuh suasana hening untuk memikirkan rencananya setelah pergi meninggalkan Kenned.

Beberapa menit telah berlalu, Dimitri masih tetap dengan fokus ke jalan. Anehnya Patricia merasa dia terlihat lebih tampan saat sedang serius. Diam-diam Patricia melirik tangan besar Dimitri yang dihiasi urat. Itu nampak jantan dan mempesona.

'Apa yang aku pikirkan, seharusnya aku berpikir bagaimana nasibku setelah ini, ' batin Patricia. Dia merutuki fokus otaknya yang teralihkan hanya karena tangan kekar.

'Tetapi pria berambut panjang itu juga sangat tampan, ah hari ini aku melakukan debut dikelilingi pria panas. '

Telepon genggam Dimitri bergetar. Nama Max muncul di layar ponsel. Dimitri mengambil dan menerima panggilan sembari menepikan mobilnya ke hotel Marriott.

"Tuan Redford, saya mohon anda bawa Patricia pergi dari Kenned. Tempat ini sudah tidak aman lagi untuknya."

"Apa yang terjadi, sepertinya kau tidak tenang?"

"Tidak ada yang bisa selamat dari kekejaman Blackfire begitu pula aku. Jadi kumohon jaga adikku satu-satunya."

Dimitri melirik sekilas ke arah gadis bermata hijau yang melihat ke arah luar kaca mobil.

"Tunggu, kau bicaralah sendiri dengannya." Dimitri menyodorkan ponselnya pada Patricia.

"Bicaralah..." Suara itu terasa tegas dan dingin namun juga seksi. Oh Tuhan, Patricia ingin memukul kepalanya lagi.

"I-ya."

Patricia segera mengambil ponsel Dimitri lalu mengkerut karena takut. Tetapi matanya tidak bisa mengalihkan pandangannya dari keindahan pria yang baru ia temui ini.

Dilihat dari mobil dan penampilan pria di sebelahnya, Patricia menduga jika tuan bermata hazel ini bukan orang sembarangan. Ketenangan dan aura dominasinya mirip dengan dua pria berambut gelap yang hampir melecehkannya.

Dimtri menyerahkan teleponnya pada Patricia. Patricia menerimanya meski tidak tau maksud dari Gaara.

"Sayang, kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja... Jangan khawatir, tapi aku mengalami hal yang mendebarkan tadi hehehe." Patricia ingin Max tidak khawatir, sedikit gurauan tidaklah buruk. Meskipun ia yakin gurauannya sangat buruk.

Jauh di seberang sana, Max mendengus dengan canda Patricia yang tidak lucu.

"Kau pembohong yang payah."

"Aku baik-baik saja sayang, tuan merah ini datang tepat waktu sebelum mereka mm yah aku hanya tidak terbiasa melakukan itu."

"Baiklah, sekarang pergilah ke desa rumah nenekmu. Kenned tidak aman lagi untukmu."

"Aku benar-benar mengacaukan semuanya, Eh? "

"Tidak ada yang perlu disesali. "

Patricia langsung murung, ini semua karena keras kepalanya hingga terjadi hal seperti ini. Kini dia tidak bisa lagi mencari uang untuk biaya rumah sakit neneknya.

"Jadi kita tidak bisa bertemu lagi."

"Tidak ada yang tau kedepannya sayang. Tapi kau harus segera meninggalkan Kenned. Mengerti!" Max sedikit memberi sedikit tekanan pada nada bicaranya. Dia takut jika Patricia kembali pada bakat keras kepalanya.

"A..Aku mengerti, sayang maafkan aku yang tidak mendengar ucapan mu." Patricia mencengkeram kemeja putih milik Axton tadi. Secara tidak sengaja memamerkan keindahan kaki jenjangnya pada Dimitri. Pria itu melirik ke arah paha yang tinggal satu inci lagi akan mengekspos celana dalam Patricia.

"Gadis bodoh. Carilah kebahagiaanmu. Aku menyayangimu."

"Kau juga tidak, jaga dirimu baik-baik. Aku lebih menyayangimu."

Patricia memberikan telepon itu kembali pada Dimitri. Lalu membenahi pakaiannya yang sempat terangkat. Meskipun tersenyum tapi ada genangan air mata yang siap tumpah di mata emerald itu. Dimitri masih diam tak bergeming. Ada rasa tak rela dari pria bertato itu saat kemeja putih yang dipakai Patricia kembali ke posisi aman.

"Terima kasih."

"Aa."

Gaara menerimanya dan melangkah ke hotel. Dia sudah menyiapkan segala hal di kamar yang ia boking.

.

.

.

Sesuai perintah Axton, Smith segera menuju ke club Max. Dia berencana menanyakan secara langsung pada Max tentang kecurigaan Axton.

Tepat di ruangan Max, Smith mendobrak masuk. Anak buahnya langsung memblokir pintu agar tidak ada yang berani mengganggu kegiatan sang Godfather pertama.

Max tau ini akan terjadi, dia siap dengan kedatangan Smith dan hanya memberikan wajah datarnya. Yang penting Patricia sudah pergi jauh dari jangkauan Smith.

Jadi sekarang tinggal bertaruh dengan nasib. Hanya ada dua kemungkinan ketika Smith datang, hidup atau mati. Dia rela mengorbankan nyawa demi adiknya satu-satunya.

Pria itu dengan angkuh duduk di sofa ruang kerja Max. Sedangkan Max, dia sudah pasrah dengan nasibnya.

"Kau menyuruh tuan Redford mengambil gadis itu, eh?" Smith bicara tanpa melepaskan cerutu dari bibir seksinya.

"Sesuai dengan informasi yang kau dapatkan." Jawab Max enteng.

Smith menyeringai, ia cukup salut dengan Max yang terdengar tenang. Padahal posisinya terjepit karena nyawanya bisa melayang saat ini juga.

"Apa yang kau berikan untuk membuat seorang Godfather kedua menyanggupi keinginanmu?"

"Uang."

"Kau kira aku bodoh! Tuan Redford tidak butuh uang." Mata oniks itu berkilat marah dan berbahaya.

"Bisa. Jika sejumlah satu juta dolar." Jawab Max enteng. Hanya itu alasan yang bisa dia ucapkan.

Jika dia menyebutkan masalah chip maka dipastikan Smith akan memburu mereka berdua. Dan tidak ada lagi ketenangan di hidup Patricia nantinya.

"Aku tidak menyangka kau sangat kaya eh?"

"...."

"Baiklah, aku jadi tertarik dengan gadis itu. Ku rasa memberikan gadis itu untuk dinikmati anak buahku adalah ide yang bagus."

Rahang Max mengeras, tapi dia tetap tenang di kursinya.

'Pria sombong ini tidak tau jika kartu as nya berada di pihak lawan. Sekali bukti itu menyebar maka boom. Kota Kenned akan dibersihkan dari sampah kotor seperti mereka.' Batin Max.

"Kau hanya bajingan yang menyedihkan. Tanpa Axton, kau bukanlah siapa-siapa. "

Bugh.

Smith melayangkan tinjunya pada Max. Pria itu tersungkur dan memuntahkan darah.

"Aku anggap itu pujian. "

Bugh.

"Karena aku memang bajingan. "

Bugh.

"Kakakku memang jenius. "

Buagh.

"Jangan lupa jika kita sama-sama sampah. "

Max tergeletak di lantai. Dia berusaha bangkit tetapi terhalang rasa sakit di rahang maupun perutnya.

"Ck kau mengotori pakaianku dengan darah kotormu, " cibir Smith.

"Jangan khawatir, aku menyukai bermandikan darah. Itupun setelah membuatmu melihat adikmu menjadi bulan-bulanan anak buahku. Hahaha. "

Tbc