Intan membuka amplop pemberian dari Fathan. Setelah di hitung, Fathan memberinya sebesar 5 juta rupiah.
Jauh dalam hatinya ia bersyukur karena Allah memberinya kemudahan. Masih jelas dalam ingatannya saat ia memohon pada tetangga dan temannya untuk meminta pinjaman, namun tak ada yang memberikan. Intan tak yakin jika tak ada, namun ia cukup mengerti, mungkin orang-orang takut jika dirinya tak mampu mengembalikannya.
Setelah membereskan barang-barang, Intan pergi ke kasir yang menyambung dengan apotek, ia akan membayar biaya perawatan sekaligus menebus obat untuk Gita.
Total keseluruhan 4,5 juta. Intan bersyukur karena uang yang di berikan Fathan tak kurang, bahkan masih tersisa.
Intan mengirim pesan pada Fathan, ia mengucapkan terimakasih dan mengabari bahwa Gita sudah pulang dari rumah sakit, sekalian Intan mengajaknya bertemu untuk membicarakan sesuatu.
Intan dan Gita kembali ke rumah. Tetangga kampungnya sangat miris, selama Gita di rawat tak ada yang menjenguknya. Padahal, jika ada tetangganya yang sakit Intan selalu menyempatkan untuk menjenguk.
Setelah memberikan Gita obat, Intan kembali menghubungi Thariq, ia tak enak hati karena mengulur waktu untuk kerja. Ia berjanji lusa akan mulai masuk kerja jika Thariq berkenan.
Gita tidur nyenyak setelah minum obat, Intan membereskan rumah yang tak ia tengok selama di rumah sakit. Intan juga masak untuk makan siang.
Setelah semuanya beres, Intan mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah mandi ia shalat Dhuha lalu membaca Al-Qur'an.
Intan menyudahi bacaan Al-Qur'an karena mendengar suara ketukan pintu rumahnya. Ia bergegas membuka mukena lalu mengenakan hijab yang biasa ia kenakan sehari-hari.
Ia membuka pintu, ternyata yang datang adalah pak RT dan pak ustadz beserta istri dan anaknya yang sering main dengan Gita.
"Assalamualaikum mbak Intan," sapa pak ustadz dan pak RT berbarengan.
"Wa'alaikumsalam, pak, Bu," jawab Intan sembari tersenyum ramah.
"Bu Intan, Gita mana?" tanya Adinda, putri pak ustadz yang usianya terpaut dua tahun lebih tua dari Gita. Gadis itu mencium tangan Intan sopan.
"Gita masih tidur sayang," jawab Intan sembari mengelus kepalanya. "Mari pak, Bu, silakan masuk," kata Intan ramah.
Pak RT dan keluarga pak ustadz masuk ke rumah Intan lalu duduk di kursi ruang tamu. Mereka memberikan bingkisan pada Intan, katanya untuk Gita. Mereka juga meminta maaf karena tak sempat menjenguk ke rumah sakit karena satu dan lain hal.
Gita bangun saat ibunya sedang mengobrol dengan tamunya. Adinda segera memeluk Gita saat melihat teman yang sudah ia anggap saudara itu menghampiri.
Tetangganya, hanya pak RT dan keluarga pak ustadz yang sangat baik juga perhatian padanya.
Setelah mengobrol tentang banyak hal, akhirnya mereka pulang, mereka juga mendo'akan Gita agar secepatnya sehat.
"Gita cepet sembuh ya, nanti main lagi sama teh Dinda," ujar Dinda saat mau pulang.
"Iya teh," jawab Gita sembari melambaikan tangannya pada Dinda yang semakin jauh.
Intan bahagia, karena masih ada yang peduli padanya. Ia tak mau ambil pusing dengan orang yang tak peduli padanya, berharap orang-orang peduli padanya hanya akan membuat sakit hati saat realitas tak sebanding dengan harapan. Lebih baik dia fokus pada orang-orang yang sudah jelas sayang saja pada dia dan anaknya.
***
"Gimana ponakan om yang cantik, sudah sehat?" tanya Fathan sembari memangku Gita.
"Udah om, hari ini Gita dapet makanan banyak lho," papar Gita dengan logat anak seusianya.
"Iya kah?" tanya Fathan dengan ekspresi takjub agar Gita senang.
"Iya dong," jawab Gita lagi.
"Di minum mas teh nya," ucap Intan sembari menaruh teh manis hangat di atas permadani.
Sengaja Intan dan Fathan duduk di teras rumah beralaskan permadani, tujuannya agar orang-orang tak lagi memfitnah keduanya.
"Terimakasih mbak," jawab Fathan.
Gita bermain di halaman rumahnya. Rumah peninggalan Bayu yang ia bangun dari hasil kerja kerasnya.
"Mas, apakah mas Fathan ada di lokasi saat insiden kecelakaan mas Bayu terjadi?" tanya Intan tanpa basa-basi.
Fathan mendongak, kenapa tiba-tiba saja Intan menanyakan itu.
"Iya, ada," jawab Fathan.
Ternyata benar, Fathan ada di lokasi. Mata Intan basah, ia kembali mengingat suaminya. Begitupun Fathan, hatinya sedih mengingat saat-saat terakhir kakaknya dan kebodohannya.
"Bagaimana kejadian sebenarnya?" tanya Intan.
Fathan terdiam sejenak, pandangannya menerawang pada kejadian satu tahun yang lalu.
Rena terlilit hutang dengan nominal yang sangat besar. Saat itu Fathan ingin menolongnya karena lelah setiap hari harus berkejaran dengan debt kolektor. Namun, uangnya tak cukup untuk melunasi seluruh hutang.
Entah bujukan dari mana, Rena yang tahu tentang surat tanah milik almarhum ibunya Fathan, memintanya mengambil dari Bayu. Ya, Bayu yang memegang surat itu.
Saking cintanya Fathan pada Rena, ia setuju dengan usulan istrinya. Fathan menghubungi Bayu yang saat itu bekerja menjadi ojek online untuk bertemu.
Saat keduanya bertemu, Fathan menceritakan semua masalahnya. Bayu yang merasa iba akhirnya menyetujui dan membawa surat tanah itu, lagian Fathan hanya meminjamnya untuk digadaikan, ia berjanji secepatnya akan menebus.
Namun, keesokan harinya, hari yang seharusnya Bayu menyerahkan surat tanah pada Fathan, juga tepat di hari kematian Bayu. Dia mengurungkan niatnya, ia merasa berdosa karena kata ibunya, tanah itu harus di bangun masjid di atasnya. Atau di wakaf kan untuk pesantren, namun karena satu dan lain hal, Bayu belum juga merealisasikannya.
"Maaf Fathan, mas gak bisa kasih ini sama kamu," kata Bayu.
Mendengar perkataan Bayu yang tiba-tiba saja berubah fikiran, membuat emosi Fathan tersulut. Apalagi, dia lelah karena debt colector semakin brutal.
"Mas, aku tahu, tapi kan aku cuma pinjem, bukan mau jual tanah itu, masa gitu aja gak boleh sih," kata Fathan dengan nada tinggi.
"Bukannya begitu Fathan, tapi ini amanah terakhir ibu, mas gak berani mengkhianatinya." kata Bayu.
Lelaki itu merasa bersalah karena tak mampu menolong adiknya, namun ia lebih merasa berdosa karena tak menjalankan amanah ibunya untuk tidak menggunakan surat ini sebagai jaminan apapun. Karena ibunya khawatir nazarnya untuk mendirikan masjid di tanah itu tak terlaksana.
Fathan yang sudah di kuasai emosi akhirnya merebut paksa surat itu lalu membawanya pergi.
Bayu segera mengejar mobil adiknya dengan sepeda motornya. Namun semakin di kejar, Fathan semakin Meninggikan laju kecepatan mobilnya.
Hingga tiba-tiba saja Fathan mendengar suara benturan keras. Ia langsung menghentikan mobilnya dan turun. Ia melihat jelas sebuah mobil berwarna putih menabrak motor kakaknya hingga ringsek.
Fathan berlari kearah kerumunan. Ia melihat Bayu merintih kesakitan dari celah kerumunan. Melihat kakaknya kesakitan Fathan tak rela membiarkan pelaku tabrak lari itu kabur. Fathan berlari kencang untuk mengejar mobil yang menarik kakaknya agar bertanggung jawab. Namun nihil, mobil itu justru semakin kencang.
Saat Fathan kembali, kakaknya sudah di tutup oleh kertas koran. Semua yang menyaksikan kejadian itu tak ada yang berani melihatnya, Fathan menangis dan berteriak, ia merangsek ke arah jenazah kakaknya, namun dihalau oleh warga. Katanya biar polisi saja yang mengangkatnya.
Hal itulah yang sangat ia sesali seumur hidupnya. Andai saja saat itu dia tak mengejar pelakunya, andai saja jika dia langsung menolong kakaknya, mungkin kakaknya masih bisa tertolong.
Intan menangis tersedu mendengar jawaban Fathan. Airmatanya mengalir deras membasahi kedua pipinya. Begitupun Fathan, dia meminta maaf karena saat itu terlalu panik dan salah mengambil tindakan.
Sementara, di dalam sebuah mobil. Rena terbakar cemburu melihat Fathan dan Intan berduaan di teras rumah. Tangannya mengepal hingga urat-uratnya terlihat jelas.
"Aku akan buat perhitungan agar kamu gak dekati suami aku lagi, Intan," batin Rena.
Bersambung.