Fathan menjemput Gea tanpa di temani oleh Rena. Ia merasa senang karena sesuai rencana.
Sebelum berangkat ke rumah mertuanya untuk menjemput Gea, Fathan berhenti di toko kue, ia mencari kue terbaik untuk merayakan anniversary pernikahannya yang ke 6 tahun.
Setelah membeli kue, Fathan pergi ke toko bunga langganannya. Ia sering sekali memberikan bunga untuk istrinya. Fathan adalah suami yang sangat romantis.
Hari semakin sore, Fathan memilih untuk menjemput Gea terlebih dahulu, baru setelah itu ia akan mencari kado untuk istrinya bersama dengan Gea. Sebelumnya ia membeli martabak telor kesukaan bapak mertuanya. Fathan ingin sekali segera memiliki anak dari Rena, namun Allah belum memberikan kepercayaan pada mereka.
Sesampainya di rumah mertuanya. Fathan langsung menyuruh Gea bersiap-siap pulang. Gea ingin terus di rumah neneknya karena sekarang ia memiliki teman baru--sepupunya yang bernama Tari. Namun, saat Fathan menjelaskan akan memberikan kejutan untuk mamanya, Gea semangat untuk pulang.
Gea bersiap-siap membereskan pakaiannya. Sementara Fathan ngobrol dengan mertuanya di ruang keluarga. Rena berasal dari keluarga yang berkecukupan. Orangtuanya memiliki toko obat herbal sebagai pemasukan utama mereka.
"Mas Fathan, di minum dulu teh nya!" ucap Rima sembari menaruh teh manis hangat ke atas meja. Matanya terus memperhatikan Fathan seolah ia terpesona pada kakak iparnya itu.
Ternyata, Rima kembali ke kampung halamannya karena di Palembang suaminya sudah meninggal. Fathan merasa sangat tak nyaman dengan tatapan Rima.
"Iya terimakasih Rima," ujar Fathan.
Sementara itu Rima kembali pergi ke dapur untuk menaruh nampan. Di dapur, ia terus memikirkan Fathan, Rima mengkhayal jika ia menikah lagi, ingin memiliki suami seperti Fathan. Tiba-tiba hatinya merasa iri dengan kehidupan kakaknya yang beruntung.
Setelah Gea selesai mengemas pakaiannya, Fathan meminta izin pada mertua dan adik iparnya untuk pulang. Tak lupa ia menyelipkan uang seratus ribu pada Tari untuk jajan.
"Kira-kira baju ini cocok gak buat mama?" tanya Fathan pada Gea.
"Kayaknya enggak deh, coba yang ini, kayaknya ini lebih cocok buat mama," pilih Gea. Gadis kecil itu sudah mengerti fashion di usianya yang masih belia.
"Ih, anak papa pinter banget sih, sudah tahu mana yang cocok dan yang enggak," puji Fathan sembari mencubit gemas pipi Gea. "Ya sudah, papa ambil yang ini ya, kita jadiin kado buat mama," tambahnya lagi.
Fathan sangat bahagia karena Rena sudah berubah. Ia bahagia karena Rena sudah tidak melarangnya untuk bertanggungjawab pada Gita. Lelaki itu bahagia karena berusaha membuat orang yang berada dalam tanggungannya bahagia.
Setelah membeli kado, Fathan dan Gea membeli es krim lalu memakannya bersama-sama, Fathan mencolek es krim ke hidung Gea hingga gadis kecil itu tertawa kegirangan, Gea membalas mencolek es krim ke hidung Fathan hingga belepotan. Keduanya tertawa bersama. Gea bahagia karena papanya adalah lelaki terbaik dalam hidupnya.
Sementara, seorang pria mengenakan kaus hitam, memakai topi dan masker memperhatikan keduanya. Setelah itu lelaki misterius itu pergi dengan sendirinya.
***
Intan menangis di atas hamparan sajadah. Ia baru saja melaksanakan ibadah shalat magrib. Hatinya berkecamuk mengingat video yang di kirim Ambar. Video suaminya yang terseret jauh oleh sebuah mobil terus menari-nari dalam otaknya.
'kamu pasti kesakitan banget waktu itu mas,' batin Intan.
Dia berazam akan mencari keadilan untuk suaminya. Tadinya ia telah ikhlas, namun saat melihat langsung bagaimana suaminya meregang nyawa, dia ingin yang menabraknya itu mendapatkan hukuman setimpal.
Bahkan mobil itu terus melaju dengan kencang saat Bayu terseret tak berdaya. Tak mungkin jika pengemudinya tak menyadari bahwa ia menabrak sesuatu. Apalagi dalam hal ini manusia. Terbuat dari apa hatinya sehingga dia tak keluar sama sekali.
Meski pedih. Intan kembali memutar video itu, ia berharap menemukan petunjuk dari video itu. Airmatanya tumpah ruah seiring berjalannya waktu pemutaran video.
Namun, ada satu hal yang membuat nafasnya tercekat. Tiba-tiba saja Fathan berlari dari arah berlawanan, ia hendak menimbrung ke kerumunan, namun justru ia mengurungkan aksinya dan malah berlari.
Berkali-kali Intan memutar video itu untuk memastikan apakah yang berlari itu adalah Fathan atau bukan. Jika memang benar, mengapa ia justru lari? Bukankah seharusnya dia orang pertama yang menolong kakaknya.
Pikiran Intan kalut, ia menerka-nerka dan menghubungkan kebaikan Fathan yang ia rasa tiba-tiba. Atau jangan-jangan pelaku tabrak lari itu adalah Fathan?
Akal Intan tak lagi bisa mencerna. Hatinya bergemuruh, baru kali ini ia merasakan kemarahan yang sangat membuncah.
Namun lagi-lagi nuraninya menolak. Tak mungkin jika Fathan, apalagi Intan tak pernah melihat Fathan membawa mobil berwarna putih seperti mobil pelaku dalam video itu.
"Ma, Gita pusing, mual," ujar Gita sepulang ngaji dari rumah ustadz Musa.
Saking fokusnya pada video, Intan sampai tak tahu jika Gita sudah pulang. Ia tak mendengar salam ataupun ketukan pintu.
Intan segera menaruh ponselnya di laci. Ia tak ingin video itu di lihat oleh Gita. Dia masih terlalu kecil untuk melihat video tragis seperti itu.
"Gita pusing kenapa nak?" tanya Intan sembari memeluk dan mengelus kepala putrinya.
"Gak tahu ma," jawab Gita.
"Ya sudah, kalau gitu Gita bobo aja ya, semoga besok pusingnya hilang," ucap Intan. Ia membaringkan putrinya di kasur lalu menemaninya tidur. Wajah Gita sangat pucat, Intan begitu khawatir melihatnya.
Pagi sekali Intan bersiap-siap untuk kerja di restauran milik Thariq. Inilah kali pertama dia kerja di sana, ia berharap semoga dengan bekerja di tempat Thariq, perekonomiannya akan stabil.
Seperti biasa, Intan masak nasi goreng untuk sarapan putri tercintanya. Setelah itu ia menjemur baju, menyapu dan mengepel lantai agar saat di tinggal rumah dalam keadaan bersih untuk Gita bermain.
Namun betapa terkejutnya Intan saat mendengar Gita muntah-muntah di kamar.
Intan berlari menghampiri Gita. Muntahannya Gita berceceran di atas kasur dan lantai. Gita tak mampu bicara saking hebatnya muntah yang ia rasa. Wajahnya semakin pucat, matanya cekung kehitaman pertanda dehidrasi.
Intan menempelkan tangan di kening Gita, tubuhnya panas sekali. Intan semakin kalut dan khawatir.
"Gita, ya Allah kamu kenapa nak? Astagfirullah," lirih Intan panik. Karena panik ia bingung harus melakukan apa. Nafas Gita terengah-engah, sepertinya ia kesulitan bernafas karena muntah yang begitu dahsyat.
Intan berlari ke luar rumah. Ia meminta pertolongan pada tetangganya. Beruntung, saat ini tetangga sigap membawa Gita ke rumah sakit tanpa harus di gunjing terlebih dahulu.
Intan sangat menyesal. Harusnya semalam dia segera membawa Gita berobat saat ia baru mengeluh kesakitan. Namun, Intan justru mengira Gita hanya masuk angin biasa.
Intan terus berdo'a agar tak terjadi sesuatu yang serius pada Gita. Ia takut jika terjadi hal buruk pada Gita. Jika hal itu terjadi, ia tak akan bisa memaafkan kelalaian dirinya sendiri.
Intan di panggil dokter setelah Gita mendapatkan perawatan. Over dehidrasi membuat Gita sulit untuk di tusuk jarum infus.
Dokter menjelaskan bahwa Gita keracunan makanan. Mengingat usianya yang masih belia bisa saja Gita tak terselamatkan jika tak langsung mendapatkan penanganan.
Intan mengingat-ingat apa yang Gita makan. Rasanya dia selalu memberikan makanan yang baik dan selalu melihat tanggal kadaluarsa pada Gita.
Intan ingat, kemarin Fathan dan Rena datang lalu memberi Gita kue coklat kesukaannya, apa mungkin ini adalah rencana jahat Rena?
Bersambung.