2 tahun kemudian
"Nad, lama banget sih, nanti ayah marah loh!"
"Iya, lagi pakai sepatu."
"Nanti aja di mobil!"
Dengan satu kaki yang sudah memakai sepatu dan satunya lagi belum, aku berlari menuruni anak tangga dan keluar untuk menyusul ibu dan ayah. Hari ini Mas Aga dan Wila akan menjadi ibu dan ayah, dan kami harus segera ke Bandung karena mereka memang tinggal di sana.
Ayah dan ibu terlihat sangat antusias begitu juga denganku. Untuk kali pertama aku menantikan seorang bayi lahir ke dunia yang akan memanggilku dengan sebutan bibi, itu sesuatu yang sangat mengharukan.
Di dalam mobil tidak henti-hentinya ibu menyuruh ayah untuk lebih cepat karena mas Aga sudah dari menelepon dan meminta saran ibu. Aku yang juga sedikit frustrasi melihat keributan di dalam mobil, lucu juga melihat ayah dan ibu bersitegang karena menunggu kelahiran bayi. Aku mengulum senyum yang sangat dalam. Daripada menyaksikan mereka bertengkar lebih baik aku tidur sambil menunggu sampai ke rumah sakit.
"Nad, bangun dong, kamu bawa perlengkapan bayinya ya, ibu masuk duluan." Dari tadi aku memang hanya tertidur karena bingung mau melakukan apa, sekarang malah disuruh untuk membawa perlengkapan bayi yang besar. Sementara ayah juga berlari mengejar ibu.
Aku berjalan masuk sambil sedikit kepayahan memegang tempat tidur bayi ini. Padahal ibu dan ayah tadi tidak membawa apa-apa dan kenapa harus aku yang membawanya. Hal yang juga aku bingungkan adalah aku tidak mengetahui nomor berapa ruang bersalin Wila, eh maksudku mbak Wila.
Saat aku ingin mengeluarkan gawai hampir saja aku menjatuh tempat tidur bayi itu ke lantai. Ada seseorang yang menangkapnya, aku tidak melihat dengan jelas wajah orang itu karena sibuk menelepon. "Mas, ruang berapa sih?"
"503!"
"Tap…" belum selesai kalimatku sambungan telepon sudah diputuskan begitu saja, mas Aga benar-benar luar biasa. Seseorang yang tadi kusuruh untuk memegang perlengkapan bayi, langsung kuambil alih "Terima kas…" dan betapa terkejutnya aku melihat wajah dari laki-laki ini, persis sama seperti laki-laki yang kutinggalkan dua tahun lalu.
Aku hampir menjatuhkan barang bawaanku tadi tapi dia kembali langsung menangkap dan tersenyum padaku. Semesta seolah-olah berhenti dan tidak bergerak sama sekali. Dia yang selama ini masih terus kupikirkan apakah mungkin ini adalah bentuk halusinasi karena teramat merindukannya? Tapi ini sangat nyata.
"Hai." Hanya kata itu yang ia ucapkan setelah kami tak pernah bertukar pesan apalagi berhadapan.
"Sekarang, sudah siap untuk menikah, Nadir Sakinah?"
Dengan sangat mudah kepalaku mengangguk dan menangis, lagi. Dia menepuk pundakku pelan berusaha untuk membuatku tenang. Aku menatap wajahnya, "Apa ini yang terakhir?"
"Iya. Aku tidak akan pergi dan kamu juga jangan pernah. Kalau pun aku pergi, itu pasti denganmu. Ini aku bawakan."
"Sebkos?"
"Iya, kamu masih suka laut, kan? Jadi, cincin yang terbuat dari kulit kerang adalah mahar paling mahal sejagat raya."
"Selamanya akan begitu. Meski kutahu angin akan datang, badai akan menerpa, ombak akan tinggi atau bahkan petir menyambar dari arah mana saja. Aku tak lagi mencemaskan itu selama kita berada di kapal yang sama. Sebentar, kamu pindah ke rumah sakit ini sejak kapan?"
Kami tersenyum bersama dan saling menatap, tidak ingin kehilangan sedetik pun. Benar, Tuhan sudah mempersiapkan kejutan tanpa ada satu pun manusia dapat mengira. Cinta bukanlah sesuatu yang murah, dia terlalu mahal, aku beruntung terlahir sebagai seseorang yang tidak mudah didapat dan luar biasa, NADIR.
TAMAT