webnovel

14

Tersadar dari tidur ketika mendapati ibu baru saja mengantarkan susu dan roti isi, belum sempat dia melewati pintu "Bu.." panggilku dengan suara lemah. Ia berbalik dan tersenyum.

"Kenapa, Nad?"

Aku langsung memeluk tanpa kata, meluapkan segala bentuk kekecewaan yang bersarang pada diriku. Ibu menepuk pelan punggungku menambah kesan sedih untuk pagi pertama di rumah yang seharusnya kurindukan. Perlahan kulepaskan pelukan pada ibu dan ia tetap membelai rambut panjang dengan begitu tabah.

"Ibu tahu?" ia mengangguk mantap "Lalu, kenapa?" balasku dengan penuh kecewa.

"Bahkan ketika ibu mengatakan semua dari awal, itu tak akan membantumu untuk menyelesaikannya, Nad. Dia akan tetap pergi dan kamu juga akan tetap pergi."

"Ibu gak suka sama Deka?"

"Bukan. Tak sekali pun ibu mengatakan itu. Ibu juga tidak pernah merahasiakannya, semua berjalan sesuai keinginan dia. Dia memang tidak menyuruhmu untuk pergi tapi dia juga tidak mengikatmu, Nad. Itu artinya dia akan merelakan bahkan ketika hal itu akan menyakiti."

Bagaimana bisa aku memaknai pagi adalah sebuah keindahan jika semua pagiku hanya berisi penyesalan? Tidak ada yang ingin aku jelaskan lagi.

"Jadi, apa yang harus Nadir lakukan?"

"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Nad. Tinggal kamu mau atau tidak. Ibu tidak mau menjadi ibu yang gagal ketika membatasi cinta dari anaknya sendiri!"

***

Dahan pohon mangga di belakang rumah bergoyang tak tentu arah dibuat angin yang begitu kencang. Cuaca sering berubah-ubah apalagi di musim pancaroba begini. Tak terasa sudah tiga bulan aku berada di Indonesia. Pertunanganku dengan Genta akan dipercepat, minggu depan akan ada pertemuan keluarga yang membahas tentang pernikahan kami. Aku tidak bersemangat untuk sekadar memikirkannya, lebih menyenangkan mencium aroma laut.

Aku sudah mengatakan pada Genta untuk mengundur hari itu, bukan apa-apa, aku hanya ingin belajar lagi. Di usia yang sekarang, kurasa bukan hal sulit untuk kembali melanjutkan pendidikan.

Jika menyangkut seseorang dari masa lalu, akhirnya, sudah kututup bab tentang Deka jauh ke halaman yang tak bernomor. Aku bahkan tak lagi menginginkan baris tentangnya. Ia tak boleh menorehkan ceritanya lagi. Tuhan yang maha baik telah mengatur, bahwa kisah-kisah pelik tentang aku dan dia memang harus diakhiri dengan kecelakaan tempo hari, takdir duka yang membawa kebaikan.

Ibu mengajak ke dapur sekadar memperhatikan ia memasak. Genta tak pernah memaksa untuk pintar memasak karena dia sudah menguasai itu daripada aku. Wajar saja dia jauh dari orang tua hampir satu decade apalagi di negara yang kultur dan budayanya berbeda jauh.

Kulihat mas Aga mengambil air mineral dari dalam kulkas "Mas, kenapa mas gak protes sih, karena Nadir yang duluan nikah?" ucapku seraya terus memotong bawang dan berusaha menahan air mata. Mas Aga tidak langsung menjawab pertanyaanku, dia berhenti minum. Tiba-tiba ibu menyikut lenganku dan segera kualihkan pembicaraan tapi dia masih saja berdiri dan terdiam.

"Mas, kamu mandi gih, kamu harus balik ke Bandung, kan?" ibu mulai menanyai Mas yang dari tadi tidak bicara.

"Nad…" Tiba-tiba aku deg-degan mendengar nada bicaranya yang sangat dingin itu,

"Mas, gak tahu sampai kapan akan tetap seperti ini…" aku tidak menjawab apa-apa dan semakin merasa bersalah "Ditinggalkan memang bukan sebuah pilihan, memutuskan untuk pergi juga bukan kemauan hati. Tapi, tidak mungkin kita terus bertahan di situasi yang sulit. Itulah kenapa sampai saat ini Mas tidak bisa mencari orang baru karena dia sudah mati di hati, mati dan hati ini tak akan berpaling lagi."

Apa yang barusan Mas katakan adalah sesuatu yang tulus dan benar-benar dari hatinya. Selama ini dia hanya memberiku kalimat layaknya apa yang dikatakan seorang saudara laki-laki kepada adik perempuannya yang sedang patah hati. Semua saudara laki-laki akan melakukan hal yang sama. Tapi untuk kali ini dia berhasil, berhasil mengeluarkan yang selama ini ia pendam dan tidak ada satu pun orang mengetahuinya.

Dia memang pernah jatuh cinta dan kurasa dia jatuh sejatuh-jatuhnya pada perempuan yang dia kenal saat Sekolah Menengah Atas. Aku tidak ingat perempuan itu dan fotonya masih ada di dompet Mas Aga bahkan sampai saat ini.

"Mungkin kasusnya berbeda dengan yang sekarang kamu rasakan, Nad. Karena perempuan ini pergi bukan keinginannya tapi Mas yang membiarkannya pergi. Sampai sekarang mas juga merasa masih ada hal yang belum selesai. Jadi, sehari setelah mas menginjakkan kaki ke sini, mas cari dia. Ketempat yang selalu kami datangi dan terakhir ke rumahnya. Ternyata dia sudah pulang ke tempat yang jauh, yang hanya bisa dijangkau dengan doa. Dia meninggalkan suaminya dan seorang anak perempuan. Itulah kenapa mas sangat menyuruhmu untuk menyelesaikan semuanya, sebelum berakhir sama seperti mas. Apa pun jawaban yang akan kamu dapatkan nanti, percayalah itu lebih baik daripada pergi tapi masih bertanya."

Dari kalimat awal yang Mas katakan, sebenarnya aku sudah berhenti memotong bawang. Sama seperti ibu dia juga diam membeku tanpa mengatakan apa-apa. Aku menangis juga bukan karena bawang sialan ini, Mas Aga menanggung rasa sakit sedalam itu, sendirian.

"Nad, gak siap menyakiti orang lain."

"Lantas, kamu pikir mereka tidak akan tersakiti kalau tahu kamu seperti ini? Tidak ada laki-laki yang mau menikah dengan perempuan yang hatinya masih ada orang lain. Dan tidak akan ada juga laki-laki yang rela cintanya diambil orang lain. Nad, ini seruan terakhir, sebelum semakin jauh. Sebagai satu-satunya saudaramu dan sebagai laki-laki yang mengenalmu, hatimu harus istirahat. Cari tempat yang paling nyaman."

Aku langsung bangkit dan berlari masuk ke dalam kamar. Tidak ada yang mampu kukatakan, semuanya terasa semakin menggila. Aku menangis dengan hebat dan mengutuk semua perilaku bodohku.

Dering telepon membangunkanku. Selalu seperti ini, aku akan tidur ketika kelelahan setelah menangis dan selalu bangun dengan mata yang membengkak. Nama yang tertera di ponselku adalah Genta. Entah apa yang ingin dia ceritakan, aku tidak berniat untuk mengangkatnya kemudian kulanjutkan untuk tidur. Tapi bukan Genta namanya jika dia putus asa begitu saja. Ponselku terus saja berdering, Genta…

"Hai, calon istri…"

Aku tidak menjawab apa pun, masih syukur aku mengangkatnya. Jika tidak ada yang penting aku akan kembali tidur dan mematikan ponsel.

"Jangan dimatikan dulu ya Nad,"

"Kenapa?"

"Aku di depan kamar kamu!"

"Gila!" sahutku setengah berteriak dan langsung mengibaskan selimut.

"Serius, kamu yang keluar atau aku yang masuk ke dalam?"

"Eh, eh, iya sebentar. Kamu tu ya!" Ada saja hal yang dilakukan Genta, bukannya dia masih ada jam praktik, ya? Untuk apa dia datang ketika wajahku bengkak seperti ini.

Kuambil masker lalu menutupkan ke wajah. Kemudian membuka pintu kamar, benar saja. Sudah berdiri seorang laki-laki dengan kemeja abu-abu sambil menenteng jas putihnya, tersenyum dengan sangat manis tapi aku tidak merespon apa-apa.

"Apa lagi?"

"Salah ya, calon suami datang ke rumah calon istrinya?"

Aku diam saja dan menghentikan langkah di pertengahan anak tangga. Aku? calon istri? Bagaimana itu bisa terjadi jika hatiku tak tahu apa keinginannya?

"Haha. Digoda gitu aja lemah, gugup ya?" goda Genta sambil mencolek pinggangku.

"Apa sih, Ta!" jawabku ketus dan terus saja berjalan. Kulihat sekeliling ibu juga sedang tidak ada di rumah. Genta dengan mudah masuk ke rumah mungkin juga karena suruhan ibu.

"Kenapa pakai masker?"

Dengan cepat kilat aku menghentikan gerakan tangan Genta yang ingin mencopot maskerku. Yang benar saja dia melihat wajah konyolku sehabis menangis tadi. "Kamu tu ya, udah deh. Aku lagi malas bicara!"

"Nad, kayanya pertemuan keluarganya kita undur aja ya?"

"Kenapa?" aku sontak melihat wajah Genta yang menyiratkan sedang terjadi sesuatu. Tapi kuatur sedemikian rupa agar suaraku tidak terdengar aneh dan khawatir.

"Aku akan kembali ke Amsterdam, karena masih ada berkas yang belum kupenuhi. Mungkin akan memakan waktu sebulan, gimana?"

Entah kenapa aku merasa senang dengan apa yang baru saja Genta katakan. Semoga perasaan ini karena aku belum siap menjadi istri yang baik bukan karena perasaanku yang sudah dimiliki orang lain. "Nad?"

"Eh, iya. Ta, kenapa?"

"Kamu lagi sakit ya? Kamu pusing, lagi?"

"Sedikit, Genta. Tapi karena aku sibuk belajar akhir-akhir ini. oh, itu… yauda kalau kamu mau pergi ke sana lagi, aku gak mau nikah sama laki-laki yang gak ada kerjaannya!" Jawabku dengan suasana hati yang cukup cerah. Aku sengaja mengatakan itu agar Genta tidak merasa khawatir. Genta hanya tersenyum menanggapi apa yang baru saja aku ucapkan.

"Aku tahu. Yang baru saja kamu sampaikan adalah benar. Kamu memang sedang kesenangan. Entah apa itu yang jelas aku sudah memberimu waktu. Jika nanti setelah aku kembali dan kamu tidak juga menyelesaikannya, sudah kupastikan laki-laki itu akan kuenyahkan dari duniamu. Nad, kamu harus berjuang selama aku pergi, memperjuangkan perasaanmu, karena selama ini kita tidak pernah melakukan apa-apa, kamu masih memikirkan laki-laki itu. Selesaikanlah, hanya sebulan!" Seruan dari hati seorang laki-laki yang tidak tahu harus mengorbankan apa lagi, karena tujuan terakhirnya adalah membahagiakan cintanya meskipun kebahagian itu bukan dia.

Aku sedang bersiap di depan cermin memantaskan pakaian yang aku kenakan. Dengan kemeja biru tua dan celana panjang lengkap dengan tas berwarna putih gading. Hari ini aku akan mengantarkan Genta ke bandara.

Untuk mengiyakan permintaan Genta aku harus meyakinkan diri berulang-ulang kali. Aku sangat malas untuk pergi ke tempat itu, tempat yang memisahkan banyak orang dengan orang yang dicintai. Berusaha menjadi pasangan yang baik untuk Genta agar semuanya tidak terasa menyedihkan. Menutupi perasaan bukanlah hal yang mudah.

Suara klakson dari luar rumah, segera kuturuni anak tangga dan berpamitan dengan ibu. "Genta, kamu baik-baik di sana ya!"

"Iya bu, Genta cuma sebulan kok dan kalau bisa lebih cepat Genta akan langsung pulang."

Melihat Genta menyalami ibu dengan sangat sopan dan ibu menepuk pelan pundak Genta. Seolah-olah mereka akan berpisah dengan waktu yang lama, dan entah kenapa aku merasa biasa saja, tidak ada sedih-sedihnya.

Aku memasuki mobil lebih cepat dari Genta. Memberi waktu untuknya pamit pada ibu. Genta adalah orang yang sangat ribet, dia datang hanya untuk menjemputku dan mengantarnya ke Bandara. Saat kutanya alasan, dia hanya mengatakan bahwa 'cinta harus diakhiri meski hanya satu pihak'.

Selama di jalan belum ada percakapan yang kami ciptakan. Dia masih fokus dengan jalanan dan aku yang menatap keluar jendela mengamati jalanan yang cukup tenang.

"Kamu bisa tidur dulu."

"Ngobrol kali Ta, untuk apa kamu minta aku antar ke bandara padahal kamu gak bicara sama sekali."