Pria ini begitu harum, bersih, dan bergairah besar, itu yang mampu ku pikirkan saat ini. Aku merasa tangannya menarik handle pintu di belakang punggungku sementara tubuhnya terus mendesak tubuhku hingga aku terhuyung mundur tapi tak sampai terjatuh karena satu lengannya setengah mengangkatku. Mungkin aku terasa seringan kertas baginya karena terlalu kurus saat ini.
Mr. Christ menjatuhkanku tepat di sebuah sofa panjang dengan sangat lembut dan terus mendesak untuk menciumku, tapi kemudian semuanya berakhir karena aku tidak merespon semuanya. Dia seolah baru saja terbangun dari hipnotis dan tersadar, kemudian bangkit dari posisinya.
Dia menatapku dalam, kemudian kulihat rahangnya mengeras sekilas.
"Harusnya kau tidak menemuiku selarut ini." Ujarnya dengan suara berat yang mengintimidasi. Aliran darahku berdesir saat aku mendengar suara itu seolah masuk dan menuasai seluruh pikiranku dan membuatnya kosong, yang tersisa hanyalah gaung suara pria tampan itu.
Lidahku seperti membeku dan sulit untuk berkata-kata, hingga akhinrya yang terdengar hanyalah sebuah desisan perlahan, yang tidak berarti apa-apa, namun suaranya kembali terdengar di telingaku, dan kembali membuat aliran darahku berdesir, sebuah permintaan maaf darinya, "Maaf untuk yang terjadi barusaja." Katanya.
Aku bangun perlahan dengan sekuat tenagaku dan berdiri menatapnya. "Maaf, ini salahku." Sesalku. "Benar yang anda katakan, seharusnya aku tidak mengundang masalah." Sesalku sekali lagi. Tidak ada lagi harga diri yang tersisa bagiku untuk tetap berdiri di hadapan pria sempurna itu. Aku berlalu dari hadapannya tapi tangannya memegang tanganku seketika itu dan lankahku terhenti karenanya. Aku berbalik dan menatapnya, dia juga menatapku tapi kami membeku.
Mata kami saling bertaut dan seolah menelanjangi niat hati satu dengan yang lainnya. Aku begitu menginginkan sentuhan pria itu, entah mengapa saat jemarinya menyentuh sudut wajahku dan kemudian ke arah bibirku, dengan tidak tahu malu aku bahkan menginginkan sentuhan yang lebih. "Kumohon jangan bersikap bodoh." Aku berbisik pada diriku sendiri.
Sementara dia terus menatap dan rahangnya mengeras sekilas, "Saya permisi." Sesaat kemudian aku menarik tanganku dan keluar dari ruangan itu. Tatapan matanya saat menatapku terakhir kali benar-benar tidak bisa kulupakan. Sial.