webnovel

My Soully Angel (Jodoh Sang Dewa Api)

Yafizan - Diturunkan ke bumi akibat serangan fatal dari kekuatannya membuat seorang gadis meninggal karena melindungi adik calon suaminya. Dia selalu bersikap arogant dengan emosi yang meluap - luap karena sifat alami apinya. Tinggal di bumi hampir seribu tahun lamanya bersama asisten yang diperintahkan untuk menjaganya selama di bumi. 1000 tahun kemudian dia dipertemukan dengan reikarnasi gadis yang tanpa sengaja diserangnya, dan gadis itu selalu menolongnya sedari kecil - Soully. Kejadian tak terduga membuatnya keduanya terikat dalam pernikahan.

GigiKaka · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
100 Chs

Bab 65

"Kau memang menyebalkan!" bentak Yafizan.

"Kau yang menyebalkan! Bagaimana bisa kau tak mengenali orang asing? Apalagi terhadap kekasihmu sendiri." Tak mau kalah Malika membentak Yafizan. Yafizan mengalihkan pandangannya. Malu.

"Dasar kerbau!" dengusnya meledek saat mengingat Malika mencicipi setiap jenis makanan yang ada di pasar raya.

"Apa? Kerbau? Kau ini benar-benar ya! Dasar banteng!" Malika geram.

"Banteng? Hah, orang setampan diriku ini kau bilang banteng?"

"IYA! Apa namanya kalau bukan banteng? Main serang mencium orang sembarangan!"

Yafizan menelan salivanya. Ia tak bisa berkutik lagi dengan apa yang diucapkan Malika. Dengan salah tingkah, ia melihat ujung sepatunya yang kotor terkena tumpahan kuah pedas tadi. Kesalnya yang dibuat-buat karena malu, ia melepas sepatunya yang kotor. Meninggalkannya begitu saja.

"Mayra, aku bisa menjelaskan," ujarnya gugup berharap Mayra mendengarkan penjelasannya. Dengan tubuh tegapnya dan tangan kirinya yang ia taruh ke belakang, Yafizan berjalan melewati Mayra. "Ayo, kita pulang. Ibu sudah lama ingin bertemu denganmu," ajaknya.

Mayra masih tak bergeming, ia melirik ke arah Erick yang berada di sebelahnya. Erick memberi anggukan kepala dan mengedipkan kedua matanya tanda agar Mayra menuruti Yafizan.

Dengan menuruti isyarat Erick, Mayra mengikuti langkah Yafizan dari belakang tanpa mengalihkan pandangannya menatap Erick. Erick mengikuti Mayra berjalan berdampingan.

Seorang pengawal berlari tergopoh karena merasa tak enak ketika tuan mudanya berjalan tanpa alas kaki.

"Tuan, anda tunggulah di sini. Hamba akan membeli sepatu sementara untuk Tuan pakai. Atau apa perlu hamba ambil dan bersihkan sepatu anda, Tuan? " ucap sang pengawal.

Di lap saja sepatu anda masih bisa dipakai, Tuan Muda. Dari pada anda harus berjalan tanpa alas kaki, tindakan anda membuat kami para pencari nafkah akan mendapat hal yang dapat menyulitkan kehidupan kami.

Yafizan menghentikan langkahnya, diikuti hentian langkah kaki orang-orang yang mengikutinya dari belakang.

"Tak perlu. Aku enggan memakai kembali barang yang sudah kubuang. Apalagi barang yang sudah ternoda oleh orang asing," ujarnya mencibir.

Kembali mereka melanjutkan langkahnya. Sejenak mereka melupakan Malika yang sedang berdiri mematung dengan menahan emosinya yang sedari tadi ditahannya. Ia sudah mengepalkan kedua tangannya. Tak satu pun dari mereka memperhatikan dan mempedulikannya. Apalagi pangeran, tuan muda sombong itu tak meminta maaf atas perlakuannya yang sembarangan. Alih-alih meminta maaf, dia malah mengolok-ngoloknya. Bahkan semacam hinaan yang secara langsung ia lontarkan padanya.

BRUKKK!

Sepatu bernoda kuah pedas itu mengenai punggung bidang sang tuan muda.

Bagaikan dejavu, kejadian itu mengingatkan pertemuan Soully dan Yafizan pertama kali.

***

Soully mengernyitkan dahi dalam tidurnya, ia terlihat begitu gelisah. Mulut mungilnya terus memanggil bagai mantra. "Paman...Paman..." perlahan ia meneruskan kembali mimpinya. Peluh sudah membasahi keningnya padahal ia tertidur di bawah lantai marmer yang dingin.

***

Seketika Yafizan menghentikan langkahnya kembali. Bersamaan dengan Mayra dan Erick juga para pengawalnya. Menoleh ke arah siapa pelaku tak sopan dan kurang ajar itu. Tatapan mereka antara kaget juga menahan tawa. Tak disangka gadis kecil duplikat Mayra itu yang melakukannya.

Tak sedikit pula rasa takut di antara para pengawal itu. Pasalnya tak ada satu orang pun yang berani melakukan hal kurang ajar pada tuan mudanya. Apalagi ini dilakukan oleh seorang gadis kecil dengan sikap cerobohnya, membuat tuan mudanya pasti marah besar.

Matilah kau gadis kecil.

Yafizan membalikkan badannya, berjalan kembali menghampiri Malika. Raut wajahnya sudah dipenuhi aura ingin menerkam bahkan membunuh mangsa yang ada di depannya. Ia mendengus kesal, telapak tangannya sudah mengeluarkan cahaya jingga, seperti ingin melampiaskan emosinya saat ini.

"APA?!" Malika sudah mendongakkan kepalanya, menantangnya berani padahal sebenarnya ia takut.

"KAU! Dasar kerbau!!" dengusnya menahan amarah. Dengan tangan yang hampir mencengkram Malika. Malika menundukkan kepalanya, melindungi diri.

Mayra tersadar, jika ia bersama Malika saat ini. Ia melupakan calon kakak iparnya yang polos itu. Segera ia berjalan cepat menghampiri ke arah dua orang yang sedang berseteru itu.

Apalagi ia melihat cahaya jingga yang sudah melingkupi telapak tangan tunangannya. Bagaimanapun, ia tak ingin Malika terluka. Walaupun siapa yang peduli jika ia memang terluka. Kakaknya Miller, calon suami Malika itu pun takkan mempedulikannya.

Erick menyaksikan moment penuh drama yang sudah rumit ini. Tanpa ia sadari, sebuah senyuman tersungging di sudut-sudut bibirnya ketika ia melihat tingkah Malika yang menurutnya konyol.

Mereka baru bertemu, namun seolah mereka sudah mengenal lama. Tak menyangka pertemuan pertama mereka akan se-dramatis ini.

Mayra menyentuh bahu Yafizan. Yafizan menoleh pada tangan yang sedang menyentuhnya. "Maafkan saudaraku ya," ucapnya pelan, menenangkan jiwa yang sedang dirundung amarah itu. "Ayo, sebaiknya kita segera menemui ibumu. Bukankah beliau ingin bertemu denganku?" ajak Mayra. "Tapi, bolehkah aku mengajak Malika?" imbuhnya.

Sejenak Yafizan menatap kembali gadis kerbaunya itu saat ia begitu terkesiap mendengar nama Malika. Tanpa berkomentar ia menuruti apa yang dikatakan Mayra. Ia berlalu, tanpa fikir panjang ia segera mengenggam erat tangan Mayra, namun cahaya jingga di tangannya tak kunjung menghilang. Bahkan semakin terasa, seolah ia ingin melampiaskan bara api dalam jiwanya itu. Mayra meringis kesakitan karena terasa panas menyengat pada telapak tangannya.

"Akh, aww." Mayra terlonjak segera melepas genggaman tangannya dari Yafizan karena rasanya seperti tersengat bara api. Erick dengan sigap memberi perhatian ekstra untuk wanita yang dicintainya itu.

"Maaf." Penuh rasa sesal Yafizan sungguh tak ingin Mayra terluka. Ia ingin memberi perhatiannya, namun diurungkannya kembali karena takut menyakitinya. Segera ia berjalan menjauh, rasa bersalah menggerogoti separuh raganya.

Bagaimana mungkin ia menjadi suami yang baik, sedang saat ini saja ia menyakiti calon istrinya. Bahkan bukannya membaik, perasaan emosionalnya semakin membuat ia ingin melampiaskan amarah yang bersemayam dalam dirinya, karena itu satu-satunya cara agar cahaya jingga di tangannya mereda.

Dengan langkah gontai, ia berjalan mendahului meninggalkan mereka. Matanya diselimuti amarah namun menyimpan kesedihan yang mendalam.

Apa gara-gara ini, Mayra calon istrinya itu selalu menghindarinya? Apa dirinya bagaikan monster jahat yang sekali-kali bisa menyerang dan menyakitinya seperti sekarang?

Malika yang berjalan mengikuti arah mereka menatap sendu wajah Yafizan yang terlihat begitu sedih. Rasa kesal dan jengkelnya akibat kejadian tadi, luruhlah sudah. Rasa bencinya berubah menjadi rasa iba. Bergantian ia menatap dua sejoli yang sedang dipadu kasih. Erick memberi perhatian kepada Mayra.

Sikap Erick tidak menaruh rasa curiga maupun cemburu pada diri Yafizan, karena mereka sepupu yang begitu dekat dan sudah berteman sedari kecil bersama Mayra juga Miller.

Yafizan berjalan memimpin di depan. Sebagian para pengawal berjalan di depan untuk penjagaan, sebagian lagi di samping serta di belakangnya, berjalan saling berjauhan. Karena mereka tahu, tuan mudanya jika belum menyalurkan energi panasnya itu, maka tak ayal salah satu dari mereka akan menjadi korban pelampiasannya.

Tuan muda itu semakin sedih, ia sungguh mengetahui gelagat-gelagat serta gerak gerik para pengawal serta orang-orang yang mengikutinya merasa takut padanya. Langkah mereka pun melambat, menjaga jarak dengan tuannya. Semakin ia mengepalkan tangannya, cahaya jingga itu semakin terpancar jelas. Orang-orang yang mengikutinya semakin takut. Malika menyaksikan bagaimana orang-orang di sekitarnya, termasuk tunangannya sendiri, sungguh menjauhi lelaki yang sedang berjalan gontai itu tanpa memakai alas kakinya. Tak lupa ia mengambil sepatu yang dilemparkannya tadi. Berjalan mengikuti dari belakang, Malika menenteng sepatu itu.

Sungguh pria yang malang...

Hingga mereka telah sampai di gerbang utama istana, seorang pengawal penjaga pintu membukakan gerbang istana, memberi penghormatan kepada tuannya beserta para tamunya. Sikap yang ditunjukkan oleh sang penjaga itu sama halnya dengan yang lain, rasa takut terpancar ketika ia melihat tuannya mengeluarkan cahaya jingga yang sudah membara dari telapak tangannya. Penjaga itu menundukkan pandangannya.

Sementara para pengawal yang tadi menemaninya, sudah berpencar, berlari terbirit-birit segera menghindar mengantisipasi diri dari amukan tuan mudanya. Erick sudah mengajak Mayra masuk terlebih dahulu meninggalkan Yafizan yang sedang menatap tajam sang penjaga gerbang. Dilihatnya satu persatu orang-orang yang menghindarinya dan para penjaga yang sudah berbaris menyambutnya dengan kepala menunduk takut. Malika yang sedari tadi di belakang mereka, masih memperhatikan sikap orang-orang di sekitarnya.

"Ck, lihat, apa aku sebegitu menakutkannya sehingga kalian menghindariku?" Yafizan berdecak kesal. "JAWAB!!" teriaknya pada seorang penjaga yang ada di hadapannya.

"Ti-tidak, Tuan Muda." Dengan takut penjaga itu menjawab.

"Kalian takut karena bara api ini? Takut jika aku melampiaskannya pada kalian?" desisnya mengintimidasi. Wajahnya sudah mendekat seakan ingin menerkam. "Yah, kalian benar, bara apiku bisa mereda jika aku sudah melampiaskannya. Kau tahu, bahkan aku menyakiti tunanganku sendiri dengan telapak tangan sialan ini dan dia..." lirihnya tertahan. "Dia...takut padaku! He..he.." kekehnya sedih.

"Dan sekarang, kalian menunjukkan hal yang sama padaku? HAH!" ucapnya lagi mulai emosi, para pengawal sudah melangkah mundur perlahan menjauh. Hanya orang yang ada di hadapannya kini seakan terjebak.

.

.

.

"Kalian sudah datang?" sahut seorang wanita paruh baya yang cantik menyambut kedatangan Mayra dan Erick. "Kalian hanya berdua? Ke mana anak nakal itu?" tanyanya sambil mencari-cari Yafizan.

"Bibi dia..." gugup Mayra menjawab.

"Apa dia membuat masalah?" tanya wanita itu. Ibunda ratu, Mrs.Nichole.

Ia melihat tangan Mayra yang sedikit melepuh. Ia sudah menduga apa yang terjadi. "Apa yang terjadi? Apa ini menyakitkanmu, Sayang?" perhatiannya meraih tangan Mayra, mengusapnya sayang lalu menyembuhkan lukanya hanya dengan sekali usap.

"Terima kasih, Bibi." Mayra berhambur memeluk calon ibu mertuanya.

"Sudah kewajibanku agar melindungimu, Sayang." mengusap pipi Mayra. "Tolong maafkan anakku. Di mana dia?" tanyanya.

"Mungkin masih di depan, Bibi. Kami takut, tatapannya seolah akan menerkam kami," ucap Mayra dengan ekspresi takut. Ia menggenggam tangan Erick, Erick mengusap tangan Mayra dengan tenang, tatapan mereka penuh perhatian. Ibunda ratu menatap sendu kedua sejoli itu, ia tahu jika mereka mempunyai hubungan yang tak biasa.

Bagaimana mungkin, mereka berani melakukan hal itu di hadapanku. Takut? Bagaimana dengan perasaan putraku? Seharusnya dia mendapat perhatian yang selayaknya.

Ibu ratu melangkah mundur, diikuti sang dayang pergi meninggalkan mereka yang tak menyadari kepergiaannya. Matanya sudah berkaca-kaca. Meratapi nasib anak semata wayangnya yang kurang beruntung soal cinta. Walaupun banyak gadis yang mengantri ingin mendapatkannya. Tapi, ketika mereka mengetahui soal emosi putranya, mereka ketakutan. Hilang sudah image pangeran paling tampan di seluruh negeri itu

"Yang Mulia, apa anda baik-baik saja?" tanya sang dayang yang usianya sudah setengah baya itu, merasa iba melihat sang ratu yang bersedih.

"Menurutmu, ibu mana yang akan senang jika putranya..." jawab sang ratu tertahan. Ia memejamkan mata, menghela nafas dalam, menenangkan emosinya. "Sudahlah, kita sebaiknya ke depan. Aku takut terjadi hal-hal yang tak diinginkan, aku sebagai ibunya pun tak bisa meredakan emosinya. Apalagi sekarang Yang Mulia Raja sedang tidak ada," ajaknya semakin mempercepat langkahnya.

***

Bersambung...