POV Kayla
Aditya mengantarkanku ke rumah. Kini hanya dia hanya memegang kendaraanku setelah dia di usir dari rumahnya. Mungkin benar Aditya memendam cintanya dari dulu. Kenapa pula aku harus mengikuti keinginan ayahnya itu jika sekarang kita menikah meskipun tanpa restu darinya.
Aku membuka pintu. Melihat ke arah belakang, Vina berjalan dengan ekspresi wajah kesal. Aku mengerutkan keningku.
"Kamu kenapa?" tanyaku heran melihatnya.
"Tadi aku berjalan saat menuju ke sini," kata Vina. Aku mendengarkannya dengan sesama. "Mereka bilang kamu menikah tanpa restu dari keluarganya Adit, bisanya hanya menggosip saja. Tidak ada pekerjaan lain apa mereka? Jadi kesal sendiri, kamu tidak risi apa punya tetangga seperti itu?"
"Ha-ha, sudahlah biarkan mereka bicara apa. Mari kita sambung kerjanya," kataku menenangkannya sambil merangkulnya membawanya masuk.
Asyik menggambar, Vina tiba-tiba membuka pembicaraan.
"Bagaimana rasanya malam pertama?"
"Apa sih?" sahutku.
"Ayo cerita bagaimana? Bikin ketagihan tidak? Enak enggak? Atau ada rasa sakit?"
"Banyak sekali pertanyaan yang kamu lontarkan. Aku harus menjawab yang mana dulu?"
"Ha-ha. Baiklah, ayo ceritakan."
"Hemm, enak," aku jadi teringat malam itu.
"Ciee pipinya merah seperti tomat, ha-ha."
Vina terus menertawakanku yang membuatku salah tingkah. Ponselku berdering. Terlihat nama Raka di layar. Aku melihat ke arah Vina yang kembali fokus pada kerajaannya. Memencet tombol hijau lalu menempelkan benda pipih itu di telinga kiri.
"Laki-laki itu sudah tidak tinggal di rumahmu kan? Maaf kemarin aku tidak menghubungimu karena kemarin aku harus mendadak keluar kota," katanya setelah aku mengangkat teleponnya.
"Ya, tidak apa-apa. Maaf aku lupa tidak memberitahumu karena aku tahu kamu pasti sibuk, ..."
"Dia tidak macam-macam sama kamu kan? Waktu itu kamu sama dia pergi ke mana?"
"Aku sama dia sudah menikah." Raka tidak meresponsnya. Dia diam sejenak. Lalu pamit dan menutup teleponnya.
Vina yang mendengar itu bilang bahwa dia kemarin tidak memberitahu Raka karena mengira aku sudah memberitahunya. Aku merasa tidak enak hati kepada Raka, karena dia yang menemaniku dari dulu tapi aku malah menolaknya. Lagi pula aku tidak bisa mencintai sahabatku sendiri. Saat itu juga aku berpikir Vina akan memberitahu kepada Raka. Setelah perbincangan itu, kami pun melanjutkan pekerjaannya.
Saat jam makan siang. Aditya datang dengan membawa beberapa makanan. Aku merasa senang karena bisa merasakan masakannya. Aku menyiapkannya untuk dihidangkan di meja makan. Kami pun makan bersama.
"Aku tidak tahu kalau dia bisa masak seenak ini. Kenapa tidak dari dulu dia saja yang masak," celoteh Vina.
"Jadi masakanku tidak enak begitu?" sahutku.
"Enak kok enak," katanya yang hampir tersedak.
Aditya hanya tersenyum mendengarnya. Aku melanjutkan makanku.
"Eh by the way, kamu tidak lagi bekerja kan? Bikin usaha saja seperti warung nasi. Tulang sayur di sini datang suka agak siang, kan enak buat makan," kata Vina.
"Iya juga ya, aku baru mencoba masaknya sih, jadi baru tahu," kataku.
"Kamu bagaimana sih jadi istrinya kok baru tahu masakannya?"
"Dari dulu aku yang sering bikin makanan buat dia, meskipun sering di kasih komentar yang pedas."
"Ya namanya juga supaya belajar. Harus di beri komentar dengan saran supaya bisa diperbaiki," kata Aditya.
Selesai makan, Vina bergegas meninggalkan kami di dapur. Katanya dia tidak mau melihat kita bermesraan. Lagi dan lagi ucapan Vina sukses membuatku salah tingkah di depan Aditya.
"Kamu sekarang sering terlihat salah tingkah. Menggemaskan tahu?"
"Apa sih? Salah tingkah apa? Tidak kok," aku menyangkalnya dan mengalihkan pandanganku.
Dia menciumku. Tidak begitu lama, aku menghentikan ciumannya. Tangannya masih berada di pinggangku.
"Sudah, nanti lagi. Di sini ada orang lain. Malu kalau dia melihat kita."
"Apa salahnya? Kita kan sudah menikah."
"Ayolah, aku masih mengejar deadline. Dilanjutkan nanti ya tidak apa-apa?"
"Baiklah," Aditya pun melepaskan tangannya.
Aku kembali ke ruanganku setelah mencuci piring bekas makan tadi. Ponsel Aditya berdering. Aku menyadarinya karena dia tengah berdiri di ambang pintu. Dia memutarkan badannya dan melenggangkan kakinya. Vina dan aku saling bertatapan. Vina yang mengangkat halisnya mengisyaratkan bertanya apa, aku hanya mengangkat bahu. Dia pun menyuruhku untuk menghampiri Aditya tapi aku tidak mau. Tetapi aku juga penasaran siapa yang meneleponnya.
Aditya datang kembali ke ruangan kerjaku. "Kayla, aku ingin berbicara sebentar."
Aku pun mengikutinya. Mungkin pembicaraannya penting hingga ingin membicarakannya berdua.
"Aku mau ke rumah ibu dulu. Nanti kalau pekerjaanmu sudah selesai hubungi saja nanti aku datang menjemput," katanya.
"Ada apa? Kok mendadak? Tidak ada apa-apa kan di sana?"
"Ibu bilang dia tidak mau makan, aku mau melihatnya untuk memastikan."
"Aku ikut kalau begitu."
"Tidak perlu. Kamu fokus saja, katanya mau kejar deadline."
"Baiklah."
Dia kembali melumat bibirku. Lalu mengecup kening. Aku mengantarnya sampai depan. Melambaikan tangan. Aku kembali ke ruang kerjaku.
"Sepertinya hubunganku dengannya tidak akan mudah deh," gumamku.
"Apa?" sahut Vina.
"Enggak. Hanya saja tidak kusangka bisa menikah dengannya."
"Namanya juga sudah jodohnya jadi pasti dipersatukan meskipun ada saja rintangannya. Karena hidup tidak semudah semulus yang dibayangkan."
Aku hanya berdeham menanggapinya. Kami melanjutkan pekerjaan. Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu. Waktunya untuk pulang. Aku membuka ponselku. Lalu mengirimkan pesan kepada Aditya. Tidak ada balasan. Lalu aku mencoba untuk meneleponnya. Teleponnya pun di angkat.
"Hei pel*kor, kamu pasti terkejut ya mendengar suaraku yang mengangkat telepon suamimu? Ups. Bukan. Tapi calon suamiku yang kamu rebut. Dasar baj*ngan!" sudah jelas ini suara Sherlin.
"Di mana Aditya?"
"Dia lelah bermain bersamaku dan tertidur lelap di sampingku," katanya.
"Kamulah pel*kor itu! Dia itu suami orang beraninya kamu menyentuhnya!" bentakku yang tidak bisa lagi menahan emosiku.
Dia melakukan panggilan video dan aku mengangkatnya. "Mana suamiku?"
"Sssttt. Jangan berteriak, dia sedang tertidur," katanya.
Aku pun melihat Sherlin seperti tidak mengenakan pakaian begitu pun dengan Aditya yang bertelanjang dada. Mataku mulai berkaca-kaca.
"Baj*ngan!" aku pun menutup teleponnya.
Aku tidak percaya dia tidur dengan wanita lain. Jadi ibu hanya alibi yang dia buat supaya bisa bertemu dengan wanita itu. Aku memang tidak seseksi dia, tapi kenapa dia begitu jahat padaku. Kali seperti ini buat apa kita menikah.
Aku tidak bisa menahan air mataku lagi yang mengucur deras membasahi pipi. Untungnya Vina sudah pulang saat itu. Aku pun mengunci pintu rumah. Kembali ke kamar menangis hingga tertidur.
Jam tiga pagi. Aku terbangunkan oleh ponselku yang terus berdering. Dan yang menelepon itu adalah Aditya. Aku pun mengangkat teleponnya.
"Buka pintunya, aku mohon," kata Aditya.
Aku masih tidak menjawab. Air mata pun menetes kembali. Tetapi karena takut jadi pembicaraan orang. Aku menutup teleponnya lalu membukakan pintu untuknya. Dia langsung memelukku dan menangkup wajahku. Aku melepaskan tangannya lalu kembali ke kamar.