Wilona langsung berpaling menatap Ervan. Semua orang dibuat marah dengan ucapan Ervan yang seperti mempermainkan permasalahan mereka.
"Kau sudah menidurinya lalu kau mau lepas tangan?!" Stevan kali ini ambil sikap. Ia langsung menarik kerah baju Ervan bersiap memukul pria itu.
"Adikmu saja yang murahan!" balas Ervan.
Stevan sungguh terkejut. Pria itu bukannya memukul Ervan, justru malah terbengong-bengong.
Wilona yang merasa diinjak-injak harga dirinya langsung mengambil alih kerah baju Ervan dengan tangan satunya.
PLAK!
"Berani sekali kamu mengatakan itu!" teriaknya kesal.
Tamparan Wilona cukup keras sehingga ujung sudut bibir Ervan berdarah.
"Hentikan sandiwara kalian. Tidak ada penolakan di sini. Kalian akan segera menikah." Tuan Edwin langsung melepaskan cengkeraman puterinya. Ia membenarkan baju Ervin. "Tidak ada penolakkan. Keluarga kami membenci hal itu. Kami memiliki bukti, kau bisa kami penjarakan dengan kasus pe--mer--ko--sa--an. Kau mengerti?" ucap Tuan Edwin dengan penuh penekanan dan ancaman.
Ervan menelan salivanya. Biar bagaimana pun, dia butuh waktu berpikir. Hanya saja, keluarga ini tidak membuatnya bernapas. Semua terlalu cepat untuk memutuskan saat itu juga. Jika benar, kasus ini akan naik ke media. Ervan tak ingin kasus ini melebar kemana-mana. Ada hal yang harus ia jaga.
"Baiklah. Saya mengerti, Tuan," jawab Ervan penuh keputus-asaan.
"Bagus. Jadi kau setuju menikahi puteri kami?" tanya Nyonya Veronika lega.
Ervan mengangguk.
"Baiklah, kami akan mengurus segalanya. Lebih cepat, lebih baik pernikahan ini terlaksana. Kau bisa pulang. Kami akan mengabarimu," ucap Kakek Tristan dengan suara berat.
"Aku akan mengantarkanmu pulang. Aku akan berbicara dengan keluargamu. Kamu tenang saja," ucap Tuan Edwin menepuk pundak Ervan.
Ervan mengangguk pasrah. Sudut matanya melirik ke arah Wilona. Satu-satunya orang yang menolak ide gila keluarganya.
Wilona mendengkus. "Dasar gila!" Wilona sengaja menyenggol tubuh Ervan dengan keras lalu ia langsung meninggalkan ruang keluarga itu tanpa permisi dan langsung menutup pintu dengan membantingnya.
Wilona berlari ke kamar dengan air mata berhamburan.
Masa depannya!
Mimpinya!
Kesuciannya!
Semua hilang hanya karena kejadian satu malam.
Wilona menutup pintu kamar dan menguncinya lalu menangisi kemalangannya dengan melabuhkan dirinya ke atas singgasananya yang empuk.
"Papa ... Mama ... kenapa kalian pergi tidak mengajakku saja? Kenapa aku harus melewati ini semua tanpa ada kalian di sini!" ratapnya dengan sesegukkan.
****
Hari demi hari berlalu, sesuai dengan kesepakatan bersama, dalam waktu seminggu akhirnya pernikahan dadakan itu dilaksanakan.
Pagi ini, Wilona menatap dirinya yang malang lewat pantulan cermin. Dua orang sibuk merias wajahnya. Wilona menghembuskan napasnya saat melihat gaun pengantin untuk resepsi yang terpajang di belakangnya.
Mungkin malam itu dia adalah satu-satunya gadis yang meratapi hari bahagianya sendiri. Biasanya menikah adalah hal terindah yang harus disyukuri dalam hidup ini, tapi bagi Wilona semua berbeda. Dia menatap kosong wajah suramnya itu.
"Nona Wilona, Anda cantik sekali!"
"Anda pasti menjadi ratu paling cantik malam ini," puji penata rias pengantin.
Wilona tersenyum memaksa. Baru kali ini ia merasa berat untuk tersenyum. Ia tak suka pujian kali ini.
"Sekarang, kita ganti pakaiannya dulu ya. Ayo Nona!" ajak salah seorang setelah melihat make up Wilona sudah selesai dirias.
Wilona mengangguk dan menuruti saja ucapan orang-orang yang ada di dalam kamar hotel itu.
Setelah pakaian gaun pengantin berwarna brown sudah terpakai, Wilona merasa takjub melihat dirinya di cermin.
"Wilona, apa yang kamu lakukan hari ini? Sungguh, apakah ini benar?" batin Wilona. Gadis itu menahan air matanya. Ia tak ingin merusak riasannya malam ini. Ia harus tegar.
Semua penata rias meninggalkannya sendiri. Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Wilona. Saat ini dirinya butuh sendiri sebelum beberapa waktu lagi bergabung dengan ratusan tamu undangan dan berpura-pura bahagia.
"Wilo," panggil seseorang.
Dia adalah Leoni–sahabat Wilona. Gadis itu memandang wajah sahabatnya dengan cemas.
"Are you happy?" tanyanya.
Wilona mengangkat kedua bahunya. "Menurutmu?"
Hanya di depan Leoni saja, Wilona merasa bisa melepaskan semua ekspresi yang berkecamuk di dirinya.
"Wilo, aku menyesal malam itu tidak datang. Seandainya aku ada di sana, pasti ini semua tidak akan terjadi," sesalnya.
Wilona mendesah. Ia kembali mengingat pesta malam itu. Pesta ulang tahun teman sekolah mereka berdua. Kebetulan Leoni sedang sakit mendadak dan tidak bisa menemani Wilona yang memaksa untuk tetap datang agar tidak disangka culun karena tidak berani datang ke club malam di usianya yang menginjak 19 tahun.
Di sana Wilona bertaruh dengan Nurri dengan menghabiskan satu botol minuman. Wilona yakin, setelah itu ia kehilangan kesadarannya dan bertemu Ervan. Setelahnya dia yakin Ervan memanfaatkan dirinya yang sudah mabuk.
Mengingat peristiwa itu sungguh membuat dada Wilona sesak.
"Aku pikir, aku akan menikah dengan sosok pangeran. Kaya, gagah, dan penuh karisma. Sayangnya, mimpiku musnah. Kau lihat dia? Dia begitu lusuh dengan kaca mata tebalnya dia nampak begitu tua. Seleranya jelek, seperti statusnya yang ternyata dari kalangan bawah. Dia hanya kurir pengantar makanan," ungkap Wilona dengan wajah penuh penyesalan.
Leoni tak kuasa menahan keprihatinannya kepada sahabatnya. Malam itu, dia berpura-pura sakit karena dirinya ingin kencan buta dengan seorang pria. Ternyata kencannya batal, dia tak mendapatkan kekasih, justru dia mengorbankan sahabatnya sendiri yang jatuh ke lubang penderitaan.
"Nggak apa-apa dia miskin. Kan setelah ini, semua akan normal. Kamu masih tetap kaya raya karena kamu seorang Wilona Dominic. Bukan begitu?" hibur Leoni.
Wilona mengangguk pelan. Ia tak ingin menambah beban sahabatnya. Cukup Leoni merasa bersalah, dia tidak ingin Leoni bersedih karenanya.
Tiba-tiba suara ketukan pintu mengejutkan keduanya.
Bibi Nora, asisten dari ibu angkat Wilona muncul dari balik pintu.
"Nona Wilo," ucapnya di balik punggung Wilona.
"Ada apa, Bibi?" Wilo menatap Bibi Nora sambil mengernyitkan kening. Wajah Bibi Nora pucat menggambarkan kecemasan.
"Ada kabar buruk yang harus saya sampaikan." Bibi Nona memejamkan mata sambil menarik napas. "Tuan Ervan, menghilang," ungkapnya.
"Hilang?" Wilona dan Leoni kompak menyahut.
Wilona menggeleng tak percaya. Lalu memegang keningnya. Tubuhya mendadak lemas.
"Wilona ...," desis Leoni merasa kasihan kepadanya.
"Dia kabur ...."lirih Wilona menebak. Sungguh kali ini Wilona tak bisa menahan gejolal perasaannya yang membuncah. Selama persiapan pernikahan sampai akad, ia mencoba menahan air matanya. Ia menutupi kesedihannya di depan semua orang. Ia berusaha tegar. Tapi, saat semua perjuangannya ini terkhianati dengan kaburnya mempelai pria di acara resepsi pernikahan. Sungguh Wilona tak bisa terima.
Leoni merengkuh tubuh sahabatnya, mencoba menenangkan Wilona semampunya meski ia mengutuk Ervan dalam hatinya. Bagaimana mungkin Ervan si culun dan miskin itu tega meninggalkan seorang puteri di malam pernikahannya. Sungguh konyol dan bodoh!
Tidak! Wilona tidak serapuh itu. Dia sudah membulatkan tekad untuk menjadi wanita kuat. Tidak boleh ia menangisi pria sampah di pesta pernikahannya.
"Suruh semua pengawal mencari pria brengsek itu!" titahnya. Wilona bangkit berdiri dan menatap dirinya di depan cermin. Ia menghapus sisa-sisa air matanya. Beruntung riasannya tidak rusak parah. Bisa diperbaiki nantinya.
"Segera temukan pria itu! Bagaimana pun caranya seret dia dan bawa kemari! Kalau gagal, kalian semua akan aku pecat!" ujar Wilona lagi dengan suara datar.