webnovel

Takut Petir

Sementara itu, Jangjun berada di dapur saat ini. Jangjun mengaduk susu kental buatannya. Ia tersenyum sendiri mengingat betapa Ryushin menyayanginya.

Rasanya Jangjun sudah lama sekali tidak tidur bersama putranya. Jangjun mengingat jelas ketika Ryushin baru memutuskan untuk tidur sendiri saat Ryushin berusia 6 tahun.

"Waa ... hari ini hari pertama Ryushin masuk sekolah SD! Difoto dulu ya, Sayang!" seru Jangjun sambil membawa kamera kodak. Mereka belum berangkat ke sekolahan barunya Ryushin, mereka masih berada di halaman rumah kontrakan mereka saat ini.

Jangjun sudah menyiapkan sepeda onthel-ny untuk mengantar Ryushin nanti. Tapi, Mbak Pipin meminjamkan Jangjun kamera agar dapat mengabadikan setiap moment pertumbuhan Ryushin. Ya, seperti saat ini. Ryushin akan masuk SD saat ini.

Ryushin berdiri tegang di dekat sepeda onthel papanya. Ryushin berpose sambil kedua tangannya memegang selempang tas punggung. Ryushin belum bisa tersenyum saat ini. Entah karena sebab apa.

"Ryushin~! Senyum dong, Sayang! Masa' ekspresimu seperti orang yang sedang menahan pup begitu sih, Shin? Tengang banget! Kamu ini hanya akan masuk sekolahan tingkak SD, Sayang! Bukannya mau masuk medan perang," gerutu Jangjun yang melihat putranya terlihat begitu tegang.

Cekrek!!

"Ah, jangan lihat ke bawah terus dong, Shin! Lihat ke sini, Sayang! Lihat ke kamera!" perintah Jangjun kembali karena merasa tidak mendapatkan angle yang bagus untuk foto Ryushin.

Cekrek!!

Jangjun melotot melihat kaki Ryushin yang bergetar.

"Kenapa, Shin?" tanyanya panik. Dia tidak menyangka saja jika putranya akan setakut itu untuk memasuki sekolah baru.

Detik berikutnya, celana pendek berwarna merah yang dipakai oleh Ryushin tiba-tiba terlihat basah.

Saat Jangjun melihat ke atas, ternyata matahari sedang cerah. Tidak ada hujan ataupun orang-orang yang menyirami tanaman di sekitar mereka. Lalu, itu air di celana barunya Ryushin dari mana? batinnya.

"Maaf, Papa! Ryushin ngompol. Hehehe ...." Ryushin berkata lirih sambil tersenyum cerah.

"Aakhh ... kenapa baru bilang kalau pengen pipis sih, Shin? Itu 'kan seragam baru kamu, Sayang!" teriak Jangjun, frustrasi. Dia ingin mengomel sekarang tapi tidak tega setelah melihat senyum ceria Ryushin. "Ah, kenapa melah senyum sekarang, coba? Tadi pas difoto, papa nyuruh kamu senyum nggak mau!" kesal Jangjun kembali.

"Maaf, Papa!" lirih Ryushin.

Pada akhirnya, Jangjun memandikan putranya lagi karena Ryushin mengompol sambil berdiri. Otomatis air seninya berceceran di mana-mana, bahkan sampai sepatu dan kaus kaki baru yang dipakai Ryushin juga.

Pada akhirnya, Ryushin tidak jadi masuk sekolah di hari pertamanya.

Jangjun tertawa jika mengingat hal itu. Rasanya baru kemarin dia mengantar putranya masuk SD, eh sekarang Ryushin sudah besar saja. Tahun depan, Ryushin sudah kelas 1 SMA. Jangjun berharap jika keinginan putranya untuk lolos mendapat beasiswa bersekolah di Jakarta itu dapat terkabul. Dengan begitu, Jangjun tidak terlalu memikirkan biaya sekolah anaknya lagi.

Namun, terkadang Jangjun tidak tega melihat Ryushin belajar dengan keras hingga tidur kurang hanya untuk mendapatkan beasiswa selama ini. Jangjun merasa gagal menjadi orang tua karena tidak bisa memenuhi semua kebutuhan putranya.

Jangjun bersyukur mendapatkan Ryushin. Bahkan sejak berusia 10 tahun pun Ryushin sudah membantunya mendapatkan uang. Jika pagi sebelum berangkat sekolah, Ryushin bangun pagi-pagi sekali untuk berjualan koran dan mengantar koran ke rumah-rumah langganan korannya. Ryushin juga tidak malu membersihkan mobil atau motor milik orang yang terparkir di depan toko.

Tanpa Jangjun ketahui sebenarnya Ryushin malu menyerbeti motor orang. Tapi, keadaan yang telah memaksanya. Ketika Ryushin diejek teman-temannya di sekolahan karena melihat Ryushin di pinggir jalan membersihkan motor atau kaca mobil orang, Ryushin selalu tidak mengaku jika itu adalah dirinya. Ryushin mengatakan pada temannya mungkin temannya itu salah mengenali orang.

Namun, semakin ke sini Ryushin sudah tidak malu lagi. Asalkan dia mencari uang secar halal, Ryushin tidak akan malu. Toh, Ryushin tidak mencuri, kenapa harus malu?

Jadi, Jangjun sangat bersyukur mendapatkan Ryushin di dunia ini. Jangjun tidak akan menyesali masa depannya yang berantakan karena Jangjun hanya lulusan SMA. Ryushin adalah harta paling berharga yang Jangjun miliki lebih daripada pangkat atau status sosial.

Terlalu lama melamun, Jangjun jadi melupakan susu yang baru dibuatnya tadi. Tapi, tidak masalah. Jangjun tadi membuat susunya terlalu panas, jadi setelah agak mendingin barulah Ryushin akan menyukainya.

Setelah Jangjun rasa susu sudah siap, ia melangkahkan kaki menuju kamarnya kembali. Kamarnya yang begitu hangat. Beberapa menit di dapur saja sudah membuat Jangjun kedinginan.

Jangjun berada di depan pintu kamarnya saat ini. Ia memegang knop pintu, lalu memutarnya. Namun, susah. Pintu tak bisa dibuka dari luar.

Jangjun menggedor pintu.

"Shin! Buka pintunya!"

Tak ada yang menyahut. Hanya suara dengkuran Ryushin yang terdengar jelas dari luar. Jangjun meletakkan dulu segelas susu kental manis rasa vanilla ke meja yang berada di dekatnya.

Jangjun menggedor kamarnya kembali. Kali ini jauh lebih keras hingga tangannya memerah.

Brak! Brak! Brak!

"Shin, woy! Bangun! Kamu tak benar-benar mengunci papa dari dalam, 'kan?" seru Jangjun

***

Setelah Jangjun rasa susu sudah siap, ia melangkahkan kaki menuju kamarnya kembali. Kamarnya yang begitu hangat. Beberapa menit di dapur saja sudah membuat Jangjun kedinginan.

Jangjun berada di depan pintu kamarnya saat ini. Ia memegang knop pintu, lalu memutarnya. Namun, susah. Pintu tak bisa dibuka dari luar.

Jangjun menggedor pintu.

"Shin! Buka pintunya!"

Tak ada yang menyahut. Hanya suara dengkuran Ryushin yang terdengar jelas dari luar. Jangjun meletakkan dulu segelas susu kental manis rasa vanilla ke meja yang berada di dekatnya.

Jangjun menggedor kamarnya kembali. Kali ini jauh lebih keras hingga tangannya memerah.

Brak! Brak! Brak!

"Shin, woy! Bangun! Kamu tak benar-benar mengunci papa dari dalam, 'kan?" seru Jangjun

Groogghh!!

Setelah lelah menggedor pintu, baru Jangjun menyadari sesuatu, bahwa anaknya itu tak sebaik yang ia bayangkan sedari tadi.

"Anak durhaka! Jadi, kau sengaja ngunciin papa dari dalam, hah?" teriak Jangjun, terduduk lemas di depan kamarnya sendiri.

Setelah menunggu beberapa belas menit, tapi Ryushin tetap saja tidak membukakan pintu. Karena kesal pada putranya, Jangjun jadi tidak ikhlas membuatka susu kental manis untuk Ryushin tadi.

Jangjun meraih susu hangat itu dan meneguknya hingga tandas.

"Sudah susah-susah dibikin susu malah papa dikunciin dari dalam! Jadi, nggak susu lagi buatmu, Shin!" ucap Jangjun, setengah berteriak.

Pada akhirnya, Jangjun menyerah dan memilih mengalah untuk tidur di kamar putranya saja.

***

Jangjun berada di kamar Ryushin. Kamar yang lebih sempit dari kamarnya. Kamar yang tak memiliki daun jendela. Kamar yang bocor di mana-mana. Hujan masih mengguyur, deras. Percikan air dari jendela yang tak memiliki daun, mampu membuat lantai kamar Ryushin basah oleh air hujan.

Jangjun mendekat ke arah jendela. Ia menengadah sambil merentangkan tangan. Ia merasa rintikan air hujan mampu menembus hingga ke hatinya. Menyejukkan setiap sendi kehidupan yang ada pada tubuh. Ia mencoba meniru adegan yang ada di drama India kesukaan kakaknya.

Ia berusaha tetap tenang. Melupakan sejenak kekesalannya pada Ryushin.

Tiaarrr!!

Jangjun terlonjak hingga terjungkal ke belakang.

"RYUSHIN SIALAN!! ANAK KURANG WUAJIAARRR!!" teriaknya, frustrasi.

***

Beberapa hari kemudian ....

Jangjun bergelung di kasur lantai miliknya. Ia rasa tulangnya remuk semua saat ini. Kepalanya begitu pusing. Belum lagi bibirnya pecah-pecah, lidahnya pahit, kerongkongannya kering, lemah, letih, lesu, lunglai. Tubuhnya menggigil kedinginan. Ia ingin sekali mengaduh, tapi Ryushin masih di sekolah saat ini.

"Shiinn~," gumamnya lirih. Andai saja Ryushin ada di sini, pasti dia tidak akan semenderita ini. Ya, walaupun pada akhirnya dia akan diomeli sama anaknya sendiri. Setidaknya, dia tidak akan sendirian. Jangjun 'kan paling takut ditinggal sendiri. Apalagi kondisinya saat ini sangat memprihatinkan.

Jangjun sudah ngeri jika membayangkan tiba-tiba ajal menjemput saat tak ada orang di rumah. Matanya merah dan melotot. Mulutnya mengangga. Tubuhnya membiru. Ah, rasanya Jae-joon tak sanggup membayangkan lebih dari itu.

Kriiettt!

Terdengar suara pintu dibuka perlahan. Jangjun terhenyak. Jangjun semakin menenggelamkan tubuhnya di dalam selimut. Bagaimana jika itu pencuri? Atau perampok? Atau bahkan mungkin Pak Leman yang menagih uang sewa? Atau malah linta darat yang mau menagih hutang? Semua itu adalah tamu yang tak pernah diinginkan oleh Jangju.

Sekian menit Jangjun bersembunyi di balik selimutnya. Ia menutup hidungnya untuk mengelabuhi jika memang yang datang sungguhan perampok. Entah, itu demi apa. Mungkin dikiranya yang meneror Jangjun saat ini adalah vampir China.

Semakin lama, Jangjun mendengar suara langkah kaki mendekat. Jangjun memejamkan mata, sambil terus menahan napas.

Detik berikutnya ia merasakan ada yg menyentuh pundaknya.

"WUAHHH! AMPUN, MAS RAMPOK! SAYA NGGAK PUNYA APA-APA BUAT DIRAMPOK!!" teriak Jangjun, masih memejamkan matanya.

"Astaga, Papa! Kaget aku, Pa! Asshh ... sial jantungku sakit! Papa ini pengen anaknya mati karena kaget, ya?!" bentak Ryushin sambil mengusap pelan dadanya, "emangnya Papa ada uang buat operasi lagi, hah?" bentak Ryushin kembali. Jauh lebih menyeramkan dari Jia, kakaknya Jangjun.

***

Setelah Jangjun rasa susu sudah siap, ia melangkahkan kaki menuju kamarnya kembali. Kamarnya yang begitu hangat. Beberapa menit di dapur saja sudah membuat Jangjun kedinginan.

Jangjun berada di depan pintu kamarnya saat ini. Ia memegang knop pintu, lalu memutarnya. Namun, susah. Pintu tak bisa dibuka dari luar.

Jangjun menggedor pintu.

"Shin! Buka pintunya!"

Tak ada yang menyahut. Hanya suara dengkuran Ryushin yang terdengar jelas dari luar. Jangjun meletakkan dulu segelas susu kental manis rasa vanilla ke meja yang berada di dekatnya.

Jangjun menggedor kamarnya kembali. Kali ini jauh lebih keras hingga tangannya memerah.

Brak! Brak! Brak!

"Shin, woy! Bangun! Kamu tak benar-benar mengunci papa dari dalam, 'kan?" seru Jangjun

Groogghh!!

Setelah lelah menggedor pintu, baru Jangjun menyadari sesuatu, bahwa anaknya itu tak sebaik yang ia bayangkan sedari tadi.

"Anak durhaka! Jadi, kau sengaja ngunciin papa dari dalam, hah?" teriak Jangjun, terduduk lemas di depan kamarnya sendiri.

Setelah menunggu beberapa belas menit, tapi Ryushin tetap saja tidak membukakan pintu. Karena kesal pada putranya, Jangjun jadi tidak ikhlas membuatka susu kental manis untuk Ryushin tadi.

Jangjun meraih susu hangat itu dan meneguknya hingga tandas.

"Sudah susah-susah dibikin susu malah papa dikunciin dari dalam! Jadi, nggak susu lagi buatmu, Shin!" ucap Jangjun, setengah berteriak.

Pada akhirnya, Jangjun menyerah dan memilih mengalah untuk tidur di kamar putranya saja.

***

Jangjun berada di kamar Ryushin. Kamar yang lebih sempit dari kamarnya. Kamar yang tak memiliki daun jendela. Kamar yang bocor di mana-mana. Hujan masih mengguyur, deras. Percikan air dari jendela yang tak memiliki daun, mampu membuat lantai kamar Ryushin basah oleh air hujan.

Jangjun mendekat ke arah jendela. Ia menengadah sambil merentangkan tangan. Ia merasa rintikan air hujan mampu menembus hingga ke hatinya. Menyejukkan setiap sendi kehidupan yang ada pada tubuh. Ia mencoba meniru adegan yang ada di drama India kesukaan kakaknya.

Ia berusaha tetap tenang. Melupakan sejenak kekesalannya pada Ryushin.

Tiaarrr!!

Jangjun terlonjak hingga terjungkal ke belakang.

"RYUSHIN SIALAN!! ANAK KURANG WUAJIAARRR!!" teriaknya, frustrasi.

***

Beberapa hari kemudian ....

Jangjun bergelung di kasur lantai miliknya. Ia rasa tulangnya remuk semua saat ini. Kepalanya begitu pusing. Belum lagi bibirnya pecah-pecah, lidahnya pahit, kerongkongannya kering, lemah, letih, lesu, lunglai. Tubuhnya menggigil kedinginan. Ia ingin sekali mengaduh, tapi Ryushin masih di sekolah saat ini.

"Shiinn~," gumamnya lirih. Andai saja Ryushin ada di sini, pasti dia tidak akan semenderita ini. Ya, walaupun pada akhirnya dia akan diomeli sama anaknya sendiri. Setidaknya, dia tidak akan sendirian. Jangjun 'kan paling takut ditinggal sendiri. Apalagi kondisinya saat ini sangat memprihatinkan.

Jangjun sudah ngeri jika membayangkan tiba-tiba ajal menjemput saat tak ada orang di rumah. Matanya merah dan melotot. Mulutnya mengangga. Tubuhnya membiru. Ah, rasanya Jae-joon tak sanggup membayangkan lebih dari itu.

Kriiettt!

Terdengar suara pintu dibuka perlahan. Jangjun terhenyak. Jangjun semakin menenggelamkan tubuhnya di dalam selimut. Bagaimana jika itu pencuri? Atau perampok? Atau bahkan mungkin Pak Leman yang menagih uang sewa? Atau malah linta darat yang mau menagih hutang? Semua itu adalah tamu yang tak pernah diinginkan oleh Jangju.

Sekian menit Jangjun bersembunyi di balik selimutnya. Ia menutup hidungnya untuk mengelabuhi jika memang yang datang sungguhan perampok. Entah, itu demi apa. Mungkin dikiranya yang meneror Jangjun saat ini adalah vampir China.

Semakin lama, Jangjun mendengar suara langkah kaki mendekat. Jangjun memejamkan mata, sambil terus menahan napas.

Detik berikutnya ia merasakan ada yg menyentuh pundaknya.

"WUAHHH! AMPUN, MAS RAMPOK! SAYA NGGAK PUNYA APA-APA BUAT DIRAMPOK!!" teriak Jangjun, masih memejamkan matanya.

"Astaga, Papa! Kaget aku, Pa! Asshh ... sial jantungku sakit! Papa ini pengen anaknya mati karena kaget, ya?!" bentak Ryushin sambil mengusap pelan dadanya, "emangnya Papa ada uang buat operasi lagi, hah?" bentak Ryushin kembali. Jauh lebih menyeramkan dari Jia, kakaknya Jangjun.