webnovel

Panik

Kriiettt!

Terdengar suara pintu dibuka perlahan. Jangjun terhenyak. Jangjun semakin menenggelamkan tubuhnya di dalam selimut. Bagaimana jika itu pencuri? Atau perampok? Atau bahkan mungkin Pak Leman yang menagih uang sewa? Atau malah linta darat yang mau menagih hutang? Semua itu adalah tamu yang tak pernah diinginkan oleh Jangju.

Sekian menit Jangjun bersembunyi di balik selimutnya. Ia menutup hidungnya untuk mengelabuhi jika memang yang datang sungguhan perampok. Entah, itu demi apa. Mungkin dikiranya yang meneror Jangjun saat ini adalah vampir China.

Semakin lama, Jangjun mendengar suara langkah kaki mendekat. Jangjun memejamkan mata, sambil terus menahan napas.

Detik berikutnya ia merasakan ada yg menyentuh pundaknya.

"WUAHHH! AMPUN, MAS RAMPOK! SAYA NGGAK PUNYA APA-APA BUAT DIRAMPOK!!" teriak Jae-joon, masih memejamkan matanya.

"Astaga, Papa! Kaget aku, Pa! Asshh ... sial jantungku sakit! Papa ini pengen anaknya mati karena kaget, ya?!" bentak Ryushin sambil mengusap pelan dadanya, "emangnya Papa ada uang buat operasi lagi, hah?" bentak Ryushin kembali. Jauh lebih menyeramkan dari Jia, kakaknya Jangjun.

Jangju tersenyum singkat. Ternyata hanya Ryushin. Ekspresinya tadi sungguh berlebihan. Ia yakin pasti diejek anaknya setelah ini.

"Lagian kamu muncul tiba-tiba. Kan Papa kira tadi Mas Rampok, Shin," gerutu Jangjun alias Ujang nama bekennya saat ini.

"Emang apa yang bisa dirampok di rumah kita, Papa? Barang berharga Papa kan cuma celana dalam gambar Pororo itu, heh?" sahut Ryushin sembari melirik ke sudut ruangan, di mana bergantung rapi koleksi cd pororo milik papanya.

Kali ini Jangjun kembali tersenyum, masam. Sepertinya, ada yang lupa ia tanyakan dari tadi.

"Eh, kok sudah pulang, Shin?"

Ryushin menyodorkan sekotak makanan ke Jangjun.

"Ini tadi Shin belika bubur. Cepat makan dan minum obat, Pa! Shin tak bisa bersekolah jika kondisi Papa seperti ini terus," ucap Ryushin. Terdengar begitu kasar, tapi sebenarnya ia sangat menyayangi Papa-nya. Ia hanya gengsi saja untuk mengakui itu semua.

Jangjun menarik kepala Ryushin dan mengapitnya di ketiak.

"Hahahaha ... Papa nggak sangka kau perhatian sekali sama Papa, Shin. Pasti kau begitu menyayangi Papa, 'kan? Hayoo? Ngaku!"

"NGGAK!!" elak Ryushin. Ia berusaha lepas dari apitan ketiak Jangjun yang menurutnya beraroma unique bagai acar timun.

Sekian menit Jangjun mengapit kepala anaknya itu dan baru berakhir ketika Ryushin memuntahkan seisi perutnya karena bau kecut ketiaknya Jangjun.

***

Jangjun terbangun dari tidur lelapnya. Rasanya seharian hanya tiduran membuat punggungnya kaku. Ia melihat sekeliling, tapi ia tak menemukan keberadaan Ryushin. Seingatnya tadi Ryushin berada di sampingnya, memijat dan mengurutnya. Namun, ke mana perginya Shin?

Jangjun sudah merasa lebih baik setelah minum obat tadi. Ia jadi ingin memberi Ryushin hadiah karena telah merawatnya.

Jangjun berjalan gontai menuju kamar Ryushin yang hanya berjarak beberapa langkah dari kamarnya. Ia masih merasa lemar, bahkan ia menggunakan dinding untuk pegangan.

Jangjun memasuki kamar sempit yang memang tak memiliki daun pintu maupun daun jendela. Sepertinya, ia harus bekerja ekstra untuk bisa menyewa tempat yang lebih layak lagi.

Ia melihat Ryushin bersandar ke dinding di pojok ruangan.

Ryushin tampak memeluk kedua lutut dan menenggelamkan kepala di antara

keduanya.

Yang ada di pikiran Jangjun pasti anaknya itu sedang galau gara-gara anime kesukaannya tamat. Atau mungkin galau karena terlewat satu episode anime itu?

"Shin!" panggil Jangjun lirih, sembari mendekat ke arah putranya.

Ryushin tak merespons. Ia masih dalam posisi semula.

Jangjun mulai panik. Ia berjongkok dan mengguncang bahu Ryushin.

"Hey, jangan bercanda! Cepat bangun, Bodoh!" bentak Jagjun. Ia menarik kepala Ryushin untuk menghadap ke arahnya. Ia dapat melihat wajah Ryushin yang begitu pucat saat ini.

Jangjun membawa kepala Ryushin ke dalam dekapannya. Ia menepuk kasar pipi pucat yang dingin itu.

"SHIN!! BANGUN! APA-APAIN INI, HAH?"

Ryushin tak merespons. Bahkan kini tangan pun terkulai di lantai.

Jangjun begitu panik. Ia terus mengguncang tubuh gempal anaknya itu.

"SHIN!! BANGUN KUBILANG!!" teriak Jangjun tepat di telinga Ryushin.

Ryushin mengerjapkan matanya perlahan. Dalam samar ia melihat pria tampan bermata sipit sepertinya.

"Ahh, Pak Malaikat, apakah sudah saatnya?" lirihnya.

Jangjun tercekat. Spontan ia mendorong kepala Ryushin hingga keningnya terantuk kaki meja belajar.

"Wadow!! Apa-apaan sih, Pa? Ganggu orang tampan tidur aja!" gerutu Ryushin. Sepertinya, kesadarannya juga kembali 100%. Ia mengusap-usah keningnya yang memerah.

"KAU NGELINDUR ANEH-ANEH!!" Jangjun menendang pantat Ryushin, "lagipula mana ada orang tidur seperti orang mati kayak gitu, heh?"

"Suka-suka Shin dong, Pa," jawab Ryushin santai. Ia kembali menyadarkan kepalanya di dinding.

Sepertinya ada yang telat disadari oleh Jangjun.

"Shin?" panggil Jangun, lembut.

"Hmm?" sahut Ryushin, matanya pun masih terpejam.

"Apa kau pingsan lagi di sekolah, makanya disuruh pulang?" ucap Jangjun lirih. Namun, di setiap ucapannya mengandung kesedihan yang begitu mendalam.

Ryushin sedikit tersentak. Ia memandang wajah papanya sekilas, sebelum akhirnya ia kembali memejamkan mata.

Kebungkaman Ryushin menjawab semua. Jangjun memeluk erat tubuh putranya itu.

"Bicaralah, Shin! Katakan apa yang kau keluhkan, Nak! Jangan bersikap seperti orang yang kuat di depan papamu sendiri!" ucap Jagjun. Ia sekuat tenaga menahan air matanya agar tak jatuh.

Ryushin menarik tubuhnya dari dekapan Jangjun.

"Apaan sih, Pa? Ryushin itu baik-baik saja saat ini, nanti, dan selamanya. Jadi, jangan perlakukan Shin seperti Shin sedang sekarat saja!" gerutu Ryushin, kesal. Dia paling tidak suka dikasihani seperti ini, itu akan sangat melukai harga dirinya. Meskipun sejak kecil Ryushin hidup susah, tapi di tidak suka dikasihani.

"Bukan begitu, Shin. Tapi ...."

"Tapi apa, Pa?" sahut Ryushin, cepat.

"Oh, ayolah, Pa! Aku ini masih muda dan tak mungkin mati lebih dulu. Aturannya 'kan seharusnya yang lebih tua itu mati duluan," lanjutnya. Seringaian seksi juga terpatri dari bibir pucatnya. Dan itu membuat Janjun sangat kesal, tapi sekaligus juga lega.

Jangjun duduk di samping Ryu-shin saat ini. Ia menengadah. Kedua tangannya ke belakang, menopang beban tubuhnya.

"Kalau suatu saat Papa yang pergi duluan, Papa tak sanggup meninggalkanmu sendiri di sini dan---"

"Maksud Papa, Papa akan mengajakku mati bareng-bareng gitu?" sela Ryushin. Ia sedikit menjauh dari tempat Jangjun duduk.

"Idih, wogah! Kalau mati ya mati sendiri aja, nggak usah ngajak-ngajak!" kesal Ryushin.

Jangjun mengesah. Ia menyesal telah mengambil topik pembicaraan yang salah. Ah, bukan itu sebenarnya yang ingin Jangjun ungkapkan tadi.

"Tapi, tak apa juga. Suatu saat jika aku memutuskan untuk menyerah, aku pasti ikut dengan Papa."

Jangjun mengangguk antusias.

"Kalau begitu, kenapa tidak sekarang saja, heh?"

Ryushin melotot. Ia jadi membayangkan kisah drama tentang pembunuhan korban, lalu pelaku memutuskan bunuh diri.

"Kalau memungkinkan. Kita bunuhnya gantian aja, Pa. Aku bunuh Papa, lalu Papa bunuh aku."

"Hehh? Siapa yang mau bunuh siapa, hah? Lagipula, kalau kau sudah bunuh Papa, mana bisa Papa bunuh kamu, Bodoh!"

"Ahahahha ... iya juga sih."

Ryushin tertawa cool.

"Lagipula, kau kira Papa bicara apa daritadi, hah? Kok jawabanmu ngelantur, heh?"

"Shin kira Papa sudah lelah dengan semua penderitaan ini. Jadi, Papa memutuskan bunuh Shin, lalu bunuh diri seperti di drama-drama itu." Ryushin berucap dengan polosnya.

Jangjun menjitak kasar kepala Ryushin.

"Pemikiran macam apa itu, Bodoh! Lagipula, seberat apapun beban hidup Papa, Papa tak mungkin putus asa hingga melakukan hal bodoh itu. Karena Papa tahu, Tuhan akan menggantinya dengan kebahagiaan yang melimpah. Suatu hari nanti. Jika tak di dunia ini, maka mungkin di akhirat kelak."

"Lalu, soal pergi-pergi tadi apa, Pa?"