webnovel

Kenangan

"Bapak kamu petani, ya?"

"Eh, kok Jeje tahu?"

Nana pura-pura terkejut.

"Soalnya, Nana sudah menanamkan benih-benih cinta di hatiku," ucap Jangjun sambil menggenggam kedua tangan Nana.

"Huuft, gombalan receh! Nana B aja tuh."

Nana kembali menghempaskan tangan Jangjun dari tangannya.

Dan di saat itu juga, ingin sekali Jangjun mencekik leher gadis itu. Jangjun merutuki dirinya sendiri yang telah jatuh hati pada gadis tak berperasaan itu.

Merasa bosan atas gombalan receh Jangjun, Nana mengambil sebuah novel dari tasnya.

Ia membuka beberapa halaman awal dan mulai membaca.

Jangjun yang merasa diacuhkan, kini merebut paksa novel itu.

"Balikin atau Nana pukul Jeje lagi!" ancam Nana sambil mengangkat bogemnya.

Jangjun malah mengangkat novel milik Nana tinggi-tinggi. "Nana tahu nggak bedanya Jeje sama novel ini?" tanya Jangjun lembut. Tidak ada kata menyerah di kamusnya untuk menggoda Nana.

"Bedanya, novel itu lebih berisi daripada otak kamu, Je!" ucap Nana, ketus.

"Nana salah! Bedanya, kalau novel ini mampu menenggelamkan Nana ke dalam cerita, sedangkan Jeje mampu menenggelamkan Nana dalam cinta." Jangjun berucap setelah itu tertawa sendiri, merasa bangga karena mungkin saja gombalannya kali ini akan berhasil.

"Ah, bodoh! Nana nggak suka acara tenggelam-tenggelaman. Rayuan macam apa itu?" bentak Nana. Nana merebut paksa novelnya kembali. Kali ini berhasil. Sepertinya Jejw memilih menyerah.

"Nana-chan?"

"Heum? Apaan lagi sih, Je? Dari tadi manggil-manggil terus?!" gerutu Nana, kesal.

"Nana, percaya nggak cinta pada pandangan pertama," ucap Jeje. Kali ini disertai kepalanya yang bersadar di bahu Nana.

Walaupun Nana agak risih, pada akhirnya ia lebih memilih fokus membaca novel saja.

"Nggak!" jawab Nana sekenanya.

"Eh?" Ekspresi Jejw dibuat sedikit terlonjak. "Kalau gitu sama dong, berarti kita jodoh, kan?"

"NGGAKKK, BAKA!"

Percakapan diakhiri novel tebal yang mendarat tepat di kepala Jangjun.

Jangjun tak menyerah, ia meraih tas selempang yang tergeletak di samping Putri Takahashi Kensuke dan berjalan mendahuluinya. Maksud Jangjun biar terlihat keren. Seperti di film-film, sang pemeran utama pria membawakan barang bawaan pemeran utama wanita.

"Ayo naik wahana lagi!" ajak Jangjun tanpa menoleh. Ia rasa Nana pasti akan menampilkan ekspresi bingung, dan Jangjun suka setiap ekspresi Nana.

"Hey, itu tasku! Branded, keluaran terbaru yang dibelikan oleh Niini! Kembalikan, Bodoh! Kau pencuri tas, ya? Awas sampai kau melelangnya apalagi sampai menjualnya!" jerit Nana, histeriz.

A-apa? Nana? Apa-apaan itu? Ya Tuhan, gadis ini! Pencuri tas? Melelang, menjual?

Sial! Jangjun ingin sekali tertawa, menertawakan gadis yang sudah ia jadikan sebagai wanita itu.

Rasanya suara melengking Nana masih terngiang-ngiang di telinga Jangjun hingga saat ini. Jangjun sedang merebahkan diri di dalam kamarnya.

Brak!! Brak!! Brak!!

"PAPA! BUKA PINTUNYA!"

Belum juga Jangjun melupakan lengkingan suara teriakan Nana, kini ia harus mendengar ulang teriakan yang sama. Sama-sama keras dan melengking. Bagaikan toa berjalan.

Dengan malas, Jangjun berjalan ke arah pintu kamarnya. Membuka dan bersandar di kusen pintu.

"Kenapa lagi sih, Shin? Kamu itu tidak bisa ya sehari saja membiarkan hari-hari papamu ini tenang, heum? Kamu tahu ini jam berapa, hah? Kenapa masih teriak-teriak terus? Pantas saja tetangga kita pada pindahan karena tidak tahan dengan suara kamu!" gerutu Jangjun, setengah kesal. Padahal, dia enak-enakkan menghayal tentang Nana, tapi anaknha itu selalu mengganggu saja, batin Jangjun.

"Karena aku tahu ini sudah malam, makanya aku sedang panik, Pa," sahut Ryushin sambil menyeka wajah tampan dan imut-nya berkali-kali.

Ryushin menampilkan ekspresi yang aneh saat ini. Seolah ia baru saja kehilangan sesuatu yang sungguh berharga baginya.

"Panik kenapa sih, Shin? Karakter di anime kesukaanmu mati lagi?" tebak Jangjun pada putranya yang memang wibu garis keras itu. Jangjun malah heran kenapa putranya itu jadi wibu.

"Yurippe hilang, Pa. A-aku-aku tak bisa tidur tanpa dirinya huweee gimana kalau terjadi sesuatu padanya. Papa, bantu aku nyari dia," ucap Ryushin. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Yurippe siapa? Sejak kapan ada orang lain yang tinggal di rumah kita, eum?" sahut Jangjun, ikutan panik.

"Yurippe itu dakimakura milikku, Pa."

Jangjun mengernyit. Ia semakin tak paham arah pembicaraan putranya ini.

"A-apa? Dakiunta?"

Jangjun mengulang lagi perkataan Ryushin. Mana tahu dia soal pentingnya dakimakura bagi seorang wibu seperti Ryushin.

"Ah, iya lupa. Orang tua mana tahu arti dakimakura---"

Bletak!

Ryushin langsung dijitak oleh papanya sendiri.

"Enak saja ngatain Papa udah tua! Papa ini masih berusia 29 tahun kalau kau lupa, Shin!" sungut Jangjun, kesal.

"Iyalah, terserah. Pokoknya sekarang papa harus cariin daki--- eh, maksudku benda empuk kayak guling panjang yang biasa kupeluk pas tidur itu lho, Pa." Ryushin menjelaskan sambil mengangkat kedua tangannya di udara, meyamakan dengan panjang guling yang dia cari.

"Oh ... itu?" pandangan Jangjun mengarah ke bantal panjang bergambar karakter Yurippe yang tergeletak di lantai kamarnya, "tadi Papa minjem. Soalnya ukurannya sangat pas untuk dipeluk."

"APA?!" teriak Ryushin.

Ia menubruk papanya yang berada di ambang pintu, menerobos masuk. Ia segera mengambil dakimakura kesayangannya.

Bahkan, Ryushin harus menabung selama setahun dulu demi mendapatkan itu. Bisa-bisanya papanya itu mengambil tanpa sepengetahuannya, batin Ryushin.

"Papa, ini kan dakimakura punyaku! Antique, unique, keluaran terbaru, limited edition, mahal. Sejak kapan Papa menyukai barang-barang seperti ini. Apa Papa berniat melelangnya atau jangan-jangan malah ingin menjualnya? Oh, tidak!!"