webnovel

Pernikahan Kilat

Saat pergi dari sana, Tommi menyempatkan diri menatap ke arah Zeline, dan ekspresinya sangat dalam dan rumit hingga Zeline hampir dibuat menangis. Tatapan itu mengingatkannya dengan masa lalu mereka.

Zeline juga tidak tahu pasti bagaimana perasaan Tommi padanya sekarang. Sejak Tommi memutuskan untuk menikah dan memberi undangan pernikahannya kepada Zeline tanpa menjelaskan apapun, Tommi sama sekali tidak pernah menghubungi nya sejak saat itu, dan Zeline juga tidak ingin menghubungi pria berengsek ini yang meninggalkan nya tanpa memberi penjelasan sama sekali tersebut. Bahkan Zeline tidak tahu sejak kapan Tommi dan Febi ini berhubungan.

Memikirkan semua kenangan menyebalkan itu kembali, Zeline menjadi semakin suram. Ia benar-benar ingin bertanya kepada Tommi tetapi dia juga takut nantinya jika kembali berbicara dengan Tommi, dia akan kembali merasa sakit hati.

Hanya beberapa saat setelah kepergian Febi dan Tommi, manajer tadi kembali ke meja mereka lagi untuk meminta maaf kepada Gavin secara langsung.

"Tuan Gavin, masalah hari ini adalah salah saya, maaf telah mengganggu Tuan dengan Nyonya, saya benar-benar minta maaf!"

Gavin sedang dengan perlahan memotong steak. Gerakannya tampak sangat teliti dan diperhitungkan dengan cermat, tidak sedikit pun menunjukkan kesalahan. Lalu setelah beberapa saat dia baru berbicara.

"Ini bukan masalah besar, kamu tidak perlu khawatir."

Mendengar itu, manajer tadi menghela napas lega dan segera meninggalkan ruangan. Tidak ingin mengganggu mereka lagi.

Zeline meletakkan dagunya di salah satu tangannya saat dia memiringkan kepalanya untuk melihat Gavin.

"Gavin, siapa dirimu sebenarnya? Kenapa manajer itu tampak sangat takut padamu?"

"Aku kenal atasan mereka. Dia mungkin takut aku akan mengadu." Gavin berkata, tanpa mengangkat kepalanya untuk melihat Zeline.

Zeline mengerutkan kening dan bibirnya. Tentu itu adalah jawaban asal, Gavin ternyata tidak cukup baik dalam membuat alasan.

"Baiklah jika kamu tidak ingin mengatakan yang sebenarnya."

"Pria itu yang membuatmu terlihat menyedihkan?" Walau kalimatnya cukup panjang, namun pertanyaan Gavin terdengar cukup singkat, padat dan jelas. Dan juga menusuk hati.

"Kapan aku terlihat menyedihkan?" Zeline pura-pura bodoh.

"Seleramu sangat buruk."

Zeline menghentikan makannya dan menatap tajam kearah Gavin. Apa maksudnya dengan itu? Seleranya buruk?

"Jadi kamu termasuk 'buruk'." Zeline mengejek dengan sedikit tersenyum.

"Oh, apa aku termasuk seleramu?" Gavin tidak menatap zeline dan masih tampak memakan makanannya dengan anggun. Bahkan zeline belum sempat menjawab, Gavin sudah membuka suaranya lagi, "Bagus, kamu harus mulai merubah seleramu dengan yang lebih baik."

Zeline hanya menggelengkan kepalanya tak percaya dengan kepercayaan diri Gavin. Sikap pria ini ternyata suka berubah-ubah.

Setelah keduanya diam-diam menyelesaikan makan siang mereka, Gavin tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua dan menyerahkannya kepada Zeline seolah-olah dia sedang melakukan trik sulap.

"Kalungmu patah kemarin, ini untukmu."

Zeline menerimanya dengan hati-hati lalu membukanya dan melihat kalung yang tergeletak di lapisan kain flanel biru itu.

Itu adalah kalung platinum sederhana dengan berlian tipis di atasnya. Di sana menggantung berlian merah muda berbentuk persegi kecil. Dari cahaya yang menembus jendela di samping mereka, kalung itu bersinar semakin terang.

Kalung Zeline malam tadi putus, entah karena mereka berdua terlalu bersemangat. Kalung yang sudah Zeline pakai sejak satu tahun lalu itu putus begitu saja dan Zeline baru menyadari nya saat mereka bangun tadi pagi. Saat tahu kalungnya putus, tentu saja Zeline berubah dengan raut wajah sangat sedih, dia sangat sayang dengan kalung itu, dan mungkin Gavin menyadari itu dan berusaha menghiburnya dengan memberinya kalung yang baru sekarang.

"Ini terlalu mahal." Zeline terkejut dan mengerutkan kening, lalu menutup kotak itu dan mengembalikannya ke Gavin.

Dia tidak tahu banyak tentang perhiasan, tetapi wanita manapun pasti akan tahu dan bisa melihat bahwa kalung itu sangat lah mewah dan sama sekali bukan sesuatu yang dirinya mampu dapatkan begitu saja.

"Aku tidak akan pernah mengambil kembali apa yang aku berikan." Gavin mengangkat alisnya, memprotes.

Zeline mengutuk Gavin dalam hatinya, menjadi orang kaya itu luar biasa! Melakukan apapun dengan mudah! Kalung ini pasti sangat mahal. Bagaimana mereka membuang uang mereka semudah ini?

***

Hari itu, Gavin mengajak Zeline untuk mengagumi pemandangan dari atas hotel. Suasana hati Zeline yang awalnya cukup menyedihkan dan suram akhirnya secara bertahap menjadi ceria.

Zeline sebenarnya bukan termasuk seseorang yang memiliki kepribadian yang sedih. Tetapi karena takdir sudah ditetapkan, dia hanya bisa menerimanya. Kalau tidak, apa lagi yang bisa dia lakukan?

Lagi pula, dengan masa depan yang panjang, dia juga belum tahu bagaimana semua ini akan berjalan. Mungkin saja dia akan hidup bahagia bersama pria ini, Gavin. Walau tanpa adanya cinta, Zeline tidak akan begitu mempersalahkan itu.

Setelah melihat pemandangan dan mereka sama sekali tidak mengobrol, mereka datang ke kantor urusan sipil untuk mendapatkan surat nikah mereka berdua. Pernikahan itu berjalan sangat singkat dan begitu mudah. Padahal mereka sedang mengurus surat nikah, namun bagi Zeline sendiri, itu tidak lebih seperti dia sedang mengambil ijazah sekolahnya.

Zeline tidak tahu bagaimana Gavin mengurusnya, Zeline hanya berpartisipasi dalam pengambilan foto lalu saat pemasangan cincin. Selebihnya, semua itu di tangani Gavin.

Zeline melihat-lihat cincin berlian di jari manis kanannya yang bersinar cemerlang di bawah sinar matahari, Zeline bisa merasakan jantungnya yang sama sekali tidak berhenti berdegup kencang sejak tadi.

Zeline berharap ini semua awal yang baik.

Gavin mengajak Zeline untuk tinggal di rumahnya, namun Zeline menolak. Mereka memang sudah menikah, namun datang dan tinggal di rumah Gavin secara mendadak seperti ini masih membuat Zeline gugup. Gavin akhirnya membiarkan Zeline tinggal di apartment nya saja dulu untuk saat ini.

Sesampainya di apartment, Zeline langsung mandi dan ketika dia kembali keluar, Gavin sudah tidak ada di sana.

Zeline setengah berbaring di sofa, handuk putih besar di tangannya masih menyeka air yang membasahi rambutnya, tetapi pikirannya telah melayang ke tempat lain yang dia pun tidak ketahui.

Ketika dia sedang memikirkan banyak hal di otaknya, Zeline tiba-tiba di sadarkan oleh suara dering ponselnya yang membuat dia sedikit tersentak dan mengais ponselnya di nakas di dekat sofa.

'Aku kembali ke kantor, ada urusan.'

Zeline mengerutkan kening membaca pesan itu, nomor itu dari nomor tak di kenal namun Zeline langsung tahu siapa pengirim nya. Bahkan dari pesan itu saja Zeline bisa mendengar suara datar dan tanpa ekspresi dari si pengirim. Tentunya itu adalah Gavin.

Zeline tidak membalas pesan itu dan kembali meletakkan ponselnya ke posisi semula kemudian melanjutkan aktifitasnya yang mengeringkan rambut nya yang masih basah.