webnovel

Kekacauan

Tubuh Zeline membeku saat dia perlahan berbalik. Dia melihat mantan pacarnya Tommi, dengan Febi, istri barunya itu berdiri di belakangnya.

Benar sekali tebakannya. Di kota sebesar ini, kenapa mereka bisa bertemu di sini? Sekarang? Di situasi seperti ini?

"Haha, apa aku tidak boleh berada di sini?"

Zeline menjawab, namun sialnya suaranya terdengar sedikit bergetar dan membuat suaranya terdengar jelas bahwa dia sedang malu dan salah tingkah sekarang.

"Tidak Zeline, siapa yang akan melarangmu..." Febi ingin berbasa basi, namun matanya saat itu menangkap pakaian yang sedang Zeline gunakan. Dan nyala api kecemburuan langsung menyebar di matanya.

Baju itu adalah baju pasangan, namun bisa di beli berpisah. Febi sudah lama menunggu baju ini keluar namun sayangnya saat telah keluar, pakaian itu sudah diambil oleh seseorang.

Apa orang itu Zeline?

Namun tidak mungkin, karena bagaimanapun Febi menyukai pakaian itu karena dia salah satu pakaian keluaran terbaru dengan edisi terbatas. Dan tentu saja harganya tidak main-main. Febi bahkan harus meminjam uang mamanya hanya karena ingin membeli satu set pakaian ini. Jadi, intinya seseorang seperti Zeline tidak mungkin bisa membelinya!

Febi melirik pria yang bersama Zeline, dan langsung memandang dengan rendah. Tentu saja. Zeline pasti merayu seorang pria untuk mendapatkan pakaian ini.

Zeline menyadari tatapan garang yang Febi berikan padanya.

"Febi, kita sedang di luar, aku harap kamu tidak sedang ingin mencari masalah denganku," ujarnya dengan tenang.

"Tenang, untuk apa aku mencari masalah denganmu."

"Apa dia pacar barumu Elin?"

Zeline sangat kesal mendengar Tommi masih memanggilnya dengan panggilan itu. Panggilan itu biasanya sering digunakan saat mereka bersama dulu.

"Dia suamiku," jawabnya.

Gavin hanya menyaksikan, sejak pagi tadi Zeline menghindarinya sebagai 'suaminya', namun sekarang dia mengakui Gavin sebagai suami dengan begitu ringan. Gavin tidak bisa menahan senyumnya. Walau dia tahu Zeline pasti hanya sedang bermain dengan orang-orang ini saja, tapi Gavin tidak begitu mempersalahkannya.

"Kamu sudah menikah? Kapan?" Tommi terlihat khawatir dan ketakutan, suaranya terdengar sangat memprihatinkan. Zeline sedikit terkejut dengan reaksi Tommi barusan. Febi bahkan juga terkejut dengan reaksi itu.

"Baru beberapa hari."

"Kamu benar-benar telah melupakanku hingga tidak memberiku kabar atas pernikahanmu Elin?" Tommi tampak sangat kecewa.

"Apa salahnya? Aku tahu bahwa kamu juga pengantin baru, aku hanya tidak ingin menggangu kalian."

"Setidaknya kamu harus mengabariku."

Melihat bagaimana reaksi Tommi yang mulai tidak terkendali, Febi buru-buru mengambil alih pembicaraan.

"Ada apa denganmu sayang? Zeline pasti merasa tersakiti dengan hubungan kalian, mungkin dia belum bisa menerima kenyataan atas hubungan kalian yang dulu, jadi dia tidak mengundang kita."

Mendengar itu, hati Zeline hampir berdarah di dalam sana. Namun dia masih bisa bersikap tenang dan membalas, "Oh, jangan salah paham, bukan seperti itu, kami sudah lama merencanakan pernikahan kami, dan kami merayakannya secara mendadak, jadi memang tidak bisa mengundang terlalu banyak orang."

"Aku lihat kamu mendapatkan pria kaya Zeline. Bahkan dia memberimu pakaian ini, asal kamu tahu saja, baju ini tidak bisa kamu jangkau dengan mudah, tentu saja kamu bisa mendapatkan ini karena suamimu bukan orang yang biasa." Febi mengoceh panjang lebar.

Setelah mendengar itu, Zeline baru sadar dengan alasan dibalik tatapan 'induk macan yang kelaparan' yang telah Febi berikan padanya sejak tadi.

"Ah, jadi kamu melempar tatapan jelek seperti itu padaku karena pakaian ini? kamu pasti menginginkan baju ini hingga kamu begitu memperhatikannya Febi."

Apa maksudnya 'tatapan jelek'? Apa gadis sombong ini sedang mengejeknya? Belum sempat Febi menjawab, Zeline sudah melanjutkan kalimatnya.

"Aku bisa melepaskannya dan memberikannya padamu. Apa kamu mau Febi?" tawar Zeline dengan tersenyum ramah. Zeline tidak bersungguh-sungguh tentu saja. Jika Febi menyanjung baju ini, itu artinya baju ini benar-benar mahal. Zeline hanya ingin berbasa basi.

Namun kata-kata itu seketika membuat Febi marah. Febi pikir Zeline jelas sedang merendahkan dirinya, walaupun dia sangat ingin memiliki baju itu, namun dia tidak akan sudi dengan pakaian bekas, apalagi itu bekas pakaian yang dikenakan Zeline. Karena merasa dihina dan kesal dengan sikap sombong Zeline, Febi mengambil cangkir air dari meja mereka dan hendak melemparkannya ke Zeline.

Lagi pula, bagi Febi, jika dia tidak bisa mendapatkan sesuatu, maka tidak boleh ada yang mendapatkannya juga.

Tapi tepat saat itu, sebuah tangan besar muncul dan menghalangi cangkir air itu, tangan itu menepis pergelangan tangan Febi.

"Akhh!..." Febi menjerit. Cangkir di tangannya bergetar, dan semua air terciprat ke tubuhnya.

"Apa yang sedang kamu lakukan!" Teriak Febi pada si pemilik tangan itu.

Zeline sangat kaget melihatnya. Dia tahu gerakan Febi yang ingin melempar air pada cangkir itu ke arahnya, namun dia masih belum bisa bergerak untuk menghindar, jika saja Gavin tidak menahan tangan Febi, maka air itu benar-benar akan melayang di seluruh tubuhnya.

Gavin benar-benar memiliki refleks bagus.

Dalam detik ini yang Zeline khawatir kan adalah pakaian nya. Karena jika Febi sangat menyukai baju ini, berarti baju ini benar-benar mahal dan istimewa. Jika ini rusak, Zeline bahkan tidak tahu apa Gavin akan marah padanya karena telah merusak pakaian mahal yang telah dia berikan.

Karena air di dalam cangkir itu masih ada, Gavin khawatir bahwa wanita itu masih ingin melemparnya pada Zeline, jadi dia dengan santai mendorong Febi menjauh dari tempat Zeline berada dan dorongan pelannya malah membuat efek kuat. Di mana Febi malah terjungkal dan jatuh kelantai bersamaan dengan cangkir di tangannya yang bergetar, dan semua air terciprat sempurna ke tubuhnya.

Tommi segera mengulurkan tangannya untuk membantu. Tommi juga tidak bisa bersuara, dia juga dengan jelas melihat Febi mencoba menyiram air itu pada Zeline dengan sengaja. Saat ini dia tidak ingin membela salah satunya.

Kerah depan hingga bagian depan baju Febi basah kuyup, Beberapa helai rambutnya berserakan, membuatnya terlihat agak menyedihkan. Wajahnya bergetar karena marah, dan matanya menyala-nyala.

"Pelayan!" Pekiknya.

Manajer yang mendengar teriakan itu berasal dari meja Gavin, langsung berlari menghampiri dengan secepat mungkin.

Ketika sudah berada tepat di meja yang kacau di sana, suasana yang tegang itu membuat manajer bahkan merasa sulit untuk menelan ludahnya sendiri. Padahal matahari sedang sangat terik di luar, namun udara di sekitar meja ini sangat dingin, hampir bisa membunuh siapapun yang berada di sini.

"Apa ada sesuatu yang mengganggu kenyaman anda?" Dia tidak bertanya pada gadis yang berteriak tadi, namun pertanyaan itu dengan jelas dia ajukan kepada Gavin, dan itu membuat Febi semakin marah.

Siapa pria ini yang begitu di hormati?

Febi menunjuk Zeline dan Gavin secara bergantian. Tangannya yang ramping bergerak bersama matanya yang melotot dan memancarkan aura sombong.

"Usir dua orang ini ke luar!" perintahnya.

Mendengar itu, manajer itu tampak kebingungan, namun dengan cepat menjawab pada Febi. "Tuan Gavin kami adalah tamu VIP kami, Nona," jawabnya dengan tersenyum lebar.

Setelah mendengar itu, Febi langsung melototi manajer tadi, sekarang kemarahannya berpindah pada si manajer.

"kamu berani membantahku? Ayahku adalah pemegang saham atas hotel ini! Apa tamu VIP ini lebih penting dari ayahku? Begitu?" Febi bermaksud ingin menyombong dengan status ayahnya, manajer yang mendengar itu hampir gelagapan. Lidahnya hampir terbelit.

Mendengar itu, si manajer langsung melirik ekspresi Gavin. Dia takut di sini akan terjadi peperangan hebat dan dia akan ikut terseret masalah ini, jadi manajer memberanikan diri untuk menghentikan ocehan Febi sesegera mungkin.

"Nona Febi, tolong perhatikan kata-kata anda."

Febi kembali memasang ekspresi yang sangat arogan dan tidak memiliki niat untuk merendahkan suaranya. Semua orang di restaurant itu tidak bisa tidak melihat ke arahnya dengan tidak senang. Keributan mereka benar-benar mengganggu kenyamanan pelanggan lain.

Bahkan manajer itu mengutuk Febi beberapa kali di hatinya. Namun karena cukup terlatih sabar, si manajer masih tetap bisa tersenyum.

"Nona Febi, bagaimana jika saya meminta seseorang untuk memberi kompensasi dengan pakaian yang sama dengan milik anda, sebagai permintaan maaf kami."

Tetapi setelah mengucapkan itu, tanpa menunggu Febi menerima tawarannya, manajer itu sudah beralih untuk meminta maaf pada Gavin.

"Maaf atas ketidaknyamanan anda Tuan Gavin."

Sejak tadi, manajer itu tampak berbicara dengan Febi, namun dia masih tetap sedikit membungkukkan badannya di hadapan Gavin. Tentu Zeline memperhatikan gerak-gerik manajer ini. Apa Gavin begitu berkuasa hingga manajer ini sangat takut padanya?

Zeline perlahan melirik Gavin namun Gavin saat itu sudah menatapnya sejak lama...

Apa?

Zeline sedikit terkejut dengan tatapan mereka yang bertemu seperti itu.

"Apa kamu baik-baik saja?" Gavin bertanya. Mendengar itu, tatapan ketakutan dari mata manajer terlihat semakin begitu jelas, hingga Zeline tidak berani membuka suara.

Tentu si manajer tahu, bahwa wanita ini penting bagi Gavin, jika wanita ini tidak baik-baik saja, maka dia adalah orang pertama yang akan mendapat masalah.

"Aku baik-baik saja," jawab Zeline dan manajer itu mendadak tampak menghela napas lega, seolah dia baru lolos dari maut.

Lalu Gavin kembali diam acuh, seolah semua keributan ini sama sekali tidak pernah terjadi.

Febi berteriak untuk waktu yang lama, tetapi manajer masih tidak memberi pilihan lain selain dia harus berdamai.

Febi memelototi Zeline untuk beberapa saat, lalu dengan enggan meninggalkan ruang makan itu dan mengikuti manajer tadi.