webnovel

My Ètoile : Secret Love

Sebuah rahasia yang selama ini ku simpan. Tentang bagaimana aku mencintai seseorang diam-diam. Aku sadar betul tentang kami yang tidak bisa bersama. Bukan karena adanya perbedaan, tetapi mengenai suatu persamaan. Aku dan dia diciptakan dengan jenis kelamin yang sama.

JieRamaDhan · LGBT+
Zu wenig Bewertungen
164 Chs

Percakapan Di Dalam Kendaraan

Aku tak mengira sesi sarapan tadi berakhir dengan damai. Setah perdebatan tidak penting —seberapa pentingnya perpaduan antara mentega dengan aneka macam saus mengisi kekosongan roti isi— kami makan dengan lahap dan mencuci piring masing-masing.

"Kita pulang?"

"Apakah kau sedang bertanya?" Lucas menatapku dengan aneh sembari memutar kunci mobil.

"Yeah, barangkali kau ingin pergi jalan-jalan dulu, aku siap menemani mu."

Lucas menatapku seolah-olah aku adalah sampah masyarakat yang harus segera dimusnahkan, membuatku ingin sekali meninju wajahnya. "Kau harus pulang hari ini, mereka pasti sangat mengkhawatirkan mu."

Aku paling tidak suka saat dimana Lucas terlalu ikut campur dalam masalahku. Tetapi sialnya aku juga tak bisa mendorongnya untuk pergi. Ini benar-benar mengesalkan, semuanya menjadi buruk karena aku memilih untuk berpaling seperti pengecut.

"Pulang atau tidak itu bukan urusanmu."

"Tentu saja itu urusanku." Lucas keluar dari mobil dengan berkacak pinggang. Dilihat dari postur tubuhnya, orang pasti mengira bahwa dia adalah tukang pukul yang diutus untuk menagih utang. "Bagaimana kalau Paman meminta pertanggung jawaban kepada ku?"

"Kau tinggal berdalih saja, beres kan?"

"Beres? Apa kau ingat saat terakhir kali kau kabur seperti ini huh? Hampir saja aku digiling oleh truk ayahmu."

Aku menelengkan kepala ke arah lain, alih-alih merasa takut, perutku malah tergelitik akibat untaian kenangan masa lalu dimana Dad membrondongi banyak pertanyaan pada Lucas bahkan sampai berani mengancam hendak menggilas Lucas apabila dia berbohong.

"Sebenarnya aku lebih suka melihatmu digilas sampai rata dengan tanah, tapi baiklah aku akan pulang."

Hari terlewati sangat cepat. Pemandangan yang identik dengan musim panas dimana beberapa lahan terlihat gersang. Walaupun hujan masih turun, tetapi intensitasnya tak terlalu memadai untuk menjadi pasokan air utama. Tetapi yang paling ku suka adalah langitnya. Biru terang, tanpa ada awan mengambang. Terkadang jika aku merasa cukup suntuk atau bosan, hal pertama yang ku lihat adalah keadaan langit.

Sama seperti saat ini. Diantara keheningan yang mendera, aku menelengkan wajah ke sisi jendela mobil, menatap langit biru yang tarhampar diangkasa luas. Biru, mengingatkanku pada pria bermata biru shappire itu. Dengan kegelisahan hatiku kemarin, rasanya aku sama sekali tak punya waktu untuk memikirkan dirinya lagi.

Seperti sudah lama kenal, rasanya rindu ku membuncah saat sedang memikirkannya. Tentang senyuman manis dirinya masih tercetak jelas dalam ingatanku yang selalu berhasil membuatku tak bisa berpikir jernih.

"Apa kami bisa bertemu lagi?"

"Apa yang kau bicarakan?"

Aku menoleh, ku dapati Lucas masih menyetir Honda Civic sambil sesekali melirik ke arahku. "Bukan apa-apa." Dan aku kembali mengamati pemandangan luar. Mengabaikan helaan nafas di sampingku.

"Kau serius ingin masuk ke jurusan seni?"

"Memangnya kenapa?"

"Ya sudah kalau begitu aku juga akan masuk jurusan seni."

"Ya sudah— Tunggu! Apa?" Perutku serasa ditonjok oleh bola pingpong. Mataku terbelalak dan rahangku jatuh ke bawah. "Kau pasti bercanda."

"Aku serius Bryan."

Jalanan tampak lengang, Lucas kemudian menoleh menghadapku dengan raut wajah paling serius yang pernah ku lihat. Tak seperti anak lelaki pengumbar omong kosong, aku praktis menemukan kepastian dari pancaran mata yang ditunjukkan olehnya.

"Waktu itu kau mengolok-olokku dan sekarang ingin masuk jurusan seni?" cibirku yang serta merta bertujuan untuk mengingatkan kembali ucapan Lucas tempo hari barangkali pria itu melupakannya.

"Yeah, ku rasa tak masalah." Lucas menggedikkan bahu. "Semua jurusan pasti punya kelebihan masing-masing, kita tidak bisa menilai dari satu sisi saja."

Aku beringsut mundur, reflek tubuh ketika mendapati sesuatu yang tak wajar. Pada kasus ku, hal itu berhubungan dengan Lucas. "Nah, kau telah menjilat ludahmu sendiri."

"Lalu apa kau sudah memilih Universitas?" tanya Lucas. Tindakan pengabaian pada sarkasme ku serta merta membuatku sebal. Karena perlu diingat, kami telah melewati banyak waktu dengan banyaknya perdebatan dan adu argumen, sehingga pengabaian ini sangat jarang terjadi.

"Biar ku tebak, kau hendak masuk ke Universitas yang sama denganku?"

Lucas menatapku dengan wajah polos —yang perlu kalian ketahui sangat tidak cocok dengan wajahnya. "Memangnya tidak boleh?"

"Tentu saja tidak boleh!" Aku nyaris berteriak. "Kita selalu satu sekolahan dan bahkan satu kelas, apa kau tidak bosan?" Ku coba untuk mencari pembenaran. Semestinya Lucas sependapat, karena manusia tentunya memiliki batasan rasa bosan, termasuk bersama dengan seseorang dalam waktu yang terbilang sangat lama. Tetapi setelah mendengar jawaban Lucas, ku pikir dia bukanlah manusia.

"Tidak kok, aku tak pernah bosan sama sekali."

Jawabannya bisa saja terkesan mengharukan, tetapi aku sama sekali tak merasa demikian. "Dengar," kataku sembari menyamankan diri di kursi penumpang. "Kau bisa mendapatkan pengalaman baru jika kita berpisah. Kau bisa menemukan teman baru dan bahkan pasangan. Ada banyak hal-hal baru mengejutkan yang tak bisa kau dapatkan ketika bersama ku—"

CKIIIT!

Decitan roda yang menggesek jalan mengiringi tubuhku saat membentu kaca jendela.

"Hey!"

"Lampu merah."

Bisa ku pastikan bahwa itu sekedar alibi belaka. Namun, prioritasku saat ini bukanlah meneruskan tuduhan untuk mengungkapkan kebohongan Lucas, melainkan berusaha meyakinkan pria itu bahwa keputusannya tidaklah bijak.

"Ayolah Bung, kita sudah sama-sama dewasa, bukan kah lebih menyenangkan jika kita berpisah sejenak lalu kembali lagi dengan pengalaman dan kisah berbeda-beda? Kita bisa menceritakan itu setiap libur musim panas."

Ku pikir negosiasi yang ku layangkan berhasil karena kini Lucas menoleh ke arahku.

"Apa kau tidak senang bersama menghabiskan waktu bersamaku?"

"Yeah, aku.." Ku dapati diriku tergagap dengan sendirinya. "Bukan begitu maksudku—"

"Kau sudah bosan menjadi temanku?"

"Jangan menyimpulkan sendiri," tukasku. "Bukan itu inti pembicaraannya."

"Aku paham," jawab Lucas tiba-tiba yang ku yakini dia sama sekali tak paham. "Kau ingin mencampakkan ku setelah semua yang telah ku korbankan."

Pernahkah kau bayangkan wajah preman paling sangar yang sedang mengemis belas kasihan? Tidak pernah? Yah, ku harap kau sama sekali tak mengalami kejadian serupa dengan ku. Lucas tak pernah cocok dengan raut wajah mengiba, dia tipikal lelaki kuat yang mampu mematahkan tanganmu semisal kau berani mencari masalah dengannya.

"Berhenti memasang wajah seperti itu, sama sekali tidak cocok."

"Maka kau juga berhenti mengatakan yang tidak penting." Lucas menatapku lekat-lekat yang mana membuatku tidak nyaman. "Aku tak pernah bosan padamu, selama apapun kita bersama sama sekali tak pernah terpikirkan olehku untuk mencari teman baru."

"Tapi kau harus mencari teman baru!" Aku bersikeras, usaha terakhir yang bisa ku perbuat adalah dengan tetap bersikukuh. Kebanyakan cara itu berhasil saat aku masih kecil.

"Mencari teman baru tak harus membuang teman lama."

Dan, kalimat barusan telah membuatku tersadar bahwa Lucas sungguh berubah. Dia benar-benar menjelma menjadi lelaki dewasa dengan pemikiran matang, bukan seperti anak lelaki cengeng nan manja. Kini aku merasa menjadi pihak paling jahat karena berencana membuang orang yang justru tak ingin melepaskanku.