Suasana hangat. Tentu saja, inilah yang akan kau dapatkan dalam keluarga normal. Meski tetap ada candaan melebihi batas yang akan membuat darahmu mendidih, dan bibirmu bersiap melontarkan kalimat kasar untuk memenangkan perdebatan. Tetap saja itu hal normal untuk sebuah keluarga.
Ku rasa, Mrs. Sarah memiliki kesabaran yang tidak ada batasnya. Melihat dia selalu bisa mengendalikan kedua anaknya, terlebih jika salah satu dari mereka memancing keributan dengan perkara kecil. Mengejek satu sama lain dengan sindiran sarkas misalnya.
"Aku sungguh akan menderek Honda Civic itu ke Junkyard untuk menukarnya dengan beberapa lembar dolar jika kalian masih saja meributkan hal tak penting."
Sederet kalimat tanpa penekanan meluncur mulus dari mulut Mrs. Sarah. Seketika menghentikan perdebatan antara Lucas dan Anna. Aku sangat takjub melihatnya. Meskipun Lucas tampak sangat tidak senang.
Makan malam berakhir dengan damai. Mrs. Sarah mendorongku untuk langsung pergi, meninggalkan tumpukan piring kotor itu untuk dibersihkan olehnya dan Anna. Dia juga tak lagi menyuruh Lucas untuk ambil bagian. Ku rasa, itu cukup adil mengingat betapa nelangsanya Lucas ketika sesi makan malam berlangsung.
Kami berjalan menaiki anak tangga dengan Lucas berada di belakangku. Mengikuti seperti anak anjing, tanpa banyak kata. Hanya suara nafas berat setiap kali kakinya memijak anak tangga lebih tinggi. Sampai kami tiba tepat di anak tangga paling atas, aku berbalik badan secara tiba-tiba dan praktis membuat tubrukan saat Lucas tetap berjalan tanpa menyadari jika aku telah berhenti melangkah.
Tubuhnya limbung, hampir jatuh sebelum aku menahan lengan dan pinggangnya. Lucas memang memiliki tubuh besar, begitu juga dengan diriku. Meskipun dia lebih memiliki kesan 'pria kuat' ketimbang diriku.
"Hati-hati bung."
"Sorry."
Lucas segera melewatiku setelah mengucapkan permintaan maaf yang terkesan janggal. Ini semakin membuatku bingung, namun aku tak bertanya apapun dan hanya mengikutinya sampai masuk kamar.
Batinku bertanya-tanya, apakah ini sepenuhnya salahku? Bukan secara harfiah. Tetapi aku lah pihak yang sebelumnya sedang dalam suasana hati buruk dan kini perasaanku lebih baik namun pria bertubuh besar dalam ruangan ini terlihat tak baik-baik saja.
"Kucing menggigit bibirmu sobat?"
"Menurutmu apa aku jelek?" tanya Lucas dengan posisi membelakangiku, duduk di atas kursi berhadapan dengan layar monitor.
Aku menutup pintu di belakangku, memutar kunci sampai bunyi 'Klik' terdengar. "Kau masih berkutat dengan pemikiran itu? Astaga, apakah itu penting?" Aku berjalan ke arah ranjang, tepat di sebelah meja monitor. "Kau serius tak ingin memberitahuku?"
Lucas tak menjawab dan malah membuka kolom pencarian untuk mengetik beberapa kata random. Pengabaian itu adalah isyarat dimana biasanya orang terlalu ragu atau malas atau malu untuk mengiyakan sebuah pertanyaan. Dan dapat ku simpulkan, Lucas memiliki salah satu dari tiga situasi itu.
"Kau bisa menceritakannya padaku. Aku jelas akan membantumu, kau pikir aku seorang brengsek yang malah menikung sahabatnya sendiri?"
Lucas memutar kursi hingga berhadapan denganku. "Aku tak butuh bantuan dari orang yang tak pernah berkencan."
"Hey, apa-apaan! Aku pernah berkencan kok.." Suaraku jelas terdengar ragu-ragu. "Walau bisa dibilang tak berakhir dengan bagus.
Ingatan saat duduk di Sekolah Dasar dengan kedekatan pada lawan jenis tanpa batasan menjadi awal mula masa pubertas di mulai. Termasuk kami para lelaki yang tengah berada di tahap peralihan antara masa kanak-kanak dan remaja. Semua mengalir mengikuti insting, maksudku saat para anak lelaki harus membanggakan diri mereka setelah berhasil menyatakan perasaan pada anak perempuan. Waktu itu lumayan menyulitkan bagiku. Ada beberapa alasan, pertama kulitku saat masa kecil sangat pucat bahkan jarang menampakan bintik-bintik merah. Orang pasti akan langsung menganggap aku anak lemah yang selalu bolak-balik rumah sakit, yeah, sebagian bertanya padaku secara terang-terangan. Kedua, meskipun aku bukan anak 'berpenyakit' aku juga tak bisa dibilang kuat sepenuhnya, karena walau agak memalukan aku harus mengakui jika tak pandai dalam olahraga. Tubuhku menolak bergerak terlalu keras, seperti mesin mobil tua. Hingga saat dimana keberanian kecil mendorongku untuk menyatakan perasaan pada seorang anak perempuan. Aku lupa namanya, kami tak terlalu akrab dan sekarang bisa ku pastikan jika dia pun tak mengingatku juga. Tetapi hal paling ku ingat darinya adalah saat dia meminta bantuanku untuk menjawab beberapa soal, ku pikir itu tak masalah, dan aku mengajaknya berkencan dengan alasan utang budi nya padaku. Sepertinya itulah alasan kenapa kami berakhir bahkan tak sampai dua puluh empat jam. Ketika pulang sekolah, dia mengatakan utang budinya sudah lunas dan seharusnya kami tak berbicara satu sama lagi. Aku tak bisa protes, memang benar sih. Siapa yang akan berpacaran dengan alasan utang budi, konyol sekali.
"Secara pasti, kau tak akan bisa membantu," sahut Lucas. Layar monitornya tengah menayangkan video menggemaskan seekor anak kucing, ah bukan hanya satu tetapi ada beberapa. Kumpulan video lucu kucing manis yang akan membuat harimu baik, aku mengerti kenapa judulnya tertulis seperti itu.
"Tapi tetap saja, bukankah sedikit kejam membiarkan sahabatmu mati penasaran?"
"Kau tidak mati." Jawaban Lucas terdengar datar meskipun dia sedang tersenyum saat melihat beberapa ekor kucing saling bermain kejar-kejaran satu sama lain.
"Kau tak mengerti hiperbola huh?" Aku menyindir dan Lucas hanya mengangguk tanpa minat. Dasar keparat. "Ya sudah, kau bisa menonton itu semalaman dan membiarkanku memenuhi ranjang ini." Aku mengambil posisi berbaring miring, membelakangi Lucas, dan mendekap guling.
Ranjang ini dulunya cukup besar untuk kami berdua berbaring bersebelahan. Tetapi semua menjadi berbeda ketika kami berdua sama-sama tumbuh membesar. Bahkan ketika hanya Lucas sendiri yang menempati, ada bagian kakinya melewati batas ranjang dan dia harus agak meringkuk until memasukan semua bagian tubuhnya. Dan biasanya aku akan memilih tidur di sofa daripada berdesak-desakan.
Aku belum terlelap meskipun sudah memejamkan mata saat mendengar derit kursi beroda yang diputar. Barangkali, akhirnya Lucas memilih tidur di sofa setelah mulai bosan melihat ekor-ekor kucing yang bergoyang dengan menggemaskan.
"Kalau kau sendiri? Siapa yang tengah kau sukai sekarang?"
Sontak membuatku membalikkan badan dan menatap ke arahnya. Ketika itu aku baru sadar jika seluruh lampu kamar telah dimatikan dan hanya menyisakan cahaya berpendar dari layar monitor. Entah kenapa aku merasa wajah Lucas jauh lebih serius dari biasanya.
"Kau tak mengenalnya."
"Sungguh?"
Aku tak tahu apakah ini karena cahaya yang remang, tetapi sorot mata Lucas menjadi lesu. "Nanti pasti akan ku beri tahu jika sudah mengenalnya lebih dekat," sambungku lagi karena merasa tak enak dengan Lucas.
"Maksudmu?" Aku baru saja membuka mulut ketika Lucas menambahkan. "Kau belum terlalu mengenalnya dan sudah menyukainya? Begitu?"
Aku tersenyum tetapi lebih mirip seperti sebuah ringisan, lalu membiarkan bibirku membentuk satu garis lurus tanpa tarikan otot wajah. "Iya, bisa dibilang begitu. Tapi aku telah satu langkah lebih maju dan berhasil mendapatkan namanya."