webnovel

Malam Penuh Debaran ♡

Zara mendudukan diri di depan cermin riasnya, ia mengaplikasikan pelembab beserta teman-temannya yang biasa ia kenakan hendak tidur. Jam masih menunjukan pukul sembilan, namun ia sudah bersiap untuk tidur.

Terdengar pintu diketuk kemudian pintu terbuka, Zara menghentikan aktivitasnya dan melihat siapa yang datang melalui cermin di hadapannya. Itu Zia, suaminya yang telah menghabiskan permbicaraan bersama orang tua Zara. Sedangkan Fadli Abangnya dan Nadia sudah pulang sore tadi untuk menjenguk anak mereka yang sedang mondok.

"Kau sedang bersiap untuk tidur?" Tanya Zia pada Zara. Zara hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh Zia padanya.

Melihat itu, Zia masuk ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan mengambil air wudhu. Setelah selesai, ia merangkak ke atas tempat tidur berselimutkan kain berwarna ungu. Ia mengecek beberapa notifikasi di layar ponselnya. "Zara.." Panggilnya lembut.

Perempuan berkulit putih itu membalikan badannya, menatap seseorang itu. "Bagaimana dengan kuliahmu?" Tanyanya lagi.

"Semua baik-baik saja, tidak ada masalah. Aku sedang menulis, untuk ujian sidang nanti." Paparnya. Zia mendengarkan dengan seksama, "Ke kampus pun hanya untuk mengurusi beberapa organisasi dan bimbingan, selebihnya tidak ada." Tambahnya.

"Untuk tempat tinggal, aku mengikuti saja baiknya dimana. Aku tidak mau merepotkanmu, jika itu akan memudahkanmu ke kantor, it's okay." Zara berusaha untuk memahami alur yang diusut oleh suaminya itu. Ia melangkahkan kaki, mendudukan diri dihadapan Zia.

"Yakin? Bahkan itu jauh dari kampusmu?" Tanyanya, Zara menganggukan kepalanya yakin. "Oh bagaimana mungkin? Jarak rumah mama dengan kampusmu jauh, apalagi jarak dari sini."

"Kalau gitu, bagaimana kalau aku ngekos lagi.." Usulnya, dan raut wajah Zia berubah drastis.

"Tidak bisa.. Kita baru saja menikah, dan kau mau meninggalkanku? Bagaimana kalau kamu sakit? Bagaimana kalau ada sesuatu yang terjadi padamu.. Bagaimana kalau kau jatuh cinta pada orang lain, melihat mereka menatapmu ketika resepsi saja aku ingin memerangi mereka, apalagi kalau tau mereka mendekatimu." Bantahnya.

"Hey.. Kau terlalu berlebihan." Ucap Zara yang kemudian diiringi tawa.

Zia masih memasang wajah cemberutnya, "Tidak aku tidak mau jauh darimu. Tidak bisa membayangkan ketika aku bangun tidak ada kamu, tidak ada yang menyapa dan menciumku." Akunya lagi, seolah-olah mereka telah hidup bersama dalam waktu yang lama.

"Siapa yang menciumu? Dasar.." Ucapnya, ia mengambil selimut dan menyembunyikam tubuh dibaliknya. Zia pun melakukan hal yang sama. Gerakan tidak terduga membuat Zara membeku di tempat tak memberikan perlawanan apapun, ia dicium tepat di bibir. Ia melihat sorot mata yang begitu hangat, hati Zara dengan sendirinya melembut.

Zia melepaskannya dan tersenyum, ia menatap wajah Zara yang sudah memerah bak telur rebus. Laki-laki itu menatapnya tanpa berkedip, menikmati setiap inci yang ada pada dirinya. Semakin lama, Zara merasakan suhu tubuhnya meningkat dan dengan cepat meneggelamkan wajahnya di balik selimut. Hal tersebut mengundang tawa dari sang suami.

"Berhenti tertawa." Jerit Zara dengan suara yang sedikit teredam.

Zia masih saja tertawa, ia membalikan badan Zara menghadapnya dan memeluknya dengan lembut.

"Tidurlah.." Ucapnya dan kembali mengecup bibir merah milik Zia itu sekilas, lalu memejamkan matanya.

Hari ini sungguh hari terberat bagi Zara, ia tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Jantungnya tak pernah berhenti untuk melakukan senam, dan Zia pun tak pernah membiarkannya tenang. Ia sering mendengar jika awal pernikahan itu masa dimana membangun cinta dan kasih sayang. Dan ia merasakan hubungan yang coba Zia bangun bersamanya.

Zara hanya mampu mengadu dan meminta untuk diberikan hubungan yang berkah dan harmonis bersama Zia. Harapannya, ia hanya dapat melabuhkan satu cintanya pada laki-laki bermata cokelat itu. Semoga ia dapat membersamai dalam suka maupun duka, hingga ia menjadi tua bersama.

Gadis itu masih belum bisa mengendalikan hati dan jantungnya yang sedang berlari kencang atas perbuatan Zia. Dan ia belum bisa menutup matanya untuk menuju malam yang panjang penuh kedamaian. "Hey..." Panggilnya pada Zia, namun tak ada balasan.

"Zia.." Panggilnya lagi, kali ini yang terdengar hanyalah geraman. "Kau belum tidur?" Tanyanya.

Zia membuka matanya, menatap manik mata yang sungguh cantik itu. Gelengan kepala yang ia lakukan sebagai isyaratnya, "Cepatlah tidur.. Hari ini kau telah berjuang keras untuk menemaniku. Besok kita harus bangun pagi.." Ucapnya berbisik tepat di telinga Zara. Lalu, ia merekatkan pelukannya hingga telinga Zara tepat berada di dada suaminya itu.

Zara dapat mendengar dengan jelas irama yang ditimbulkan jantung Zia, "Suara jantungmu keras sekali.." Gumamnya namun suara itu masih biaa terdengar oleh Zia.

"Jantung ini hanya berdetak cepat ketika kau berada di sampingku, berada dalam jangkauan pandangku. Karena kamu adalah salah satu alasanku untuk terus melakukan yang terbaik." Ucapnya, Zara tersenyum. Lalu ia mengecup bibir Zia sekilas, lalu memejamkan matanya.

Zia yang sudah mulai mengantuk itu kembali membuka mata tak percaya, "Apa yang kau lakukan?" Tanyanya, namun tak ada reaksi sama sekali dari seseorang yang sedang ia peluk itu. "Zara.. lakukan sekali lagi." Pintanya.

"Berisik, cepat tidur. Kita harus bangun pagi.." Omelnya dengan mata yang masih tertutup.

Gadis itu dapat merasakan dirinya dipeluk semakin erat, dan beberapa kali dihadiahi ciuman di keningnya. Ia dapat merasakan luapan kebahagiaan Zia, dan ia hanya tersenyum tak menanggapi. Karena ia terlalu takut, semua ini hanyalah mimpi.