webnovel

Istikharahku?

"Bagaimana dengan hasil istikharahmu?" pertanyaan itu keluar dari mulut Fadli begitu saja. Zara terdiam sebentar dan memutuskan untuk menelan makanan yang ada di mulutnya.

Ia meletakkan garpu dan sendok dengan rapi ditempatnya. "Entahlah.. Zara belum bisa melihat jelas tanda-tandanya. Lalu bagaimana dengan Abang? Siapa tau kabar itu bisa melalui mu." ucapnya, lalu meneguk air putih yang ada di hadapannya.

Nadia merapikan alat-alat yang digunakan mereka untuk makan sambil mendengarkan pembicaraan Adik ipar bersama sang suami. "Entahlah Abang tidak ada alasan kuat untuk mendorongmu melakukan sesuatu. Tapi.." ucapnya terpotong tampak berfikir.

" Tapi apa Bang?" tanya Zara menelisik.

"Sepertinya Ayah dan Bunda deh, Ra. Soalnya Abang udah coba bujuk Ayah buat membuat jadwal ulang pertemuanmu dengan orang sana. Tapi tetap saja keputusannya tidak bisa berubah." jelas Abangnya. Zara hanya mampu terdiam.

"Trus apa yang harus Zara lakukan? Bagaimana kalau semua itu gagal?" tanyanya lirih.

Nadia mendekatinya, "Zara.. Kakak tau, kamu pasti khawatir akan semua itu. Seringlah memintakan yang terbaik kepada Allah dan cobalah untuk membuka hati." jelasnya selembut mungkin. Ia tak mau perkataannya menjadi jarum yang melukai hati terdalamnya.

"Oh iya.. kan nanti ketemu akhir minggu ini. Bagaimana kalau Kamu bantu Zara untuk mengetahui seluk beluknya? Kau kan Abangnya, tak mungkin kau memberikan Zara kepada orang yang tidak sesuai untuk Zara secara cuma-cuma. Tak mungkin membuat Zara menderita, tak berbahagia. Bagaimana? Biarkan Zara tenang dan tidak lagi khawatir tentang pasangannya." tambah Nadia.

"Yasudah kalau begitu, akupun tak mungkin memberikan Adikku pada serigala kan?" Canda Fadli.

"Zara.. saat ini kau hanya perlu untuk memantapkan hatimu." Ucap Nadia, ia kembali fokus pada alat makan yang ada di hadapannya. Zara hanya mengangguk dan izin untuk ke kamar duluan.

Zara membuka laptopnya, ia berusaha untuk melepaskan pikirannya hari ini. Ia memfokuskan diri pada layar yang menampilkan ribuan kata yang tengah ia susun. Namun nyatanya, potongan demi potongan memori itu kembali hadir menghantui.

Gadis yang tengah terduduk menghadap jendela kamar itu menghembuskan nafasnya cukup kasar, dan menekan salah satu tombol untuk menon-aktifkan benda pipih yang tadi sempat hidup. Lalu ia memutuskan untuk berbaring, 'Ya Allah.. jika ini memang jawaban dari semua harapan yang kupanjatkan padaMu. Bantu aku untuk ikhlas, bantu aku menyiapkan mental, dan bantu aku untuk selalu dalam RidhaMu.' bantinnya.

Tak selang berapa lama, ia sudah masuk ke dalam dunia mimpinya. Tak ada rasa takut sedikitpun baik itu mimpi indah ataupun mimipi buruk yang akan diselaminya.