webnovel

RITUAL DI GUNUNG KARANG

Hujan rintik-rintik membasahi ujung daun ilalang yang mulai kecoklatan, bergoyang lembut di tiup angin pegunungan. Sesekali ada kicau burung Prinjak muda yang belajar terbang, bercicit pelan di sekitar sarang, di ranting-ranting pohon Serut.

Ada juga pohon berukuran sedang yang berbuah bundar, seperti buah Jeruk Bali berwarna hijau tua. Tetapi daun-daun di pohon itu lebih lebar dan tidak ada duri di sepanjang rantingnya. Sedangkan pohon Jeruk bari di sepanjang ranting penuhi dengan duri-duri tajam panjang. Orang Banten menyebut buah itu dengan buah Gernuk. Rasa buah ini pahit, tak ada orang yang mau memakannya. Konon di Jawa Timur, di Mojokerto dahulu diketemukan pohon buah yang sama, tetapi mereka menamai Buah Madja. Buah Madja yang pahit. Sehingga orang-orang Mojokerto yang baru sampai di daerah itu menyebut hutan buah Madja sebagai daerah Madja yang pahit. Kelak daerah itu dikenali sebagai pusat kerajaan besar Madjapahit: Madja yang pahit.

Di antara lebat buat Gernuk yang menggantung di batang hingga ranting pohon, terlihat semburat matahari menyisakan sinar memerah. Sementara perlahan-lahan senja mulai menyelimuti padang ilalang dan membiaskan cahaya jingga di ufuk Gunung Karang. Di balik lebatnya pohon Gernuk dan pohon Serut, ada jalan setapak yang hampir tertutup oleh rimbun Ilalang. Karena mentari masih menyisakan sinar, jalan setapak itu dapat terlihat. Tanahnya berwarna coklat kemerahan, tanda bahwa daerah ini masih subur, meskipun tidak lagi ada yang mengolah untuk bertani.

Hari itu Rabu Pon, sore. Nampak bergegas melangkah cepat cepat di jalan setapak, sambil tangannya bergerak lincah menyibak sebagian ujung ilalang. Dia seorang gadis, berkerudung warna hijau avocado, usianya sekitar 20an tahun. Lincah dan gesit. Badannya sedang-sedang saja, kulit di punggung tangan yang menyibak ilalang itu kencang, sawo matang. Di pundaknya ada tas punggung berwarna hitam, tas gunung yang ramping melekat apik di punggung. Si gadis mengenakan celana jeans agak ketat.

Di belakang gadis itu berjalan seorang paruh baya berkopiah merah bata, sudah usang dan luntur. Celana hitam longgar seperti pesilat, lengkap dengan sabuk hijau yang berukuran besar. Terselip golok bertangkai tanduk kerbau. Kerbau bule. Sarung golok itu juga terbuat dari tanduk kerbau, tetapi berwarna lebih hitam mengkilat dengan ikatan-ikatan terbuat dari kulit. Entah kulit apa. Tangannya membawa kain batik, seperti taplak meja yang berisi sesuatu.

"Jangan terlalu cepat jalannya Nong, hati-hati banyak lubang di jalan."kata Si Sabuk Hijau pada gadis muda itu.

"Depan lagi harus ke mana Kang, ngga ada belokan tapi di atas sudah buntu." Jawab si Gadis tanpa memperdulikan seruan orang paruh baya itu.

"Di balik pohon Serut besar di puncak bukit, itu ada jalan temurun, ngundak, wis ati ati" jawabnya

Jalan si gadis mulai melambat, ia memperhatikan tanah setapak di sekitarnya yang mulai gelap, karena mentari sore tak mampu menyentuh area di bawah pohon dengan sinar kemerahannya.

Sejenak ia menunggu Kang Maro yang bersabuk hijau mendekat ke arahnya. Membiarkan ia melewatinya, melangkah di depan, lalu dia cepat-cepat mengikuti tepat di belakang. Agar tidak tertinggal jauh di daerah yang entah di mana. Baru kali ini si gadis menginjakkan kakinya di Gunung Karang. Meskipun ia sering mendengar kisah-kisah mistis dan menyeramkan tentang Gunung ini.

Gadis itu bernama Syanti, seorang mahasiswi dari sebuah kampus Negeri ternama di Provinsi paling Barat di Pulau Jawa. Banten.

Syanti berasal dari daerah Tangerang Selatan, tepatnya Pamulang. Ayahnya orang Pandeglang Selatan di Kecamatan Menes, sedangkan Ibunya berasal dari Padang Sidempuan di Sumatra. Asmara telah mempertemukan mereka dan mengikatnya di Serpong, dua puluh dua tahun silam. Syanti kini berusia 21 tahun, memilih menyewa kamar Kos-kos an di sekitar kampus, di Cipocok. Tidak tinggal di Pamulang ataupun di Menes.

Bagi orang yang melihatnya Langkah kaki Syanti sore itu, nampak pasti. Tidak ada keraguan meskipun berada jauh di salah satu puncak perbukitan Gunung Karang yang misterius. Syanti bersiap dengan segala resiko ketika mengambil keputusan untuk naik salah satu bukit di puncak Gunung Karang. Di Gunung Karang ini banyak bertebaran bukit-bukit kecil, sebagian berbatu, terjal, sebagian bergoa. Yang pasti semuanya ditumbuhi semak dan rungkud. Di sanalah ia akan menjalani sebuah ritual khusus dipandu oleh Kang Maro.

Uberampe berbagai peralatan ritual khusus telah dibungkus dan dibawa Kang Maro. Syanti lah yang berbelanja, di toko online beberapa hari lalu. Dia membeli minyak bukhur sulthon dari lapak asal Cirebon dan sebagian dari minyak Gaharu dari sebuah lapak asal Sidoarjo. Ada banyak wewangian berbagai aroma yang dibelinya. Minyak-minyak itulah yang dibawa Kang Maro dalam bungkusan taplak meja motif batik. Sebenarnya bukan batik, itu cap yang menyerupai motif batik.

Kang Maro perlahan jalan menuruni undakan batu-batu koral yang tersusun seperti anak tangga. Tangga itu sudah ada sepreti itu ketika Kang Maro pertama kali diajak kesi tu oleh gurunya. Cukup jauh anak tangga ini membawa Kang Maro dan Syanti menuruni sis lain bukit. Di sini sudah tidak ada ilalang, di kanan dan kiri, yang ada semak-belukar, aroma daun Ribang dengan wangi yang khas dan aneka warna. Ada juga semak dari daun Merdeka yang biasa Syanti gunakan untuk main belanja-belanjaan sewaktu kecil di Menes sana. Syanti tersenyum tipis. Memori masa kecil berkelebat, mengingat indah hari-hari di masa kecil, tidak ada perundungan, tidak ada makian, dan tuntutan memperoleh nilai yang tinggi.

"Ayah sudah bayar biaya kuliah mahal, kalau kamu tidak dapat nilai bagus buat apa, ngga usah kuliah, pindah ke swasta saja, biar bisa beli nilai. Jangan sampai dibilang Ayah ini punya anak bodoh. Malu.. malu sama mamang-mamangmu" makian itu terngiang kembali. Dan inilah yang menguatkan langkah kakinya menuruni undakan demi undakan. Lelah tak lagi dirasakan.

Segera ia teringat makian-makian lain yang lebih pahit menusuk hati. Jika waktu dapat diputar kembali, ia memilih untuk tidak melanjutkan kuliah dan tidak sesumbar bahwa dirinya lebih baik dari sepupu-sepupunya. Kakak dan Adik dari Ayahnya juga telah memiliki anak yang kini kuliah di Cimahi, Bekasi dan Kerawang. Dulu Syanti sesumbar akan lebih baik dari mereka semua. Ayahnya saat itu mengiyakan dan mendukung. Kini ayah lah yang getol menyemangati.

Syanti pun mengingat senyum sinis Kak Fikri Berlian, kakak kelas yang jago organisasi di HMJ. Sinis mendengar Syanti hanya beroleh IPK dua koma dan diam-diam menyukainya. "Awas Kak Berli… pasti kamu akan mencari-cariku sepanjang lorong selasar ruang kuliah nanti" begitu ia bergumam...

Matahari semakin menyipit, tergelincir di ufuk barat. Hanya bias-bias cahaya sore yang membuat penglihatan masih terbantu. Kicau burung sudah sepi berganti derik hewan-hewan insecta malam. Suasana mulai mencekam. Ada rasa takut menyelinap, tapi segera ditepis sambil mengingat senyum sinis Kak Berli.

Di depan sana Kang Maro sudah berjalan pelan, mencabut golok dan membabat beberapa semak sulur-suluran. Tanah yang agak luas, sekitar lima meter persegi, meskipun sebenarnya tidak persegi sama sekali, mulai dibersihkan.

Syanti istarahat sejenak, menurunkan tas punggung lalu meminum air mineral. Ia menawarkan kopi kalengan ke Kang Maro yang bertubuh tinggi berkulit hitam dan urat-urat melingkar di lengannya. Telapak tangannya kasar dan tebal, ujung kuku tidak bersih seperti ada bekas warna hitam agak kecoklatan. Orang di sekitar Kang Maro menjulukinya sebagai Juara.

Kang Maro saat masih muda bekerja sebagai kepala mandor di Jakarta, Pasar Induk, daerah Senen. Telapak tangan yang kasar dan kekar itu konon sering digunakan untuk menampar orang-orang di pasar yang berebut daerah kuli panggul rombongan Kang Maro. Rombongan Kang Maro berasal dari Ciomas, Baros dan orang-orang Serang.

Tiba-tiba Kang Maro meloncat cepat ke arah kanan Syanti yang membuatnya terkejut, sambil mengayunkan golok. Air minum yang baru saja ditelannya seolah tercekat di kerongkongan. Matanya mendadak dipejamkan. Tidak ada yang terjadi pada dirinya.

Srakk,crok…crok.

Syanti membuka mata dan menoleh ke arah kanan.

Kang Maro baru saja mencacah ular seukuran grip stang motor metiknya. "Ular tanah, sedikit lagi kamu tergigit ular ini, kamu bakal jadi mayat dalam setengah jam. Kakang tidak mau repot-repot menggendong mayatmu dibawa pulang ke rumah. Kakang sumputin mayatmu di sini, tidak ada orang yang ke sini kok"

"Iyah Kang hatur nuhun, maaf teledor" jawab Syanti, suaranya pelan dan terdengar gemetar. Ia tidak membayangkan sedikit lagi menjumpai maut di sini dan mayatnya disembunyikan di antara semak, Rimbang dan Alang-alang.

"Seminggu juga bangkaimu akan habis, disobek sama Menyawak dan hewan-hewan lain di sini" sambung Kang Maro masih bersungut-sungut.

Syanti sadar akan kesalahannya tadi, dia enak saja duduk menggeletak diantara semak, sementara Kang Maro masih membabat daun sulur-suluran yang merambati apa saja di situ.

Untuk menenangkan Kang Maro, Syanti menaruh kaleng kopi instan di tengah tanah datar yang baru dibersihkan dari daun sulur-suluran itu.

Saat meletakkan kopi instan, matanya tertumbuk pada sebongkah batu, tingginya sekitar satu meter. Sudah agak lapuk tetapi jelas masih terlihat keras dan berpori. Itu sebuah Lingga peninggalan jaman batu. Batu Lingga merupakan sarana pemujaan pada masanya, ratusan tahun silam, di era karuhun dan buyut-buyut.

Mata Syanti bergerak ke sana kemari, sebagai anak kuliahan dia tahu batu apa yang di hadapannya. Lingga. Maka di mana ada batu Lingga akan ada batu lain yang berfungsi sebagai Yoni. Dan hatinya kembali terperangkah, karena batu berbentuk agak kotak yang tadi didudukinya adalah sebuah Yoni. Syanti seorang perempuan dan baru saja menduduki sebuah Yoni yang menjadi symbol Dewi Bhumi, Shri Bhumi pretiwi, bagi pemujaan masa lalu.

Mata Syanti kembali memandang Lingga, sementara Kang Maro mulai membuka bungkusan taplak. Ia mencari tempat untuk duduk. Syanti masih memandangi Lingga, dan keanehan mulai terjadi. Ia melihat Lingga itu bersih, tidak lagi berlumuut, lapuk. Lingga itu tampak masih baru, berkilat bersih seperti baru saja dipahat di diletakkan di situ. Di bagian bawah Lingga ada untaian kembang berwarna merah dan putih yang dirangkai seperti kalung. Kembang mawar tanah dan kembang melati dianyam berganti-ganti. Di situ ada pula dua buah kelapa kuning, Kelapa Gading, di bagian sabut kelapa itu terukir garis-garis symbol yang entah apa.

"Nong.. Syanti ke sini" panggil Kang Maro. Syanti baru tersadar dan pengelihatannya pulih kembali. Lingga itu lapuk, berlumut. Tidak ada apa. Syanti bergidik dan segera menghampiri Kang Maro.

"Duduk di depan sini" tangan Kang Maro menunjuk ke samping Yoni.

Syanti segera beringsut.

Benaknya berkecamuk berbagai pertanyaan, dia hendak bertanya tetapi takut. Di tahan lah rasa penasaran itu. Kang Maro pun tengah focus menyiapkan uberampe yang terdiri dari aneka kembang, beberapa cawan dan diisi bunga-bunga. Ada kembang Mawar Tanah di salah satu cawan dan….

Ada kembang Melati di cawan yang lain…

Deg..deg.. Jantung Syanti berdegup kencang

Perlahan Kang Maro membuka tutup botol Minyak Gaharu dan menuangkan pada sebutir batu seukuran kepalan tangan remaja. Batu itu berwarna putih seperti batu marmer. Batu itu dibaluri minyak.

Kraakk,,,,, pletak..

Suara botol minyak bukhur Sulthon yang dipecah Kang Maro. Syanti sekarang baru mengerti mengapa botol Bukhur Sulthon yang dibelinya itu tidak memiliki tutup apapun. Semua badan botol terdiri dari beling kaca. Rupanya untuk mengeluarkan minyak itu, botol harus dipelintir pecah.

Wangi pun menyebar ke segala penjuru.

Kang Maro menyalakan lampu emergency. Diletakkan agak jauh di pojok. Suasana temaram. Cukup bagi Syanti untuk menyaksikan keadaan sekitar dan apa yang dilakukan Kang Maro

"Sebentar lagi akan kita mulai ritual. Kamu sudah siap lahir batin Nong??"

"Siap Kang"

" Kita tunggu waktu antara Magrib dan Isha, lebih ampuh".

"Pejamkan saja matamu dan carilah ketenangan, kuatkan dalam hatimu apa yang menjadi keinginanmu"

" Baik Kang". Syanti memperbaiki duduknya. Mata dipejamkan, dia menenangkan batinnya yang bergejolak.

Tiba-tiba Syanti membuka mata

"boleh Tanya sesuatu Kang?"

"Ya, lekaslah"

"Syanti tadi melihat lingga itu berwarna hitam, bersih, ada kembang mawar tanah itu dan bunga melati itu". Tangan Syanti menunjuk dua cawan.

"Kembang diikat ditali, seperti kalung. Melingkari batu. Ada dua kelapa kecil berwarna kuning. Bergambar"

"Apa gambar yang kamu lihat?" Tanya Kang Maro

"Seperti garis-garis lingkaran-lingkaran, bulat kecil berwarna coklat" Jawab Syanti

"Hmmm. Heheh hehe…. beruntung-beruntung.. sungguh kamu berjodoh Nong." Kata Kang Maro, suaranya berubah lembut dan nampak gembira.

"Sudah nanti dilanjutkan, sekarang diam dan pejamkan mata saja. Tunggu aba-aba dan perintah dari kakang. Kerjakan apa yang kakang perintahkan, tanpa bertanya. Jangan ada keraguan. Mengerti??? Siapp???" Kata Kang Maro lembut.

"Baik , mengerti Kang".

Aroma wewangian semakin menusuk hidung, menyebar….

Suasana hening....

Bahkan derik insecta malam pun tak ada. Hanya dari kejauhan. Suara burung Pengalitan dari jauh terdengar… semakin lama semakin keras, seperti mendekat. Tetapi tidak mendekat.

Ada pula suara burung Buwek,…kuweekk… dari kejauhan juga.

Burung Pengalitan itu tiba-tiba bernyanyi di atas pohon, tepat di atas Syanti.

Syanti kenal suara burung itu, maklum saat kecil pernah tinggal di daerah Menes. Burung itu penanda perang santet, pertanda kematian. Saat ada pemilihan lurah di desanya dahulu, begitu terdengar suara burung Pengalitan, para pemuda pendukung calon Lurah segera bubar dan mencari burung itu. Hendak ditangkap. Tetapi meskipun orang ramai mencarinya suara Pengalitan tetap menyiap. Tidak ada yang tertangkap.

Kwik…kwiiik…kwik…kwiiiik…kwikkkk...

Tak ada burung, tetapi suara itu masih ada. Syanti memandang peristiwa itu dari balik jendela rumah. Usianya sekitar 11 atau 10 tahun saat itu. Ingatannya masih jelas.

Kini suara burung itu ada di atas. Tepat di atasnya.